Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: 11/2020 adalah Nomor Undang-Undang yang baru ditandatangani Presiden. Akhirnya Pemerintah mengabaikan reaksi publik, khususnya buruh dan mahasiswa yang mendesak agar Omnibus Law Cipta Kerja untuk dibatalkan atau sekurang-kurangnya ditunda.
Tentu sikap “ndableg’ atau “bebal” Pemerintah atas suara dan desakan rakyat ini akan menimbulkan gelombang aksi berkelanjutan. Ada pula yang mengambil langkah gugatan hukum melalui Mahkamah Konstitusi (MK) meskipun dengan tingkat optimisme yang rendah.
Sikap Pemerintahan Joko Widodo yang memaksakan kehendak ini merusak asas demokrasi negara Republik Indonesia. Sekurangnya empat aspek demokrasi telah dilabrak, yaitu:
Pertama, demokrasi politik. Asas kedaulatan rakyat yang diinjak-injak. Kebaikan sosiologis sebuah undang-undang yang tidak dipenuhi. Rakyat intens menolak. Pemerintah tidak mendengar apalagi mengabulkan. Aspirasi yang tidak diindahkan dan tidak membuka kompromi dengan rakyat.
Kedua, demokrasi hukum. Asas kedaulatan hukum dilecehkan. Cara pengesahan DPR yang cacat serta proses hukum yang tidak lazim dalam pembuatan UU. Terkesan UU pesanan politik dengan ketergesa-gesaan waktu. Omnibus Law bagai bus yang membawa hukum meluncur ke jurang.
Ketiga, demokrasi ekonomi. Kekuasaan ekonomi kerakyatan atau pemihakan kepada kaum buruh dilindas. Pengusaha dan pemilik modal diutamakan. Lingkungan dihancurkan demi korporasi dan investasi. Sistem kapitalisme dibuat semakin mengakar.
Keempat, demokrasi budaya. Budaya kekeluargaan, santun serta menghargai aspek keagamaan telah dirusak. Pemerintah bertindak keras untuk memproteksi Omnibus Law. Telah merenggut korban berupa penangkapan aktivis sosial dan keagamaan.
Omnibus Law adalah wajah dari Pemerintah yang bebal. The government is ignorant. Lucunya untuk kesalahan kebijakan, Pemerintah masih saja menyalahkan rakyat atau orang lain atas kebijakannya sendiri sebagaimana ungkapan Keith Dowding dalam buku “It’s The Government, Stupid”—How governments blame citizens for their own policies.
Menurut Dowding, tanggung jawab itu seharusnya berada di kaki politisi.
Politisi yang berada di ruang birokrasi maupun parlemen bertanggung jawab atas Omnibus Law yang bikin gaduh bangsa. Politisi inilah yang pantas disebut pengacau atau bahkan teroris. Mereka meneror rakyat dengan pikiran, aturan, alasan dan ancaman agar rakyat mau menjalankan kebijakan secara sukarela ataupun terpaksa.
Politisi berkarakter penjajah yang merasa benar sendiri seperti ini yang menjadi prioritas untuk dibasmi. Negara akan berpenyakit kronis jika memelihara virus pembuat pemerintahan menjadi bebal.
Lampu yang sudah redup hanya dua pilihan untuknya, mati atau segera ganti.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 18 Rabi’ul Awwal 1442 H/4 November 2020 M