Catatan Mobashra Tazamal*
SALAM-ONLINE.COM: Beginilah umumnya beberapa tokoh sayap kanan yang ingin menarik perhatian dan menimbulkan kontroversi memperlihatkan tontonan, (yaitu dengan membakar Al-Qur’an) yang bertujuan untuk menimbulkan kontroversi dan memusuhi miliaran Muslim di seluruh dunia.
Ketika umat Islam meminta perhatian atas tindakan tersebut, tepatnya ujaran kebencian, individu sayap kanan itu, dengan dukungan dari pihak berwenang, segera mengeluarkan kartu kebebasan berekspresi sebagai dalih.
Itulah yang terjadi akhir pekan lalu ketika politikus sayap kanan Denmark-Swedia, Rasmus Paludan, melakukan tindakan keji dengan membakar Al-Qur’an, kitab suci bagi umat Islam yang merupakan firman Allah.
Hanya beberapa hari setelah aksi ini, politisi sayap kanan Eropa lainnya mengambil bagian dalam adegan keji serupa. Politikus Belanda Edwin Wagensveld, kepala gerakan sayap kanan, PEGIDA, merobek halaman dari kitab suci Al-Qur’an sebelum membakarnya.
Bukan kebetulan, Paludan, yang sebelumnya dinyatakan bersalah atas rasisme, dan tokoh sayap kanan lainnya memilih Al-Qur’an sebagai sasaran kebencian mereka. Mereka sangat menyadari bobot kitab suci Al-Qur’an dalam kehidupan dan identitas miliaran umat Islam. Karenanya, keputusan untuk membakar Al-Qur’an adalah keputusan yang sudah mereka perhitungkan.
Paludan memiliki sejarah retorika rasis dan Islamofobia yang terdokumentasi, serta terlibat dalam percakapan seksual eksplisit dengan anak di bawah umur. Dia juga adalah pelanggar berulang yang telah menyerukan pelarangan dan pengusiran Muslim. Dia menggambarkan Islam sebagai “agama yang jahat dan primitif”.
Jaringan Analisis Pemantauan Ekstremis melaporkan bahwa politisi sayap kanan itu sebelumnya menyebut Al-Qur’an sebagai “buku pelacur besar” dan “mendesak para pengikutnya untuk buang air kecil di atasnya”.
Mengingat pandangan anti-Muslim yang sangat jelas ini, keputusan Paludan (berkali-kali) untuk membakar Al-Qur’an didorong oleh kebencian (Islamofobia). Tindakan ini dilakukan oleh tokoh sayap kanan itu bukan untuk mengekspresikan haknya untuk kebebasan berekspresi. Dia memprakarsai pembakaran Al-Qur’an adalah sebagai upaya menyerang umat Islam.
Pembunuhan Simbolis
Profesor Farid Hafez berpendapat, pembakaran Al-Qur’an dalam konteks ini “menjadi pembunuhan simbolis, atau penghancuran simbolis”. Terlibat dalam tindakan merobek halaman Al-Qur’an, membakarnya, atau membuangnya ke toilet (seperti yang dilakukan personel militer AS di Teluk Guantanamo) semuanya dilakukan dengan tujuan dan maksud tertentu: untuk menimbulkan rasa sakit dan luka umat Islam.
Ini Ujaran Kebencian, bukan Kebebasan Berekspresi
Percakapan seputar retorika Islamofobia dan pembakaran Al-Qur’an kerap dialihkan ke perdebatan seputar kebebasan berekspresi.
Sebagai tanggapan, saya berpendapat (dan begitu pula Institut Swedia) bahwa hak atas kebebasan berekspresi tidak mutlak. Ambil contoh, kontroversi baru-baru ini yang dilakukan rumah mode, Balenciaga, menyusul kampanye yang menyinggung pedofilia dan eksploitasi anak. Masyarakat luas segera menanggapi dengan jijik dan mengutuk merek tersebut atas iklannya, membuat rumah mode itu menyatakan permintaan maaf dan bersumpah untuk melakukan penyelidikan internal dan eksternal. Bagi para absolutis kebebasan berekspresi itu, apakah mereka setuju dengan kampanye visual yang mendorong, mempromosikan, atau menormalkan eksploitasi anak?
Selain itu, hak atas kebebasan berekspresi bersifat subjektif. Mereka yang berada dalam posisi berkuasa sering kali memutuskan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Tinjauan singkat atas kasus-kasus yang melibatkan jurnalis, akademisi dan aktivis hak asasi yang telah dibungkam atau menghadapi tuntutan hukum karena pekerjaan mereka menarik perhatian pada pembersihan etnis di Palestina.
Contoh lain dari subjektivitas terjadi minggu ini ketika Twitter dan YouTube tunduk pada tekanan dari pemerintah India untuk menghapus referensi apa pun ke dokumenter BBC yang meminta perhatian pada peran PM Narendra Modi dalam pogrom anti-Muslim Gujarat yang mematikan tahun 2002.
Di Eropa, banyak pemimpin yang memegang pandangan Islamofobia sama-sama memiliki kekuatan untuk menentukan kebebasan berekspresi yang dapat dan tidak dapat diterima. Juga bukan kebetulan bahwa mereka yang ikut serta dalam pembakaran Al-Qur’an seringkali adalah orang kulit putih. Sistem saat ini memberikan lebih banyak keistimewaan dan hak kepada individu kulit putih, apalagi pemimpin partai, daripada yang lain.
Batasan ‘Kebebasan Berekspresi’
Mengingat realitas Islamofobia di Eropa, tidak mengherankan jika argumen kebebasan berekspresi digunakan untuk membela rasisme anti-Muslim.
Kejahatan rasial, terutama yang menargetkan Muslim, terus berlangsung. Begitu pula pembatasan dan larangan jilbab yang semakin meningkat. Tindakan vandalisme dan pembakaran Masjid tidak ada habisnya. Sementara di banyak negara otoritas setempat telah mengambil tindakan yang cukup besar untuk mengkriminalisasi masyarakat sipil Muslim, menutup organisasi, Masjid dan memenjarakan individu.
Sama seperti kebebasan berekspresi yang digunakan untuk membenarkan Islamofobia, hal itu juga jarang diangkat ketika hak-hak umat Islam dibatasi. Muslim yang aktif secara politik dan meminta perhatian pada kebijakan Islamofobia dianggap sebagai “ekstremis” dan “simpatisan teroris”, membuat mereka rentan terhadap tuntutan pidana.
Bahkan akademisi Muslim yang mempelajari Islamofobia pun tidak aman dari tuduhan ini, seperti yang digambarkan dengan penargetan profesor Hafez oleh otoritas Austria.
Dalam insiden-insiden ini, hanya ada sedikit diskusi seputar hak umat Islam atas kebebasan berekspresi. Contoh-contoh tersebut menunjukkan bagaimana hak-hak yang tidak dapat dicabut diterapkan secara subjektif, seringkali merugikan kelompok-kelompok yang terpinggirkan dan rentan terhadap tuntutan pidana.
Islamofobia juga berperan ketika umat Islam menggunakan hak mereka untuk bebas berekspresi dengan memprotes tindakan kebencian seperti pembakaran Al-Qur’an.
Media memperkuat kiasan anti-Muslim dengan membingkai suara-suara ini sebagai permusuhan dan “ekstremis”, mengkonstruksi mereka sebagai individu-individu yang berpikiran tertutup dan keras.
Argumen kebebasan berekspresi digunakan untuk membela rasisme anti-Muslim.
Mari kita perjelas: ada kritik dan kemudian ada ujaran kebencian—membakar Al-Qur’an termasuk yang terakhir.
Menteri luar negeri Swedia, Tobias Billstrom, menggambarkan tindakan Paludan sebagai “mengerikan”, tetapi merujuk pada “perlindungan kuat” negara untuk “kebebasan berekspresi” dalam konstitusinya sebagai alasan pihak berwenang untuk tidak menghentikan aksi pembakaran Al-Qur’an tersebut.
Amerika Serikat menanggapi dengan cara yang sama, menggambarkan tindakan itu sebagai “sangat tidak sopan”, tetapi berhenti mengutuknya. Sangat menarik bahwa pihak berwenang gagal (atau mungkin tidak ingin) melihat insiden seperti itu sebagai bermotivasi kebencian, mengingat kriminalisasi mereka atas perilaku serupa yang menargetkan kelompok terpinggirkan lainnya.
Pembakaran Al-Qur’an adalah seruan simbolis untuk kekerasan terhadap umat Islam. Ini dimotivasi oleh fanatisme anti-Muslim dan dilakukan oleh individu yang memiliki sejarah mengambil bagian dalam tindakan provokatif yang ditujukan untuk memusuhi dan melecehkan suatu kelompok agama.
Referensi untuk “kebebasan berekspresi” dalam konteks seperti itu tidak lebih dari kedok pandangan anti-Muslim, terutama karena hak Muslim untuk bebas berekspresi semakin dibatasi di seluruh dunia.
Kegagalan untuk mengatasi insiden kebencian seperti itu menciptakan lingkungan di mana Islamofobia menjadi lebih normal dan menghasilkan lingkungan yang bermusuhan dan berbahaya bagi umat Islam. []
*) Mobashra Tazamal adalah Associate Director The Bridge Initiative, sebuah proyek penelitian tentang Islamofobia, di Universitas Georgetown, AS. Karyanya muncul di Al Jazeera, The Independent, Middle East Eye, The New Arab, Truthout dan Byline Times. Sebelumnya Tazamal juga aktif dalam advokasi hak asasi manusia dan hukum imigrasi.
(Sumber: Middle East Eye/MEE)