Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Pada hari Putusan MK yang isinya bias antara tetap batasan usia 40 tahun dengan pengalaman sebagai Kepala Daerah, Jokowi bersama beberapa Menteri berangkat ke China menghadiri KTT Belt and Road Initiative (BRI) atau Belt and Road Forum for International Cooperation. Seperti diketahui program BRI adalah domein kepentingan China untuk memperluas pengaruh di negara yang dilalui BRI. Indonesia termasuk di dalamnya.
Kali ini andalan dan “Duta China” Luhut Binsar Panjaitan tidak bisa ikut berangkat. Sakitnya tentu membuat Jokowi bersedih. Tapi Jokowi tetap wajib “menghadap” ke negara kakak tua di Beijing. Bangsa dan rakyat Indonesia pasti mengusap dada sambil berujar, “China lagi…China lagi.”
BRI yang sebelumnya OBOR ditandai dengan nota kesepahaman diinisiasi oleh Xi Jinping sejak tahun 2013. Negara peserta di samping diiming-imingi investasi juga faktanya sering terjebak dalam kubangan utang China (debt trap). Dikte politik adalah konsekuensi dari ketidakmampuan untuk membayar uutang tersebut.
Secara geopolitik dan ketahanan nasional program BRI rentan bagi penggerusan kedaulatan. Kereta Cepat Jakarta-Bandung adalah bagian dari BRI yang terbayang akan menjadi debt trap China. Morowali bagai sebuah kawasan China. Malaysia banyak membatalkan MoU BRI China buatan Najib-Xi Jinping, mengingat bahayanya. Srilangka, Djibouti, Maladewa adalah contoh dari negara yang menjadi korban.
Setelah akhir Juli “menghadap” Xi Jinping, kini pada Oktober Jokowi kembali menghadap Xi Jinping dan ikut KTT BRI. Program ambisius BRI dimaksudkan China untuk menghegemoni dunia dimana Indonesia ikut menghamba. Kehausan pada investasi membuat Jokowi lupa diri. Potensial berkhianat pada rakyat dan bangsanya sendiri.
Di Beijing juga tim Jokowi akan menandatangani banyak proyek dalam Forum Bisnis Indonesia China. Tercatat kesepakatan bernilai 197,8 Triliun. Agenda pertemuan khusus dengan Xi Jinping kembali dilakukan, lalu pertemuan dengan PM China Li Qiang dan Ketua Parlemen Zhao Leji. Ini tentu “political meeting”, bukan semata bisnis.
Ketika bertemu dengan Xi Jinping pada Juli 2023 yang berlanjut dengan penandatanganan bisnis, ternyata berefek pada terjadinya kasus “pengusiran” pribumi melayu di Rembang, Batam. Kasus yang hingga kini belum tuntas tersebut tidak bisa dilepaskan dari kepentingan China yang menginginkan Pulau Rempang kosong. Ada aspek geopolitik di sana. Bayaran investasi yang mahal dan menekan.
Kini Oktober, Jokowi bertemu kembali dengan Xi Jinping dan petinggi China lainnya. Pertemuan politik yang memayungi bisnis ini menjadi penting untuk diperhatikan dan diwaspadai. Apa implikasi atau konsekuensi setelah nanti kembali. Mungkinkah terjadi kasus Rempang lain? Jualan kedaulatan apalagi yang akan ditawarkan Jokowi pada Xi Jinping?
Lucunya dalam kaitan Jokowi-Xi Jinping ini ada kawan “nyeletuk” jangan-jangan Jokowi membicarakan juga kemungkinan minta perlindungan jika harus lari dari Indonesia akibat situasi politik yang semakin tidak kondusif di dalam negeri. Apalagi tangan kanannya Luhut Panjaitan semakin tidak jelas kondisinya. Jokowi semakin goyah.
Jokowi wajar goyah karena keruwetan negeri semakin dirasakan olehnya. Utang menggunung, IKN belepotan, bahan pokok bermasalah, Rempang tidak tuntas, Kereta Cepat membebani, politik dinasti dikritisi, Pilpres tidak menjanjikan, serta ijazah palsu yang terus dibongkar-bongkar. Luhut konon sakit dengan pemulihan lama lagi.
China di samping menjanjikan ternyata juga menuntut. Jika Jokowi gagal memenuhi harapan China tentu akan mendapat sanksi hukum dari China pula. Apalagi jika Presiden ke depan bukan pelanjut kebijakan Jokowi.
Di tengah kebingungannya itu Jokowi harus menghadap kepada kakak besarnya di Beijing hari-hari ini.
Horeee… Jokowi ke China lagi.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan