Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Musyawarah Rakyat (Musra) yang digelar di Istora Senayan 14 Mei 2023 dan diselenggarakan oleh relawan Jokowi dapat dibilang gagal. Puncak dari berbagai Musra yang diadakan di berbagai provinsi tidak memenuhi harapan peserta maupun panitia dan tentu saja media. Gembar-gembor yang disampaikan Ketum Projo Budi Arie Setiadi bahwa ada arahan Jokowi tentang Capres yang didukung tidak terjadi.
Dari tiga nama yang diajukan yaitu Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Airlangga Hartarto tidak satu pun dipilih dan diumumkan. Jokowi hanya menyatakan akan membisikkan kepada partai-partai politik. Yang menunggu adalah massa “puluhan ribu”, yang diumumkan adalah agenda bisikan. Lucu juga.
Jika ujungnya hanya bisik-bisik buat apa Jokowi mengumpulkan relawan di Istora Senayan? Di samping buang tenaga, buang waktu, buang duit, juga buang sampah. Dari sisi produk politik itu namanya buang angin. Momen yang ditunggu massa, dijawab, “Belanda masih jauh”. Memang Jokowi tidak memiliki nyali untuk mengumumkan.
Pilihan sulit bagai makan buah simalakama. Memilih Ganjar tentu Prabowo ngamuk, begitu juga pilih Prabowo, Megawati dan banteng yang ngamuk. Airlangga hanya penggembira. Muara ngamuknya adalah Jokowi tidak aman setelah lengser. Bakal babak-belur karena bebas perlindungan. Jalan aman Jokowi ya itulah bisik-bisik ke partai politik.
Tiga gagal Musra sekaligus kegagalan Jokowi, yaitu:
Pertama, Musra Istora bukanlah puncak atau klimaks, tetapi anti klimaks. Soal tiga nama yang disebutkan di atas semua khalayak sudah tahu. Maksud aspirasi relawan atau diadakan Musra atau juga kemauan Jokowi adalah “asal bukan Anies”. Akibatnya Musra menjadi tidak bernilai atau tidak ada apa-apa.
Kedua, Musra bukan bagian dari demokrasi atau perwujudan asas kedaulatan rakyat, melainkan mobokrasi, kekuasaan “mob” massa yang dimobilisasi. Sebagian rakyat yang dikendalikan oleh kekuasaan. Mungkin bayaran atau balas jasa lain. Jokowi gagal membangun demokrasi, tetapi sukses “menunggangi” sebagian kecil rakyat.
Ketiga, relawan Jokowi memang cuma sedikit, artinya sebagai Presiden Republik Indonesia hanya memiliki rakyat sejumlah “puluhan ribu”. Lalu jutaan lainnya kemana? Musra yang dihadiri Jokowi membuktikan legitimasi rakyat atas Jokowi sudah menipis untuk tidak dibilang habis.
Soal bisik-bisik itu pun sejak awal sudah dilakukan oleh Jokowi, artinya tanpa musra-musraan. Meski pola bisik-bisik Jokowi ternyata gagal pula. Mendorong Ganjar tidak diterima Megawati, saat pindah ke lain hati Ganjar direbut Megawati. Mendorong Prabowo dalam “koalisi besar” justru koalisi semakin berpencar-pencar.
Berbisik untuk menyingkirkan Anies Baswedan hingga detik ini juga masih gagal. Anies justru semakin bersinar. Bukankah berlaku hukum politik bahwa semakin keras dianiaya semakin besar simpati? Tanpa rekayasa Musra, rakyat telah menghasilkan Musra. Anies bakal menjadi penghuni Istana.
Jokowi teriak tidak bisa, berbisik juga tak bermakna. Kini siapa sebenarnya yang berkuasa? Yang jelas kekuasaan Jokowi semakin sirna. Musra tidak memberi asa apa apa. Buang sampah saja.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan