SALAM-ONLINE.COM: Muslim (Sunni) Suriah menandai berakhirnya “bulan sabit Syi’ah” milik Iran yang sempat ditakuti selama satu dekade ini. Kini terbitlah “bulan purnama” baru milik Turki, yang membentuk ulang lanskap geopolitik dari Tanduk Afrika hingga ke negeri Syam. Dari pegunungan Kaukasus di Eropa hingga Afghanistan di Asia Tengah.
Kini Turki telah meningkatkan statusnya sebagai kekuatan utama regional, yang pengaruhnya meliputi semua pemain besar di kawasan tersebut. Turki memainkan peran penting dalam kemenangan mengejutkan para pejuang Suriah.
Operasi militer terakhir kemudian berhasil menumbangkan rezim Basyar Asad yang berlangsung dengan cepat tanpa banyak menimbulkan korban jiwa di kedua belah pihak. Tidak seperti sebelumnya, kematian menjadi ciri khas pertempuran di Suriah selama 13 tahun terakhir. Turki telah menyediakan bantuan intelijen, arahan dan dukungn politik.
Pada tahun-tahun awal konflik Suriah, puluhan negara menawarkan dukungan sporadis kepada kelompok oposisi. Tetapi hanya komitmen Turki yang konsisten kepada para pejuang di barat laut Suriah yang berbatasan langsung dengannya. Melalui hasil gencatan senjata dan garis depan yang tenang sejak tahun 2020, Turki memastikan bahwa para pejuang memiliki waktu untuk mempersiapkan diri dan mengatur ulang operasi mereka.
Iran yang sedang kewalahan dan tidak mampu menyediakan sumber daya dan pasukan karena serangan “Israel” terhadap milisi “Hizb” dan jaringan Iran di Lebanon dan Suriah. Runtuhnya rezim Asad tidak hanya menjadi mungkin, tetapi juga tak terelakan. Sementara itu, Rusia, yang disibukkan dengan perangnya di Ukraina, hanya bisa menawarkan dukungan terbatas kepada Asad.
Dampak keberhasilan Turki kemungkinan akan terasa di negara tetangga Irak. Turki telah lama mempertahankan kehadirannya di wilayah utara Irak dan telah bekerja sama dengan pemerintahan regional Kurdi di Irak selama ini. Turki dengan mudahnya menyerang posisi Partai Pekerja Kurdistan (PKK) di sana.
Bangkitnya pemerintahan yang dipimpin Muslim di Suriah memperkuat posisi Turki di wilayah Irak yang mayoritas Sunni, tapi telah didominasi oleh, kelompok politik Syi’ah dan milisi Syi’ah yang didukung Iran sejak jatuhnya ISIS pada 2019. Erosi bertahap pengaruh Iran di Irak ini kemungkinan akan mencerminkan perubahan yang terjadi di Suriah.
Ambisi Turki meluas jauh melampaui Suriah dan Irak. Mereka telah menjangkau Afrika, gunung Kaukasus dan Asia Tengah. Empat hari setelah kemenangan pejuang Islam di Suriah, Presiden Erdoğan berhasil memediasi kesepakatan antara Somalia dan Ethiopia, dua sekutu dekat Turki di Tanduk Afrika, untuk meredakan ketegangan atas sengketa wilayah di antara mereka. Keterlibatan mendalam Turki di Libya, termasuk dukungan militer untuk pemerintah yang diakui PBB di Tripoli serta mengamankan pengaruhnya atas dinamika energi di laut Mediterania, memosisikannya sebagai perantara kekuasaan utama di Afrika utara.
Peran Ankara di Afghanistan juga terus berkembang dalam beberapa tahun terakhir. Turki telah membina hubungan erat dengan Taliban sejak mereka kembali berkuasa pada 2021. Selain itu, Turki memperkuat kehadirannya di Azerbaijan di dekat perbatasan utara Iran. Dengan mendukung Baku secara militer dan diplomatik selama perang Nagorno-Karabakh pada tahun 2020 melawan Armenia, Turki memosisikan dirinya sebagai pemain kunci di Kaukasus.
Kebangkitan Turki memperumit dinamika kekuatan regional, khususnya bagi Arab Saudi dan sekutunya. Tidak seperti Iran, yang identitas sektarian Syi’ahnya menjadikan mereka saingan yang jelas, kredensial Sunni Turki menciptakan tantangan yang lebih halus dan meluas.
Riyadh telah lama memosisikan dirinya sebagai pemimpin dunia Muslim Sunni yang melawan pengaruh Syi’ah Iran. Tetapi kekuatan politik Turki sekarang mengacaukan narasi ini.
Kebijakan Ankara yang condong ke gerakan Islamis menggema di kalangan Muslim Sunni secara luas. Konsep politik Islam menawarkan alternatif bagi warga di negara monarki Teluk. Erdoğan secara halus dinobatkan sebagai Khalifah Muslim zaman ini.
Tidak seperti Iran, yang mengandalkan proksinya seperti “Hizb” Lebanon untuk mempertahankan pengaruh mereka di kawasan, Turki memperoleh legitimasi justru melalui dukungan langsungnya terhadap pasukan Muslim lokal. Juga melalui dukungan atas kebangkitan rakyat seperti Revolusi Arab Spring pada tahun 2011. Hal ini memosisikan Turki sebagai kekuatan yang lebih pan-Sunni. Melemahkan klaim Arab Saudi atas kepemimpinan regional.
Bagi Riyadh dan UEA, dinamika baru ini mengingatkan mereka pada kebangkitan pemerintahan Islamis yang didukung Turki di Mesir pada tahun 2012 di bawah Pimpinan Presiden Muhammad Mursi (rahimahullah). Bangkitnya pemerintahan Islamis di Mesir, mendorong negara-negara Teluk, kecuali Qatar, untuk mendukung kudeta militer yang dilakukan As-Sisi terhadap Mursi
Selama lebih dari dua dekade, bulan sabit Syi’ah milik Iran telah menjadi lambang akan ambisi mereka untuk mendominasi Timur Tengah. Membentang dari Teheran hingga Mediterania, koridor ini memungkinkan Iran untuk memproyeksikan kekuatan melalui proksi mereka seperti “Hizb” Lebanon. Dan bagi musuh Iran seperti “Israel” dan Arab Saudi, ini jadi ancaman.
Pada 2019, Iran telah memperkuat cengkeramannya atas empat ibu kota negara Arab–Baghdad, Damaskus, Beirut dan Sana’a–yang menjadi puncak dari pengaruh regional mereka. Namun, perluasan yang berlebihan ini mengorbankan sisi pertahanan strategis mereka. Membuat Teheran rentan terhadap Turki dan Israel makin agresif.
Saat ini, bulan sabit itu retak, Kemenangan pejuang Islam di Suriah tidak lagi terelakan. Ditambah lagi dengan meningkatnya pengaruh Turki di kawasan, telah memutus jembatan darat dari Iran ke Lebanon, mengganggu jalur pasokannya, dan mengisolasi proksinya.
Penurunan ini lebih lanjut tercermin di Lebanon. Area yang menjadi dominasi milisi “Hizb” semakin berada di bawah tekanan yang semakin besar, baik dari krisis dalam negeri maupun agresi militer “Israel” yang terus menerus.
Kerugian Iran adalah keuntungan Turki, karena Damaskus telah bergeser dari tadinya sekutu Iran selama hampir setengah abad, sekarang telah menjadi sekutu Turki.
Kebangkitan Turki bukan sekadar respons terhadap kemunduran Iran. Kebangkitan ini mencerminkan kebijakan luar negeri yang tegas, yang didasarkan pada kebutuhan ekonomi dan keamanan yang mendesak. Sebut misalnya ancaman Kurdi di Suriah dan Irak, dan pendekatan yang sangat berbeda terhadap kekuatan regional.
Sementara pengaruh Iran bergantung pada sektarianisme dan penggunaan kekerasan, strategi Turki menggabungkan intervensi militer dengan jangkauan diplomatik yang luas dan investasi ekonomi. Pendekatan multifaset ini memungkinkannya untuk beroperasi lintas batas sektarian dan ideologis.
Di kawasan tersebut, dominasi Turki menjadi sumber kekhawatiran yang mendalam. Bagi Arab Saudi, UEA dan “Israel”, pergeseran di Damaskus merupakan pengubah permainan yang dapat merusak rencana mereka di kawasan. Bagi para pembuat kebijakan di barat, ketakutan mereka atas kekuatan Ankara mulai meningkat baik karena hubungan Turki dengan gerakan Islamis-nya hingga pengakuan atas sentralitas mereka dalam politik Timur Tengah.
Keadaan sekarang sedang menguntungkan Ankara, dan menjadi perbedaan dengan strategi Iran yang memang ditentang secara bulat oleh barat dan negara-negara di kawasan.
Pada tahun-tahun mendatang, perebutan kekuasaan di kawasan ini tidak akan lagi berpusat pada ambisi Iran. Tetapi pada lingkup pengaruh Turki. Bagi para pesaing dan sekutunya, pertanyaannya bukan lagi apakah Turki akan mendominasi kawasan, tetapi sejauh mana?
Ibrahim Musthofa
Istanbul, 19 Jumadil Akhir 1446 H/21 Desember 2024 M