Sebuah Provokasi, Menteri Keamanan Penjajah Ben-Gvir ‘Serbu’ Al-Aqsha
SALAM-ONLINE.COM: Menteri keamanan penjajah sayap kanan Zionis, Itamar Ben-Gvir, memasuki halaman Masjid Al-Aqsha di Al-Quds (Yerusalem Timur) yang diduduki/dijajah pada Selasa (3/1/2023), dalam sebuah langkah yang dipastikan akan mengobarkan ketegangan.
Sebuah video yang diposting di media sosial menunjukkan Ben-Gvir berkeliling halaman dengan keamanan yang ketat.
Pada Senin (2/1), gerakan perlawanan Palestina, Hamas, memperingatkan penjajah bahwa pihaknya “tidak akan duduk diam” jika menteri keamanan Zionis itu memasuki kompleks Masjid Al-Aqsha, seperti yang dia janjikan pada Ahad (1/1).
Menyusul aksinya ke Al-Aqsha pada Selasa, Ben-Gvir mengatakan, “Kami tidak akan menyerah pada ancaman dari Hamas.”
“Temple Mount adalah tempat terpenting bagi orang ‘Israel’,” katanya dengan menggunakan nama Yahudi (Temple Mount) untuk situs tersebut.
“Kami mempertahankan kebebasan bergerak bagi Muslim dan Kristen, tetapi orang Yahudi juga dapat pergi ke situs tersebut, dan mereka yang membuat ancaman harus ditangani dengan tangan besi.”
Masjid Al-Aqsha adalah salah satu situs tersuci dalam Islam. Sementara situs kuil Yahudi (Temple Mount) dihancurkan oleh Romawi pada tahun 70 Masehi.
Sejak Zionis “Israel” menduduki situs tersebut setelah perang Timur Tengah 1967, ritual Yahudi di situs tersebut telah dilarang, meskipun pemukim sayap kanan seperti Ben-Gvir (beberapa di antaranya ingin menghancurkan Al-Aqsha dan menggantinya dengan kuil Yahudi ketiga) sering berdoa di sana di bawah pengamanan ketat dalam beberapa tahun terakhir.
Kementerian luar negeri Otoritas Palestina (PA) yang dijalankan oleh rival Hamas, yaitu Fatah, mengatakan bahwa Perdana Menteri (penjajah) Benjamin Netanyahu “bertanggung jawab atas penyerbuan Al-Aqsha yang dilakukan oleh Ben-Gvir dan konsekuensinya”.
Kemenlu PA menambahkan bahwa pihaknya “mengutuk keras penyerbuan oleh menteri ekstremis Ben-Gvir ke Masjid Al-Aqsha yang diberkahi dan menganggapnya sebagai provokasi yang belum pernah terjadi sebelumnya, karenanya jadi ancaman serius” terhadap stabilitas regional.
Pada Senin (2/1) lalu, Yair Lapid, yang pekan lalu digantikan oleh Netanyahu sebagai perdana menteri penjajah, mengecam kunjungan yang direncanakan itu. Lapid menyebutnya sebagai “provokasi yang disengaja”—yang akan mengakibatkan korban jiwa.
Lapid mendesak Netanyahu untuk menahan menteri keamanan nasionalnya yang baru, Ben-Gvir.
Laporan awal di media Ibrani menunjukkan bahwa Netanyahu dan Ben-Gvir telah sepakat untuk menunda kunjungan tersebut. Namun, partai Likud Netanyahu membantah bahwa permintaan semacam itu telah dibuat.
Mengubah status quo
Juru bicara Hamas Abd al-Latif al-Qanua mengatakan pada Senin bahwa rencana kunjungan tersebut adalah “contoh lain dari arogansi penjajah pemukim dan rencana masa depan mereka untuk merusak dan membagi Masjid Al-Aqsha”.
“Gerakan perlawanan Palestina tidak akan membiarkan penjajah neo-fasis melewati garis merah dan melanggar batas rakyat dan kesucian kita,” tegas Al-Qanua.
Rezim Netanyahu, rezim paling kanan dalam sejarah Zionis “Israel” mengatakan kebijakan panduan utamanya adalah bahwa “orang-orang Yahudi memiliki hak eksklusif dan tak terbantahkan atas semua wilayah Tanah ‘Israel’”, mengacu pada konsep ” Greater Israel” yang mencakup Tepi Barat yang diduduki, Yerusalem Timur dan tanah asing lainnya.
Ini bukan pertama kalinya Ben-Gvir menyerbu Al-Aqsha. Pada Mei tahun lalu, ditemani oleh istri dan putranya, Ben-Gvir memposting gambar yang menyerukan penghancuran situs (Al-Aqsha) tersebut dan diganti dengan “mendirikan sinagog di bukit”.
Ketika mantan perdana menteri Zionis penjajah Ariel Sharon melakukan perjalanan serupa ke situs tersebut pada tahun 2000, hal itu memicu pemberontakan Intifadah Kedua Palestina.
Menurut data yang dikumpulkan oleh Middle East Eye, pasukan Zionis membunuh lebih banyak warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki pada tahun 2022, dibandingkan dalam satu tahun sejak Intifadah Kedua.
Sedikitnya 220 orang gugur dalam serangan Zionis di seluruh wilayah pendudukan/jajahan, termasuk 48 anak-anak. Dari total korban yang gugur, 167 berasal dari Tepi Barat dan Yerusalem Timur, 53 lainnya berasal dari Jalur Gaza.
Tambahan lima warga Palestina telah jadi korban jiwa dalam periode yang sama. Sementara itu, warga Palestina telah membunuh sedikitnya 29 warga penjajah, termasuk satu anak, jumlah kematian tertinggi sejak 2008. (mus)