Bangkit Dramatis, Serangan Mendadak Pejuang Suriah Membuat Rezim Asad Terdesak

Kelompok pejuang oposisi Suriah di Talhiya, Idlib, Suriah, Jumat (29/11/2024) saat mengendarai truk. (Foto: AP/Ghaith Al-Sayed)

SALAM-ONLINE.COM: Kelompok Mujahidin melancarkan serangan ke kota kedua terbesar di Suriah, Aleppo, di barat laut pada Jumat (29/11/2024). Serangan mendadak itu disebut sebagai kemunduran terbesar rezim Basyar Asad dalam beberapa tahun terakhir.

Sejak berhasil keluar dari wilayah yang dikuasai oposisi pada dini hari hari Rabu (27/11), kelompok pejuang Suriah telah berhasil menyerbu pedesaan Aleppo, merebut sekitar 50 kota dan desa serta satu bagian dari jalan raya strategis M5, memutus rute pasokan dari Damaskus (ibu kota Suriah).

Pada Jumat, para pejuang merebut New Aleppo, sebuah kawasan di pinggiran barat kota, dan terus bergerak menuju pusat kota.

Para pejuang mengatakan kepada Middle East Eye (MEE) bahwa serangan itu merupakan respons atas serangan rezim Suriah di daerah yang dikuasai oposisi di provinsi Idlib dan Aleppo.

“Para pejuang kami sekarang memasuki kota Aleppo untuk membebaskannya dari rezim Asad dan tentara bayaran Iran dan mengembalikannya ke barisan revolusi Suriah,” kata komandan oposisi Letnan Kolonel Hassan Abdul Ghani kepada MEE.

“Kami meyakinkan semua orang di Aleppo bahwa kami akan menjadi saudara mereka, melindungi mereka dari pelanggaran Asad dan Iran, dan kami akan membela mereka dengan sepenuh jiwa,” tambahnya.

“Kami berjanji kepada rekan senegara kami di kota Aleppo untuk memberi mereka kehidupan yang bebas dan bermartabat.”

Didorong untuk membelot

Kelompok pejuang oposisi telah merebut beberapa pangkalan militer dan posisi yang dibentengi, dengan sedikit perlawanan.

Di beberapa tempat, jurnalis yang berada di dekat para pejuang menemukan gambar Qassem Soleimani dan Hassan Nasrallah, mendiang jenderal Iran dan pemimpin milisi “Hizbullah” dukungan Iran yang berperan penting dalam memaksa kelompok pejuang Suriah keluar dari Aleppo pada tahun 2016.

Serangan tersebut dipimpin oleh Hay’at Tahrir al-Sham (HTS), sebuah faksi perlawanan garis keras yang dominan. Kelompok perlawanan lainnya, termasuk beberapa di antaranya yang didukung oleh Turki, juga terlibat.

Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia (SOHR), sebuah kelompok aktivis yang berbasis di Inggris yang memantau perang, memperkirakan bahwa sekitar 250 pejuang dan tentara rezim telah tewas di kedua belah pihak sejak serangan dimulai.

Kementerian Pertahanan rezim Suriah mengatakan pasukannya menghadapi serangan besar dari kelompok oposisi dan telah menewaskan puluhan dari mereka.

Mayat-mayat berjejer di jalan-jalan di wilayah yang baru saja ditaklukkan oleh kelompok pejuang. Beberapa dari mereka (mayat-mayat) itu terlihat mengenakan seragam dan lencana yang sesuai dengan pasukan asing yang tergabung dalam kelompok paramiliter yang didukung Iran.

Sementara itu, pesawat tanpa awak quadcopter kelompok pejuang dikerahkan di atas garis depan, menjatuhkan catatan kertas yang mendorong tentara rezim untuk menyerah atau membelot dan menyediakan saluran telepon bagi mereka untuk melakukannya.

“Mereka yang memilih untuk bergabung dengan barisan kami dan membelot dari pasukan kriminal Asad, kami menjanjikan mereka keselamatan,” kata Abdul Ghani.

Stabilitas terkikis

Baca Juga

Garis depan perang Suriah hampir tidak berubah sejak 2020. Perjanjian “de-eskalasi” pada 2019 antara Turki yang mendukung kelompok pejuang dengan sponsor rezim Asad (Rusia dan Iran), berhasil menciptakan stabilitas dan gencatan senjata jangka panjang.

Sebagian besar provinsi Idlib sejak itu dikuasai oleh HTS—yang pernah berafiliasi kepada al-Qaidah. Hay’ah Tahrir al-Syam kemudian membentuk pemerintahan sipil di Idlib.

Kelompok pejuang oposisi yang didukung Turki dalam koalisi Tentara Nasional Suriah telah menguasai wilayah lain di utara.

Meskipun Rusia terganggu oleh perang di Ukraina dan pasukan Asad melemah akibat serangan Zionis “Israel” yang sering terjadi, namun sejak Agustus 2023 pesawat tempur rezim Suriah dan Rusia telah meningkatkan serangan udara di wilayah yang dikuasai oposisi itu. Artinya rezim Suriah dan Rusia telah lebih dahulu melakukan pelanggaran gencatan senjata yang dimulai pada 2020.

Rezim Asad juga memanfaatkan gencatan senjata tersebut untuk melakukan terobosan diplomatik, menormalisasi hubungan dengan beberapa negara regional, dan bergabung kembali dengan Liga Arab.

Stabilitas itu kini nampak sangat terkikis. Aleppo menjadi benteng pejuang oposisi setelah gejolak revolusi meletus pada 2011. Perebutan kota itu oleh pasukan Asad pada tahun 2016 sangat simbolis.

Sementara itu, kelompok pejuang Suriah kini telah menutup jalan raya M5, mengisolasi Aleppo dan daerah lain yang dikuasai rezim Asad di utara dari Damaskus dan pusat kota besar.

Kelompok pejuang juga telah menyita sejumlah besar senjata dan peralatan, termasuk tank, artileri, pesawat tempur kecil dan amunisi.

Pada Jumat (29/11), mereka mengumumkan kendali penuh atas Saraqib, kota utama di persimpangan jalan raya M5 utara-selatan bertemu dengan M4 timur-barat.

Kegembiraan oposisi

Mohamed Belaas, seorang aktivis yang telah mengikuti perkembangan di dekat garis depan, mengatakan kepada MEE bahwa warga sipil di seluruh wilayah yang dikuasai kelompok pejuang merayakan serangan tersebut.

Lebih dari lima juta orang tinggal di Suriah utara yang dikuasai oposisi, berada dalam kemiskinan ekstrem, dengan bantuan internasional yang semakin jarang. Sekitar dua juta dari mereka tinggal di kamp-kamp informal setelah dipaksa meninggalkan wilayah lain negara itu karena penganiayaan atau serangan oleh pasukan pro rezim Asad.

Belaas mengatakan bahwa tidak ada kata-kata yang dapat menggambarkan “perasaan gembira” warga sipil. Beberapa di antaranya kembali ke rumah tempat mereka mengungsi yang sekarang telah berada di bawah kendali kelompok pejuang.

Aktivis yang awalnya mengungsi dari Idlib timur itu mengatakan bahwa dia belum pernah melihat pejuang Suriah beroperasi dengan cara yang begitu terorganisir.

“Sulit untuk menggambarkan pertempuran sengit para pejuang, yang maju ke rumah mereka di bawah tembakan hebat dan serangan udara Suriah dan Rusia di atas mereka,” katanya.

“Moral para pejuang memainkan peran kunci dalam merebut garis pertahanan musuh yang telah dibentengi selama bertahun-tahun,” tambahnya.

“Ada juga praktik nyata dalam menangani mereka (musuh) yang ditangkap, memperlakukan mereka dengan cara yang manusiawi untuk mendorong yang lain membelot dan menyerah.” (mus)

Baca Juga