Satu Tahun Genosida Gaza: Akankah Netanyahu Segera Diadili sebagai Penjahat Perang?
SALAM-ONLINE.COM: Dijuluki sebagai “penjagal Gaza” dan dibandingkan dengan pemimpin NAZI, Adolf Hitler, Perdana Menteri penjajah Benjamin Netanyahu adalah orang yang masa kekuasaannya dapat segera dihitung.
Saat genosida di Gaza berlanjut memasuki tahun kedua, Zionis penjajah dan dua warganya khususnya—Netanyahu dan Menteri Pertahanannya Yoav Gallant—menghadapi tuduhan atas beberapa kejahatan paling serius atas umat manusia.
Penjajah Zionis “Israel” menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional (ICJ). Perdana Menteri penjajah, Netanyahu dan Menteri Pertahanannya, Gallant, bisa menjadi terdakwa penjahat perang yang sebenarnya dengan surat perintah penangkapan dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC) terhadap mereka.
Ancaman surat perintah penangkapan ICC tersebut, menurut dua tokoh terkemuka sistem peradilan internasional, membuat Netanyahu menghadapi risiko yang signifikan, baik dalam ranah politik maupun hukum.
Saat ini, Kamar Praperadilan ICC sedang mempertimbangkan permintaan jaksa Karim Khan untuk surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan menteri pertahanan penjajah.
Jika ICC meneruskan surat perintah tersebut, Netanyahu secara efektif akan dicap sebagai terdakwa penjahat perang, dan lebih dari 120 negara, secara hukum akan diwajibkan untuk menangkapnya jika ia menginjakkan kaki di wilayah mereka.
Perkembangan Besar
Reed Brody adalah jaksa penuntut kejahatan perang terkenal yang pernah terlibat dalam penuntutan mantan Presiden Cile, Augusto Pinochet dan mantan pemimpin Chad, Hissene Habre.
Kepada Kantor Berita Anadolu, Brody memandang, surat perintah penangkapan ICC terhadap para pemimpin Zionis penjajah, khususnya Netanyahu, akan menjadi “perkembangan besar dalam hukum pidana internasional”.
“Ini akan menjadi pertama kalinya dalam sejarah modern jaksa (ICC) meminta dan akan diberikan surat perintah penangkapan terhadap sekutu Barat,” kata Brody seperti dilansir Anadolu, Ahad (7/10/2024).
“Sampai saat ini lembaga hukum pidana internasional ditujukan kepada musuh yang kalah… terhadap para lalim dan pemberontak yang tidak berdaya atau terhadap musuh Barat, seperti Vladimir Putin atau Slobodan Milosevic,” ujarnya.
Jika dikeluarkan, surat perintah penangkapan tersebut akan melabeli Netanyahu dan Gallant “sebagai tersangka penjahat perang,” katanya.
Namun, ia menunjuk pada apa yang ia lihat sebagai “kelemahan utama arsitektur peradilan pidana internasional”, yaitu kurangnya mekanisme penegakan hukum.
“Jelas, tidak ada yang akan datang dan menangkap mereka (para pemimpin Zionis penjajah) sejak awal,” lanjut Brody.
“Para jaksa ICC tidak pernah mendukung hukuman kekejaman terhadap pejabat negara mana pun, di tingkat mana pun, di mana pun di dunia, terutama karena mereka tidak menangkap orang-orang ini. Mereka tidak memiliki kepolisian.”
Namun, surat perintah itu memiliki “kepentingan yang lebih dari sekadar penangkapan atau penangkapan langsung orang-orang ini,” katanya.
“Kejahatan-kejahatan ini adalah kejahatan yang tidak memiliki undang-undang pembatasan selama surat perintah penangkapan masih berlaku,” Brody menjelaskan.
“Bisa jadi lima tahun, 10 tahun atau 20 tahun. Hal-hal ini tidak akan hilang begitu saja.”
Mengenai kewajiban negara-negara pihak pada Statuta Roma ICC, ia mengatakan 124 negara di seluruh dunia “secara hukum akan diwajibkan untuk melaksanakan surat perintah penangkapan”.
Ia mengatakan ada konsensus internasional yang berkembang mengenai kriminalitas tindakan “Israel”.
“Saya pikir surat perintah penangkapan yang dikeluarkan oleh hakim ICC akan mendukung, menambah dan mengonsolidasikan konsensus bahwa apa yang dilakukan ‘Israel’ adalah kriminal,” katanya.
Meskipun serangan genosida “Israel” telah menyebabkan penderitaan yang luar biasa bagi rakyat Gaza, Brody mengatakan, hal itu juga telah menjadi titik balik bersejarah dalam upaya untuk meminta pertanggungjawaban (penjajah) “Israel” dan para pemimpinnya atas kejahatan mereka.
Pelanggaran Impunitas ‘Israel’ yang Belum Pernah Terjadi Sebelumnya
Menurut Brody, tindakan hukum yang dimulai di ICJ dan ICC adalah pelanggaran yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap impunitas (pembebasan dari hukuman) atas “Israel” selama puluhan tahun dan merupakan tanggapan yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh dua lembaga utama keadilan Internasional.
Untuk ICC, Brody mengatakan pengadilan dan para hakimnya menghadapi intimidasi dan tekanan yang sangat besar dari penjajah “Israel”.
“Saya kira kita belum pernah melihat intimidasi internasional semacam ini terhadap jaksa penuntut seperti yang kita lihat dari ‘Israel’,” katanya.
Keluhan dari Palestina, tambahnya, telah ada di meja jaksa penuntut ICC selama 15 tahun terakhir. Para jaksa ICC itu telah menghadapi tekanan yang tak henti-hentinya, khususnya dari “Israel”. Tetapi sekutu “Israel” seperti AS juga melakukan tekanan serupa.
Ia mengutip contoh Washington yang menjatuhkan sanksi kepada jaksa ICC sebelumnya, Fatou Bensouda, dan para stafnya karena penyelidikan mereka terhadap tindakan AS dan “Israel”.
Brody memandang pengumuman publik yang dilakukan jaksa Bensouda dan Khan tentang permintaannya untuk surat perintah, dan komentarnya tentang bagaimana tindakan intimidasi ini dapat dianggap jadi penghalang keadilan, sebagai langkah yang menakjubkan.
“Saya mengagumi keberanian jaksa sebelumnya, Bensouda dan juga Khan, untuk melakukan ini dalam menghadapi tekanan “Israel” dan AS,” katanya.
Pengadilan Pidana Internasional untuk ‘Israel’
Nama lain yang dikenal di dunia peradilan internasional adalah Francis Boyle, seorang pengacara veteran untuk hak asasi manusia (HAM) yang memenangkan dua permintaan di ICJ pada tahun 1993 berdasarkan Konvensi Genosida untuk Bosnia & Herzegovina terhadap Yugoslavia.
Dalam situasi saat ini, “Pengadilan Dunia telah melakukan yang terbaik dengan tiga perintah dan satu keputusan terhadap ‘Israel’,” katanya, mengacu pada perintah sementara ICJ dalam kasus genosida Afrika Selatan dan putusannya yang menyatakan pendudukan/penjajahan “Israel” atas wilayah Palestina sebagai tindakan ilegal.
Mengenai penegakan perintah tersebut, Boyle mengatakan, “Itu bukan masalah mereka. Itu masalah pemerintahan Biden yang memberikan lampu hijau untuk semua kekejaman yang telah dilakukan ‘Israel’ terhadap warga Palestina di Gaza dan sekarang Tepi Barat.”
Dukungan AS ini, kata Boyle, telah mengarah ke suatu tempat di mana sekarang “Israel” menyerang Lebanon dan melakukan kejahatan perang serta kejahatan terhadap kemanusiaan,” katanya.
Boyle menyerukan pembentukan Pengadilan Kriminal Internasional untuk “Israel” dengan menjelaskan bahwa hal itu dapat diusulkan berdasarkan Pasal 22 Piagam PBB sebagai badan tambahan Majelis Umum PBB.
“Saya telah mengusulkan Pengadilan Kriminal Internasional untuk Zionis ‘Israel’ ini, sejalan dengan Pengadilan Kriminal Internasional untuk Bekas Yugoslavia (ICTY), yang telah melakukan banyak hal untuk mencoba menghentikan genosida terhadap warga Bosnia,” katanya.
Pengadilan itu akan berfungsi persis seperti ICTY dan “undang-undangnya, aturan prosedurnya, semuanya akan sama,” tambahnya.
“Saya pikir jika ini dilakukan segera, hal itu dapat mencegah Zionis untuk masuk lebih jauh ke Lebanon dan melakukan lebih banyak genosida terhadap warga Palestina… (Pengadilan itu) dapat berdampak dalam menghentikan rencana Zionis untuk “Israel” yang lebih besar atas seluruh mandat Palestina, Lebanon, hingga Sungai Litani, serta Dataran Tinggi Golan,” tutupnya. (mus)