Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Belum satu bulan Jokowi menegaskan tidak akan “cawe-cawe” dalam urusan Capres 2024, namun baru-baru ini menyatakan demi bangsa dan negara ia akan “cawe-cawe” untuk Capres 2024. Pagi “Tempe sore Dele”. Rakyat merespons antara prihatin dan maklum. Prihatin karena hal tersebut merupakan perilaku inkonsisten, sedangkan maklum karena sikap demikian biasa dilakukan Jokowi.
Menurut KBBI “cawe-cawe” maknanya turut membantu mengerjakan (membereskan, merampungkan) ikut menangani. Artinya Capres “pilihan” Jokowi akan dibantu untuk dibereskan dan dirampungkan. Kata sederhananya dimenangkan. Jokowi mendeklarasikan dirinya sebagai Presiden yang tidak netral.
Jokowi mungkin menyatakan bahwa “cawe-cawe” Capres itu tidak melanggar hukum. Jadi tidak merasa salah atau malu untuk melakukan secara terang-terangan.
Sebagai Presiden sebenarnya ia tidak boleh untuk “cawe-cawe”. Presiden adalah pemimpin rakyat Indonesia seluruhnya, bukan Presiden sebuah partai. Ia digaji untuk mengurus rakyat Indonesia, bukan sukses Capres.
Tapi benarkah tidak melanggar hukum? Jokowi sekurangnya telah melanggar Ketetapan MPR No. VI tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Sikap sportif, berjiwa besar dan keteladanan tidak dijalankan dengan baik. Presiden tidak adil dan memaksakan kehendak.
Jika Presiden Jokowi ingin “cawe-cawe” menjadi tim sukses salah satu Capres maka seharusnya mundur dulu dari jabatan Presiden. Jika tidak, maka ia sedang menjalankan politik menghalalkan segala cara. Menggunakan fasilitas negara untuk memenangkan seorang kandidat.
Dari sisi keadilan, keadaban dan kemanusiaan hal demikian itu zalim dan layak mendapat kutukan sosial.
Mengingat “cawe-cawe” Presiden adalah perbuatan tercela, maka berdasarkan Pasal 7A UUD 1945 Presiden Jokowi sudah dapat dimakzulkan. Diturunkan dari jabatan sebelum jabatan berakhir. Rakyat berhak mendesak DPR dan MPR untuk segera memproses pemakzulan tersebut. Ini masalah serius bangsa.
“Cawe-cawe” Jokowi menyebabkan ia mengakhiri jabatan dengan “su’ul khotimah”—akhir yang jelek. Melakukan politik licik sebagaimana mengawali periode kedua dahulu. Jokowi tidak mundur dari jabatan Presiden saat itu. Fasilitas kepresidenan dipakai untuk memenangkan dirinya.
Uang negara yang digunakan untuk “cawe-cawe” dipastikan korupsi. Kecil atau besar. Jokowi sendiri pernah mengemukakan bahwa urusan Capres adalah urusan partai politik. Jika kenyataannya Jokowi dalam kapasitas sebagai Presiden ikut campur memenangkan salah satu Capres, maka implikasi pada dirinya menjadi besar, termasuk melakukan perbuatan korupsi.
Pada akhir masa jabatannya Jokowi bukan semakin bijak atau berhati-hati, tetapi justru semakin nekat dan ugal-ugalan. Adakah kepanikan sedang menghinggapi dirinya?
Hitung mundur kekuasaan membuat gelisah dan ketakutan. Akankah selamat? Nampaknya tidak.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan