Oleh Pizaro Gozali Idrus*
SALAM-ONLINE.COM: Pada Ahad (7/1) malam publik Indonesia disuguhkan debat para capres yang membahas mengenai pertahanan, keamanan, geopolitik dan hubungan luar negeri. Saling serang tak terhindarkan lagi dalam debat semalam. Namun dalam perdebatan tersebut, banyak hal yang perlu disoroti dan dapat digali lebih mendalam.
Pertama, soal kedaulatan di Laut Natuna Utara. Sudah beberapa kali laut Indonesia diterobos kapal-kapal China. Para nelayan setempat kerap mendapati keberadaan coast guard China. Namun respons Indonesia masih lemah. Code of Conduct antara ASEAN dan China juga tidak mengalami kemajuan signifikan sejak 2012. Jika Ganjar Pranowo mengusulkan membuat kesepakatan sementara, kesepakatan seperti apa yang dimaksud? Publik belum melihat rincian detailnya.
Jika banyak pihak menilai pak Prabowo meniru gaya Presiden Filipina Ferdinand Marcos dalam kampanyenya, mengapa Prabowo juga tidak sekalian meniru kebijakan “assertive transparency” Filipina dalam menghadapai kapal-kapal China yang mengkesploitasi besar-besaran pelanggaran yang dilakukan kapal-kapal Beijing?
Banyak pihak menilai ini terjadi salah satunya karena ketergantungan Jakarta pada Beijing dalam bidang ekonomi dan infrastruktur. Ini pula yang menghambat pemajuan isu demokratisasi di Myanmar karena besarnya dominasi China di kawasan. Di sini, pernyataan Ganjar relevan karena kompleksnya persoalan di ASEAN untuk menyelesaikan pekerjaan rumahnya di wilayahnya sendiri.
Apalagi kita belum mendengar apa kebijakan Indonesia merespons peta baru China edisi 2023 yang menunjukkan Beijing semakin agresif di Laut China Selatan.
Peta baru yang dirilis China berbeda dengan versi yang diserahkan oleh China kepada PBB pada 2009 tentang Laut China Selatan. Semula area itu dibatasi oleh 9 garis putus-putus (nine-dash line), tetapi kini meluas menjadi 10 (ten-dash line).
Menurut Badan Nasional Pengelola Perbatasan RI (BNPP RI), Ten-dash line yang berbentuk huruf U tersebut menunjukkan China seolah telah memperluas klaimnya atas wilayah geografis di Laut China Selatan yang diperkirakan hingga 90 persen.
Ten-dash line ini melingkar sejauh 1.500 km di selatan Pulau Hainan dan memotong Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Malaysia, dekat Sabah dan Sarawak, lalu Brunei, Filipina, Vietnam, hingga ke wilayah perairan Indonesia.
Kedua, sebenarnya minimnya gagasan visi dan misi dari Prabowo tidak lepas dari tidak adanya Defense White Paper yang diproduksi oleh Kemhan.
Buku Putih ini merupakan pernyataan kebijakan pertahanan negara secara menyeluruh dan sebagai pedoman bagi penyelenggaraan fungsi pertahanan negara serta disebarluaskan kepada masyarakat umum, baik domestik maupun internasional.
Terakhir Buku Putih ini diproduksi tahun 2015. Setelah itu, nirkreasi. Padahal buku ini bisa jadi pedoman arah kebijakan pertahanan kedepan. Ketiadaan Buku Putih ini sama dengan nasib Visi Poros Maritim Dunia yang arahnya tidak lagi diperbarui di era Jokowi.
Negara tetangga Malaysia, telah memperbarui Defense White Paper pada 2020 yang memuat analisa ancaman kedepan, pentingnya kebijakan strategis pertahanan dan partisipasi publik dalam isu pertahanan. Transparansi ini juga penting bagi masyarakat untuk mengontrol regulasi Kemhan kedepan.
Jika, menurut Prabowo, Indonesia tidak perlu meniru negara lain. Formula apa yang sudah ditawarkan Kementerian Pertahanan selama ini soal strategic outlook dalam kedaulatan pertahanan Indonesia.
Ketiga, soal pembelian jet tempur Mirage 2000 bekas Qatar. Isu mengenai pesawat tempur bekas bukan semata-mata soal jam terbang, tapi kesesuaiannya dalam teknologi militer terbaru. Sebab Mirage 2000 diproduksi lebih dari empat puluh tahun yang lalu. Padahal dana yang disiapkan sangat besar, sekitar Rp11,8 triliun. Problem lainnya dari jet tempur bekas adalah biaya perawatannya yang sangat besar dan suku cadangnya yang tidak mudah didapatkan.
Jika alasannya untuk mengisi kekosongan sebelum kedatangan jet Rafale, mengapa tidak sekalian beli alutsista yang baru dan lebih modern. Apalagi jarak kekosongannya hanya sampai tahun 2026. Kondisi apa yang mendesak sampai negara harus membeli pesawat setua itu dan tidak memiliki daya tangkal yang maksimal. Belakangan, Kemhan mengatakan membatalkan pembelian jet ini dengan alasan keterbatasan fiskal. Termasuk saya kira ini juga karena besarnya kritik publik.
Anggaran Kementerian Pertahanan sendiri periode 2020-2024 mencapai Rp 692,92 triliun atau hampir Rp 700 triliun. Sepanjang lima tahun terakhir, anggaran Kemhan terpantau paling tinggi di antara kementerian lainnya. Dan, pada 2024, anggaran Kemhan dipatok sebesar Rp 135,45 triliun dalam RAPBN 2024. Jumlah ini sangat besar dan publik perlu mengevaluasi capaian Kemhan.
Keempat, soal presiden sebagai leader diplomasi. Ini memang betul. Pernyataan Anies Baswedan bahwa tumpuan diplomasi tidak hanya bisa semuanya diserahkan kepada Menlu. Karena bagaimanapun Presiden adalah panglima tertinggi dalam diplomasi.
Presiden harus hadir di Sidang Umum PBB karena dunia akan melihat kapasitas geopolitik Indonesia. Ini yang dilakukan Soekarno, Hatta, Natsir, Syahrir yang menegaskan posisi Indonesia atas imperialisme dan memiliki pengaruh terhadap kekuatan AS dan Rusia. Oleh karena itu, Indonesia jangan hanya sekadar mampir dalam forum-forum internasional lalu membacakan teks pidato.
Pada 2023 Indonesia meraih skor 19,4 dari 100, masuk level middle power yang menjadikan Indonesia sebagai negara dengan kekuatan menengah di skala Asia. Memang tidak lemah, tapi masih jauh dari level adidaya. Padahal di era Soekarno dan Hatta, Indonesia telah memainkan peran yang sangat besar di kancah Internasional.
Kelima, walaupun mengangkat studi kasus Palestina dalam kapasitas ketahanan militer, tapi menjadikan Gaza sebagai entitas yang lemah sebenarnya tidak apple to apple. Palestina adalah negara yang dijajah dan Gaza mengalami blokade. Mereka dapat bertahan dan melakukan perlawanan terhadap penjajah Palestina itu sudah sangat luar biasa. Bagaimanapun perlawanan rakyat Gaza menjadi spirit global saat ini dalam melawan genosida “Israel” yang selama ini ditopang kekuatan negara-negara besar. []
*Penulis adalah kandidat Doktor pada bidang Policy Research and International Studies Universiti Sains Malaysia. Peneliti Asia Middle East Center for Research and Dialogue.