Catatan Ahmet Turgut*
SALAM-ONLINE.COM: Kurang dari enam hari lagi, Turki akan melakukan pemilu untuk memilih Presiden dan anggota parlemen yang akan menjalankan Negara Turki selama 5 tahun ke depan.
Tetapi pemilu kali ini terasa akan sangat berbeda, karena untuk pertama kalinya popularitas Presiden Recep Tayyip Erdoğan dan Partai AK (AKP) yang dipimpinnya menurun drastis. Itu akibat berbagai krisis yang terjadi di Turki. Mulai dari ekonomi, masalah inflasi hingga kritik atas penanganan bencana gempa bumi yang melanda Turki pada 6 Februari lalu.
Presiden Erdoğan telah memimpin Turki selama hampir 20 tahun. Dimulai sejak menjadi Perdana Menteri Turki dari Tahun 2003 hingga 2014. Kemudian menjadi Presiden Turki dari 2014 hingga hari ini.
Kini Erdogan mendapat tantangan kuat dari kubu aliansi oposisi yang menamakan diri “Enam Meja” (Altılı Masa). Didirikan pada tahun 2022 lalu sebagai upaya untuk mengalahkan Erdogan dan AKP, aliansi ini akan mengajukan Kemal Kılıçdaroğlu ketua partai CHP sebagai kandidat lawan Erdogan.
Kemal Kılıçdaroğlu yang merupakan seorang Nusayri sekuler berhaluan kemalism, merupakan anti-thesis langsung dari Erdoğan. Sepak terjangnya dikhawatirkan akan mengembalikan Turki ke era kemunduran sebelum Erdoğan berkuasa. Mulai dari rencana dia beserta aliansinya mengembalikan Turki ke sistem parlementer, menjual industri teknologi pertahanan dan militer yang sekarang sedang maju-majunya, mengubah hubungan Turki dengan berbagai negara di kawasan ini, lalu mengakhiri keterlibatan Turki di berbagai wilayah konflik, termasuk di barat laut Suriah, serta rencana Kılıçdaroğlu yang akan memulangkan semua pengungsi Suriah dan berdamai dengan rezim Basyar Al-Asad yang satu agama dengannya.
Dengan demikian, pemilu Turki yang akan segera terlaksana ini, bukan hanya ditunggu dan disorot oleh warga negara Turki sendiri. Tetapi juga oleh pihak Barat, Rusia serta dunia Islam, khususnya di barat laut Suriah, dimana Turki terlibat langsung sejak awal revolusi Suriah pada 2011, dengan mendukung kubu pejuang revolusi hingga hari ini. Dan salah satu bentuk keterlibatan Turki, sejak tahun 2016 lalu Tentara Turki memasuki Suriah, untuk memastikan bahwa wilayah kubu revolusi tidak dicaplok dan terus digerus oleh rezim Al-Asad.
Barat laut Suriah telah menjadi benteng terakhir bagi pejuang revolusi Suriah dalam perjuangan mereka menentang rezim Basyar Al-Asad. Gempa besar di selatan Turki pada 6 Februari 2023 lalu, membuat konflik di sana menjadi sorotan dunia sekali lagi, menarik kembali perhatian masyarakat global pada konflik yang telah berlangsung selama lebih dari 12 tahun tersebut.
Barat laut Suriah yang sebagian besar wilayahnya telah hancur akibat kebiadaban rezim Al-Asad, sebanyak 613 ribu jiwa (menurut data Syrian Observatory for Human Rights) telah melayang dan jutaan orang mengungsi, benar-benar bergantung kepada Negara Turki. Mulai dari jalur masuknya bantuan hingga menjadi satu-satunya penghubung mereka ke dunia luar. Maka apapun yang terjadi di Turki akan berdampak langsung kepada mereka.
Oleh karena itu kami mencoba menggambarkan skenario yang akan terjadi pascapemilu Turki pada 14 Mei yang akan datang dan dampaknya bagi barat laut Suriah.
Pertama, dalam skenario pertama status quo yang stabil terus berlaku di barat laut Suriah. Hal ini akan terwujud jika Erdoğan berhasil mempertahankan kekuasaannya. Meskipun partainya gagal mempertahankan mayoritas di parlemen. Dalam hal ini, Erdoğan mungkin akan membatalkan isu normalisasinya dengan rezim Al-Asad yang hangat beberapa waktu lalu menjelang pemilu ini. Dampaknya, pasukan Turki akan tetap berada di barat laut Suriah dan pemerintahan Erdoğan akan terus memberikan pengaruh yang signifikan di wilayah tersebut.
Di Idlib, Hay’ah Tahrir al-Syam (HTS) pimpinan Abu Muhammad Al-Jolani akan tetap menjadi agen utama Turki dengan sedikit melakukan kontak dengan dunia luar sampai batas tertentu. Syrian Salvation Government (SSG), pemerintahan sipil bentukan HTS, akan berusaha untuk memperkuat pemerintahannya dan menciptakan stabilitas di Idlib.
Sementara Wilayah lain yang langsung di bawah Turki seperti Afrin dan Jarablus akan relatif tidak berubah. Kecuali jika Ankara menginginkan perubahan, terutama setelah gempa bumi yang lalu, terkait ke-efektivan tata kelola yang diterapkan oleh otoritas Turki di wilayah tersebut.
Selain itu, Turki akan mempertahankan pengaruhnya di sana dan terus memberikan berbagai layanan ke wilayah itu. Mengingat Erdoğan terus mengandalkan pendekatan keamanan untuk konflik Suriah, dia mungkin mengancam intervensi militer baru di Suriah utara jika rezim Asad mencoba kembali untuk mengambil wilayah itu. Ringkasnya, dalam skenario ini situasi di barat laut Suriah kemungkinan akan tetap relatif aman karena pemerintahan Turki yang stabil.
Kedua, pemerintah Turki, terlepas dari siapa pemimpinnya nanti, memilih untuk melakukan penarikan sebagian tentara dari barat laut Suriah, agar lebih berkonsentrasi pada kehadiran administrasi daripada kehadiran militernya di sana. Ini akan dapat dicapai jika kepemimpinan Turki memutuskan untuk mengubah pendekatan tata kelolanya terhadap kelompok-kelompok di Suriah. Hal ini bertujuan untuk mengurangi keterlibatan Turki secara militer dan lebih terlibat dalam pemerintahan sementara di barat laut Suriah, agar semakin bisa menstabilkan keadaan di kawasan tersebut dan mengurangi tanggung jawab pemerintahan provinsi-provinsi Turki yang berbatasan langsung dengan wilayah barat laut Suriah.
Pihak berwenang Turki akan tetap menjaga jarak dengan rezim Al-Asad. Turki di bawah Erdogan lebih memilih berurusan langsung dengan “pelindung” rezim Al-Asad, yaitu Rusia atau Iran, seraya menghalangi upaya pengambilan kembali atas wilayah tersebut oleh rezim Al-Asad dan Rusia.
Erdoğan jika kembali menang, akan menganggap ini sebagai kemenangan di berbagai bidang. Karena itu dia akan menantang komunitas internasional dengan menyatakan bahwa angkatan bersenjata Turki di barat laut Suriah melindungi perbatasan dan keamanan negara. Erdogan akan menyatakan kepada rakyatnya bahwa dia tengah mencari penyelesaian krisis pengungsi di Turki.
Di bawah skenario ini, Erdogan berusaha untuk memulai komunikasi dan koordinasi dengan kelompok paling kuat atau koalisi baru yang dibentuk dengan bantuan Turki. HTS akan terus mengubah citra dirinya menjadi lebih moderat. Akibatnya, model tata kelola SSG, dengan struktur terpusatnya, akan diperluas hingga mencakup wilayah lain yang masih dikontrol oleh kubu Revolusi pro Turki.
Pasukan Turki akan terus ditempatkan di barat laut Suriah meskipun dikurangi. Dan situasi keamanan di wilayah tersebut sebagian besar tidak akan berubah. Dalam hal tata kelola pemerintahan, Turki akan berusaha untuk melembagakan model satu sistem yang bertujuan untuk mencapai stabilitas maksimum di kawasan tersebut. Kemungkinan akan dibentuk pemerintahan tunggal untuk seluruh wilayah Revolusi di barat laut Suriah. Dengan sendirinya pemerintah provinsi perbatasan di Turki tidak lagi bertanggung jawab atas berbagai wilayah di barat laut Suriah.
Turki akan terus memberikan bantuan dalam berbagai pelayanan dan mempertahankan hubungan perdagangan dengan kawasan tersebut, menganggapnya sebagai zona penyangga sambil menunggu kesempatan lain untuk penarikan penuh.
Bahkan jika kubu oposisi memenangkan kursi kepresidenan, mereka akan dipaksa untuk menerima kenyataan akan peran penting Turki di Suriah. Jika salah memilih kebijakan ini, maka akan muncul konflik baru dan gelombang pengungsi besar-besaran.
Kubu Oposisi Turki mungkin berencana untuk menarik diri dari Suriah secara sebagian karena situasi keamanan dan demi menstabilkan kawasan tersebut sambil mengamankan daerah perbatasan. Hal ini memungkinkan mereka untuk mengimplementasikan salah satu janji kampanye terpentingnya: kembalinya para pengungsi ke Suriah.
Selanjutnya, pemerintah Turki yang baru akan menjaga hubungan dengan kelompok bersenjata di barat laut Suriah. Mereka mencoba untuk meningkatkan pengaruh kelompok yang moderat atau sekuler. Pada saat yang sama, mereka akan menjaga hubungan dengan rezim Suriah. Pasukan mereka akan bertindak lebih seperti pasukan penjaga perdamaian yang berpotensi meminta pasukan Arab atau regional lainnya untuk bergabung dengan pasukan Turki di barat laut Suriah.
Sementara Amerika Serikat berpotensi melakukan intervensi secara tidak langsung untuk menyatukan upaya antara para aktor di Barat Laut dan Timur Laut (yang dikuasai PKK sekutu AS) untuk melindungi wilayah tersebut dari serangan tambahan dari rezim Al-Asad dan Rusia.
Ketiga, pihak oposisi Turki setelah memenangkan pemilu, akan memprioritaskan pemenuhan janji yang dibuatnya kepada rakyat Turki dan tidak akan bertindak berdasarkan rekomendasi Barat atas kebijakan di Suriah. Pemerintahan baru akan memulai pembangunan tembok pemisah di sepanjang perbatasan Suriah, menarik militer Turki dari Suriah, dan mengakhiri dukungannya untuk perjuangan Revolusi Suriah. Ini akan membuat Pemerintahan-pemerintahan sementara di sana menjadi tidak bermanfaat lagi dan mengacaukan model tata kelola yang sebelumnya telah diterapkan di wilayah tersebut.
Jika presiden berikutnya, apakah itu Kılıçdaroğlu atau Erdoğan, bergerak maju dengan normalisasi penuh dengan rezim Al-Asad dan mulai menarik pasukan Turki dari Suriah, apa yang berpotensi terjadi berikutnya?
Dalam skenario seperti itu, kelompok bersenjata di barat laut Suriah akan menghadapi keputusan yang sulit. Mereka harus memilih apakah akan terlibat dalam pertempuran melawan rezim Suriah dan sekutunya Rusia, meskipun telah kehilangan pendukung utama mereka dan menghadapi kemungkinan terputusnya rute pasokan logistik.
Alternatifnya, mereka dapat berdamai dengan rezim di bawah jaminan Turki atau mediator lain, seperti yang terjadi di masa lalu antara rezim Suriah dan oposisi, ketika puluhan ribu orang dan pejuang berangkat ke Idlib setelah rezim mendapatkan kembali kendali atas Aleppo.
Namun situasi saat ini di barat laut Suriah berbeda, karena tidak ada tempat lain bagi mereka untuk pergi. Orang-orang tidak ingin hidup di bawah rezim Al-Asad kembali. Selain itu, pengalaman rekonsiliasi sebelumnya dengan rezim atau kembalinya pengungsi nampaknya bukan pilihan yang baik bagi rakyat maupun para pejuang Revolusi.
Pilihan terakhir pejuang revolusi adalah mengangkat senjata melawan rezim dan sekutunya, menggabungkan seluruh faksi pejuang yang berpotensi menghasilkan kekuatan lebih dari 70.000 dari Idlib hingga pinggiran Aleppo. Tetapi situasi ini dapat mendorong pengungsian besar-besaran dari wilayah tersebut ke Turki. Turki akan melihat jutaan orang di perbatasannya, membuat warga Suriah di Turki menghadapi tekanan signifikan dari politisi Turki dan publik, mendorong mereka mencari perlindungan di tempat lain, terutama di Eropa.
Tidak jelas bagaimana kelompok bersenjata, terutama yang radikal, dalam merespons pemerintah Turki dengan skenario ini. Kelompok bersenjata di wilayah Kurdi mungkin berusaha merebut kembali apa yang diambil dari mereka oleh Turki dalam operasi militer sebelumnya.
Tantangan dan Peluang di Masa Kritis
Situasi di barat laut Suriah menghadirkan tantangan dan peluang bagi dunia internasional. Salah satu tantangan utamanya adalah memastikan keselamatan dan keamanan pengungsi Suriah dan jutaan orang lainnya di barat laut Suriah—yang telah diabaikan di masa lalu. Mengatasi tantangan ini menghadirkan peluang bagi dunia internasional untuk berkolaborasi dengan pemerintahan Turki. Kolaborasi itu untuk mengembangkan strategi yang melindungi keamanan Turki dan warga Suriah yang tinggal di Turki dan di barat laut Suriah.
Tantangan lainnya adalah potensi konflik baru di Suriah yang dapat mengakibatkan bencana baru pula dengan gelombang pengungsi besar-besaran. Namun, situasi ini juga menawarkan kesempatan bagi Amerika Serikat, Uni Eropa dan PBB untuk bekerja sama mencegah skenario semacam itu berkembang dan mempromosikan resolusi damai.
Selanjutnya, berbagai kelompok bersenjata di barat laut Suriah harus menghadapi tantangan ini dengan bekerja sama guna menghadapi berbagai skenario yang kemungkinan akan muncul. Sudah saatnya mereka mengesampingkan perbedaan dan tujuan personal agar bisa bersatu menghadapi krisis yang mungkin segera terjadi.
Pemilu Turki diharapkan menjadi titik balik kritis dalam sejarah negara itu. Juga berdampak signifikan pada masa depan Suriah dan perjuangan revolusi di sana, dimana pemerintah berkuasa Turki hari ini memegang pengaruh utama di wilayah konflik tersebut. Konflik Suriah serta akibatnya bagi Turki, termasuk kehadiran pasukan Turki di barat laut Suriah, krisis pengungsian, dan kemungkinan normalisasi hubungan dengan rezim Suriah, menjadi topik hangat yang diperdebatkan di Turki dan sering digunakan oleh kubu oposisi untuk mengkritik pemerintahan Erdogan saat ini.
Presiden Erdoğan telah berusaha untuk mendapatkan kembali kendali atas narasi seputar konflik Suriah dengan menunjukkan kesediaannya untuk terlibat dalam pembicaraan dengan rezim Al-Asad. Namun, selama perjalanan Asad ke Rusia pada Maret 2023, dia membuat beberapa tuntutan untuk menyelesaikan perselisihan tersebut, termasuk penarikan pasukan Turki dari barat laut Suriah. Meskipun pertemuan antara kedua pemimpin telah direncanakan, namun telah ditunda. Kecil kemungkinan pertemuan tersebut akan terjadi sebelum pemilu 14 Mei.
Jika Kılıçdaroğlu menang, akankah oposisi memenuhi janjinya dan melaksanakan pembalikan total kebijakan Turki di Suriah? Atau akankah dia menjalin hubungan baik dengan Uni Eropa? Jadi ketika Kılıçdaroğlu bekerja sama dengan rezim Asad dia tidak memaksa jutaan pengungsi kembali ke Suriah? Akankah Erdoğan tetap pada jalur rekonsiliasi dengan musuhnya Al-Asad atau akankah dia mempertimbangkan kembali pendekatannya terhadap krisis di Suriah?
Lalu bagaimana dengan kelompok bersenjata di barat laut Suriah? Bagaimana kerangka pemerintahan mereka selanjutnya dan hubungan antarkelompok perlawanan di Suriah? Bagaimana tanggapan masyarakat internasional jika terjadi potensi konflik baru di Suriah, dan tindakan apa yang akan diambil Turki dalam menghadapi ancaman keamanan baru di kawasan tersebut?
Semua pertanyaan ini mungkin baru akan terjawab setelah 14 Mei. Pemilu Turki semakin dekat. Masa depan hubungan antara Ankara dengan barat laut Suriah sekarang berada di ujung tanduk.
Kemungkinan perubahan kebijakan total menuju normalisasi dengan rezim Al-Asad menimbulkan kekhawatiran bagi mereka yang telah menderita akibat kekejaman rezim Nusayri itu selama ini. Padahal mereka, rakyat barat laut Suriah, terus dilupakan oleh dunia, terjebak di tengah konflik panjang yang membuat mereka tidak memiliki lagi tempat tinggal dan berbagai kebutuhan pokok sekalipun. Orang-orang ini dengan cemas menunggu bagaimana pemilu Turki berlangsung dan khawatir akan potensi titik balik setelah 14 Mei 2023.
*)Pemerhati Politik Turki dan Suriah