Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Demokrasi Terpimpin adalah masa rezim otoriter. Soekarno didaulat sebagai Presiden seumur hidup. Semua lini berhasil dikuasai dan dikendalikan.
TNI dan PKI dimainkan di tangan kanan dan kiri. PKI pun terus diperkuat. “Subur, subur, subur, suburlah PKI!” demikian pidato Soekarno. PKI nyaman berlindung di bawah rezim otoriter.
Pembubaran acara Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) Jawa Timur bukan berdiri sendiri. Patut diduga bagian dari kebijakan Pusat. Aksi tandingan adalah modus yang mudah diendus. Terjadi serupa di mana-mana.
KAMI tentu tak terpengaruh oleh cara “pembredelan” seperti ini karena misi moralnya ada pada nilai korektif. Bukan sebagai partai politik yang bertujuan untuk mendapatkan sejumput kekuasaan. Apalagi dengan cara makar.
Pengusiran Presidium KAMI Jenderal Gatot Nurmantyo memperkuat soliditas dan tidak memperlemah. Perlakuan tidak beradab gerombolan aksi bayaran justru membangun simpati. Sementara alasan aparat sangat dibuat-buat. Rezim nampak gelisah dan panik sehingga bertindak represif.
Sejarah perubahan biasa diawali dengan tindakan represif yang tidak simpatik di kalangan publik. Fase ini selalu dilalui. Makin kuat tingkat represivitas semakin cepat keruntuhan. Bacaan sejarah politik akan sampai pada Bab ini. Bab berikut pasca kejatuhan adalah fase pencerahan dan pembaruan kembali.
Surabaya adalah kota perjuangan dan perlawanan. Gigih warganya saat melawan penjajah. Pekik takbir Bung Tomo terdengar menggelegar hingga kini. Sampai pada telinga dan hati rakyat Indonesia yang tak suka pada penindasan. Apalagi model penjajahan yang dilakukan oleh segelintir oknum dari bangsanya sendiri.
Peristiwa Gatot Nurmantyo menjadi awal kesadaran kolektif tentang rezim otoriter. Rezim pelanggar hukum. Gatot Nurmantyo adalah mantan Panglima TNI yang selalu ingat akan Sumpah Prajurit. Prajurit tak boleh membiarkan Negara terancam oleh tindakan para pengganggu Pancasila dan UUD 1945.
Setiap September kita diingatkan soal pemberontakan G 30 S PKI. Tetapi tahun ini “bau amis” Komunis dan PKI semakin menyengat. Karenanya geliat perlawanan juga semakin menguat. Pengaruh kiri pada kekuasaan semakin sulit untuk disembunyikan. Kelak mereka tak tahan untuk sabar berlindung terus di bawah ketiak kekuasaan. PKI terpaksa muncul.
Rezim otoriter adalah manifestasi dari kegelisahan, kecemasan, bahkan ketakutan. Rezim yang semakin membabi buta menghajar KAMI, MUI, atau lainnya, pasti dilihat oleh rakyat bahwa PKI ada di baliknya. Meski oknum sekitar kekuasaan berteriak “tidak, tidak”, namun rakyat tidak akan percaya. PKI tumbuh subur bersama rezim otoriter.
Demokrasi terpimpin yang berulang adalah demokrasi tanpa visi. Bergerak terus menuju otokrasi. PKI pun ikut menyertai, baik “PKI Perjuangan” atau “PKI Reformasi”.
PKI tidak boleh hidup lagi dan rakyat harus bersatu bersiap siaga untuk membasmi ideologi kiri ini.
“Kubur, kubur, kubur, kuburlah PKI!”
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, Safar 1442 H/30 September 2020 M