Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Sejak Mahkamah Konstitusi (MK) diketuai Anwar Usman, MK mengalami krisis kepercayaan dengan citra bahwa lembaga yudisial ini menjadi kepanjangan tangan rezim. Puncak ketidakpercayaan adalah saat memutuskan persyaratan Capres/Cawapres. Putusan No 90/PUU-XXI/2023 itu dinilai kontroversial dan sarat kepentingan Istana. Bau nepotisme sangat menyengat.
Kini Anwar Usman jadi pesakitan. Dua kali digebuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) atas pelanggaran etik. Setelah dipecat dari jabatan Ketua MK saat ini ia tidak bisa ikut mengadili Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) sehubungan dengan konflik kepentingan paman dengan keponakan. Masalahnya Pasangan Prabowo-Gibran terkait dengan Gugatan. Anwar Usman pun teralienasi akibat ulah Joko Widodo.
Faktor “hilang”nya Anwar Usman dalam mengadili Perselisihan Hasil Pemilu merupakan awal dari optimisme. Faktor lain sekurangnya ada tiga, yaitu:
Pertama, komposisi bagus anggota MK merujuk Putusan No 90/PUU-XXI/2023. Dari 8 Hakim MK yang memeriksa dan mengadili PHPU 2024 maka sekurangnya 5 di antaranya “anti Gibran”, yaitu Suhartoyo, Saldi Isra, Arif Hidayat, Eni Nurbaningsih dan Daniel Yusmick. Satu Hakim baru dinilai memiliki integritas yaitu Ridwan Mansyur. Ridwan bereputasi dalam mengadili Polycarpus dan Lia Eden. Adapun “politisi” Arsul Sani diragukan. Sementara Guntur Hamzah “pro Gibran”.
Kedua, pemeriksaan gugatan PHPU Majelis dengan Ketua Suhartoyo terlihat mendalam, tidak semata angka-angka. Mendalam dalam hal Bansos misalnya sehingga MK perlu memanggil 4 Menteri, serta cermat menyimak pandangan ahli IT soal Sirekap. Demikian juga dengan “Kasus Gibran”, MK memanggil DKPP yang pernah menghukum KPU.
Ketiga, tidak ada tanda Hakim MK terkendali atau terpengaruh oleh ulah Kuasa Hukum pihak terkait Prabowo-Gibran. Yusril tidak berkutik, Hotman ditegur dan disarankan tak perlu datang, Otto Hasibuan dan Oce Kaligis bungkam dan hanya senyum-senyum. Ada Kuasa Hukum yang terlihat tak sopan, tidur di persidangan. Prabowo sendiri berkeliaran ke China saat perkara sedang berjalan. Pakai jabatan “Presiden”.
Optimisme coba dibangun pula dengan melihat kepedulian masyarakat terhadap kasus persidangan MK. Di samping ruang tak tertampung, juga aksi-aksi dukungan terus berlanjut. Setiap hari persidangan selalu ada aksi atau demonstrasi. Inti aspirasi adalah desakan agar Hakim MK memiliki keberanian tinggi untuk melawan gangguan atau godaan eksternal.
Di samping itu gencar dan kuat tuntutan agar pasangan Prabowo-Gibran didiskualifikasi. Keduanya dinilai tidak pantas menjadi Presiden dan Wakil Presiden. Produk dari rekayasa kecurangan dan kejahatan politik Istana. Pilpres 2024 telah diberi predikat sebagai proses demokrasi dengan kecurangan yang sangat brutal.
Joko Widodo sebagai “Bapak Kecurangan Nasional” layak untuk segera dilengserkan dan diadili. Joko Widodo sudah tidak dapat dipertahankan, apalagi hingga Oktober 2024. Negara dibuat busuk oleh kepemimpinannya yang tanpa malu telah menginjak-injak etika, moral dan hukum.
Ayo Mahkamah Konstitusi, buatlah Putusan yang membahagiakan rakyat. Diskualifikasi Prabowo-Gibran. Ubah Majelis Kekecewaan, Majelis Keputusasaan, Majelis Keterpurukan menjadi Majelis Kejujuran, Majelis Keadilan dan Majelis Kebahagiaan.
Rakyat akan berterima kasih dan memberi penghargaan yang besar.
Sebaliknya jika MK tetap membatasi kewenangan pada status sebagai Mahkamah Kalkulator, lalu tetap mengukuhkan Prabowo-Gibran sebagai Presiden Wakil Presiden, maka MK dipastikan akan menjadi lembaga pengkhianat Konstitusi sekaligus menjadi penyebab dari munculnya gerakan kemarahan rakyat.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan