Menang, Biden Janji Hapus Larangan Masuk AS bagi Negara Mayoritas Muslim
SALAM-ONLINE.COM: Kandidat dari Partai Demokrat Joe Biden berhasil memenangkan Pemilihan Presiden (Pilpres ) AS. Dia mengalahkan petahana Presiden Donald Trump. Pengumuman hasil akhir penghitungan suara memastikan kememangan Biden pada Sabtu (7/11/2020).
Biden diproyeksikan oleh CNN dan AP dan media berita besar lainnya, termasuk Fox News, sebagai pemenang di Negara Bagian Pennsylvania pada Sabtu.
Dalam sambutannya pada Jumat malam, Biden telah memprediksi dia akan menang tetapi belum mengumumkan kemenangan.
“Angka-angka tersebut memberi tahu kami … ini cerita yang jelas dan meyakinkan: Kami akan memenangkan kompetisi ini,” kata Biden dari negara bagian asalnya di Delaware.
Biden mengatakan dia dan pasangannya, cawapres terpilih, Kamala Harris, sudah bertemu dengan para ahli sebagai persiapan mereka untuk memulai pemerintahannya pada 20 Januari tahun depan.
Harris, seorang perempuan migran, akan menjadi wakil presiden wanita pertama Amerika, juga wakil presiden kulit hitam pertama dan wakil presiden pertama keturunan Asia Selatan.
“Mimpi buruk telah berakhir,” kata Direktur Hukum Komite Anti Diskriminasi Amerika-Arab (ADC), Abed Ayoub. “Untuk Muslim, Arab, orang kulit hitam, orang kulit cokelat, imigran—empat tahun lamanya,” ujar Ayoub.
Ayoub mengatakan kepada Middle East Eye (MEE) bahwa komunitas kulit berwarna AS hidup dalam ketakutan setiap hari tentang apa yang mungkin dilakukan Trump selanjutnya.
“Ini membuat kami kembali dapat fokus pada masalah yang penting sambil mengetahui bahwa kami memiliki presiden yang memandang kami sebagai bagian dari negara ini,” ujarnya,
Trump bertekad untuk terus maju
Tak lama setelah kemenangan Biden diumumkan, Trump mengatakan presiden terpilih “terburu-buru untuk berpura-pura sebagai pemenang”. Dia bersumpah maju terus untuk menantang hasil pemilu yang dia anggap curang.
“Mulai Senin, kami mulai menuntut di pengadilan untuk memastikan undang-undang pemilu ditegakkan sepenuhnya,” kata Trump.
Trump meragukan keabsahan pemungutan suara. Dia menolak hasil penghitungan di negara bagian yang membuatnya kalah. Tapi klaimnya itu dinilai tanpa dasar.
“SAYA MENANGKAN PEMILIHAN INI, DENGAN BANYAK!” Trump menulis dalam Twitter satu jam sebelum kemenangan Biden diumumkan.
Trump juga merilis pernyataan pada hari Jumat yang menuduh Demokrat melanggar “prinsip dasar” bahwa hanya suara sah yang harus dihitung.
“Kami akan melanjutkan proses ini melalui setiap aspek hukum untuk menjamin bahwa rakyat Amerika memiliki kepercayaan pada pemerintah kami,” kata Trump.
“Aku tidak akan pernah menyerah berjuang untukmu dan negara kita,” ujarnya.
Trump menuduh pada Kamis bahwa Partai Demokrat mencoba untuk “mencuri” suara pemilihan dengan penipuan.
“Jika Anda menghitung suara sah, saya dengan mudah menang,” kata Trump. “Jika Anda menghitung suara ilegal, mereka dapat mencoba mencuri (suara) pemilu dari kami,” lanjutnya.
Pemilu kali ini memecahkan rekor jumlah pemilih sekitar 160 juta orang. Diperkirakan lebih dari 66 persen pemilih terdaftar dan berpartisipasi dalam pemilihan.
Biden serukan persatuan
Pada Kamis (5/11/20), kubu Biden menepis protes Trump. “Pemerintah Amerika Serikat sangat mampu mengawal penyusup keluar dari Gedung Putih,” kata seorang juru bicara kampanye Biden.
Awal pekan ini, Biden mengirim pesan persatuan kepada para pemilih. Dia menegaskan akan memerintah sebagai presiden untuk semua orang Amerika.
“Kami berkampanye sebagai Demokrat, tapi saya akan memerintah sebagai Presiden Amerika,” kata Biden.
“Kepresidenan itu sendiri bukanlah lembaga partisan. Ini adalah satu-satunya kantor di negara ini yang mewakili semua orang. Ini menuntut tugas kepedulian bagi semua orang Amerika. Itulah yang akan saya lakukan.”
Sementara Trump sudah menolak hasil pemilu dan mengupayakan tindakan hukum untuk mempertanyakannya.
“Kami pikir akan ada banyak proses pengadilan karena kami tidak bisa membuat pemilu seperti ini dicuri,” kata Trump, Kamis.
Namun Partai Demokrat menyebut mempertanyakan hasil pemilu sebagai serangan terhadap demokrasi Amerika. Biden memberikan nada menantang di dalam pidatonya pada Rabu lalu. “Setiap suara harus dihitung. Tidak ada yang akan mengambil demokrasi kita dari kita, tidak sekarang, tidak selamanya,” katanya.
Siapakah Joe Biden?
Biden (77 tahun), adalah politisi veteran AS yang menjabat sebagai wakil presiden dalam pemerintahan Barack Obama. Dia akan menjadi Presiden AS terpilih yang tertua pada hari pelantikannya.
Dia pertama kali terpilih menjadi Senat AS di negara bagian Pantai Timur Delaware pada 1972, setelah memulai karir politiknya sebagai anggota dewan daerah. Di Senat, dia duduk dan memimpin berbagai komite yang kuat.
Sebelum terpilih menjadi wakil presiden, ia menjabat sebagai ketua Komite Senat Hubungan Luar Negeri.
Dia mencalonkan diri sebagai presiden tidak berhasil pada 1988 dan 2008. Pada 2016 dia memilih untuk tidak membidik Gedung Putih.
Dalam kehidupan pribadinya, Biden telah mengalami tragedi yang begitu menyedihkan. Pada tahun 1972, dia kehilangan istri dan putrinya dalam kecelakaan mobil. Putranya, Beau, meninggal karena kanker pada 2015.
Dalam perjalanan kampanye tahun ini, dia mengutip kesedihannya untuk mengungkapkan empati terhadap orang Amerika yang menghadapi dampak Virus Corona. Dia menampilkan dirinya sebagai pemersatu yang berusaha menyembuhkan perpecahan negara yang berada di bawah Trump.
Biden dan Timur Tengah
Meski mendukung Zionis, namun Biden telah mengutuk rencana penjajah itu untuk mencaplok sebagian besar Tepi Barat. Dalam sebuah rencana yang disampaikan kepada komunitas Arab-Amerika yang dirilis awal tahun ini, dia berjanji “bekerja untuk memastikan bahwa Palestina dan ‘Israel’ menikmati kebebasan, keamanan, kemakmuran dan demokrasi yang setara”.
Biden juga berkomitmen untuk mengakhiri perang yang dipimpin Saudi di Yaman dan menilai kembali hubungan AS dengan Riyadh.
Mantan Wakil Presiden Obama itu berjanji untuk masuk kembali ke kesepakatan nuklir Iran jika Teheran kembali mematuhi perjanjian tersebut.
Pakta multilateral, yang dibatalkan oleh Trump pada 2018, membuat Iran mengurangi program nuklirnya dengan imbalan mencabut sanksi terhadap ekonominya.
Menjangkau orang Arab dan Muslim
Kampanye Biden membuat upaya penjangkauan yang belum pernah terjadi sebelumnya ke komunitas Arab dan Muslim. Tetapi Biden masih menghadapi pukulan balik dari para pendukung yang mengklaim itu tidak cukup untuk menjawab pertanyaan kebijakan seputar konflik Palestina-Zionis.
Awal tahun ini, Biden merilis sebuah rencana untuk Muslim Amerika dan platform terpisah bagi Arab Amerika. Dia berjanji pada hari pertamanya menjabat untuk menghapus kebijakan di era Trump yang melarang warga dari negara berpenduduk mayoritas Muslim untuk masuk AS, mengakhiri program Countering Violent Extremism (CVE) dan menghentikan dukungan AS untuk perang koalisi pimpinan Saudi di Yaman.
Seperti diketahui, belum lagi genap 10 hari memerintah, Presiden Amerika Serikat Donald Trump sudah memicu kontroversi sengit. Pada 27 Januari 2017, ia mengeluarkan perintah eksekutif (executive order) yang melarang masuk untuk sementara para pengungsi dan pendatang dari tujuh negara yang mayoritas penduduknya adalah Muslim.
Kebijakan setara Keppres, yang bernomor 13769 itu berjudul: “Melindungi Bangsa dari Penyusupan Teroris Asing ke Amerika Serikat”.
Biden pun berjanji untuk membatalkan larangan ini. Dia menyatakan saat ia terpilih menjadi presiden, larangan kunjungan bagi turis asing dari sejumlah negara dengan mayoritas Muslim akan dihapus sehari setelah ia dilantik sebagai orang nomor satu di Amerika Serikat.
Biden bahkan menyebut larangan yang masih diterapkan selama masa kepemimpinan Donald Trump itu sebagai aturan yang benar-benar kejam.
“Saya ingin mendapat dukungan dari Anda (Umat Islam AS). Saya ingin membangun kerja sama yang baik dengan komunitas Muslim. Saya berharap Anda menjatuhkan pilihan pada saya dalam Pilpres nanti sehingga kita bisa bersama-sama membangun kembali negara ini,” harapnya seperti dilansir Associated Press (AP).
Biden juga berjanji untuk mengikutsertakan saran dari Umat Islam dalam menjalankan roda pemerintahannya.
“Suara Umat Islam AS sama pentingnya bagi kami, bagi negara kami,” ujarnya.
Gayung bersambut. Seorang petinggi Muslim AS menyatakan dukungannya terhadap Biden. Dia mengecam beberapa kebijakan dalam dan luar negeri Trump, termasuk larangan perjalanan bagi Muslim yang berasal dari negara-negara yang penduduknya mayoritas Islam untuk masuk AS.
Terkait dengan CVE, ini adalah program Trump yang dijalankan Dewan Keamanan Nasional, Badan Intelijen dan Lembaga Penegak Hukum Federal yang bertujuan untuk mengarahkan orang keluar dari jalur menuju “radikalisasi” atau “ekstremisme”. Namun, CVE tidak didukung oleh bukti yang kuat. Hal ini berakar pada teori yang tidak dipercaya bahwa keyakinan “radikal” dapat memprediksi kecenderungan untuk melakukan kekerasan bermotif politik. Dalam praktiknya, CVE secara keliru melegitimasi diskriminasi terhadap Muslim dan pembangkang.
Para pemilih Arab dan Muslim nampaknya menghargai upaya-upaya itu. Dalam jumlah besar mereka memberikan suara untuk kandidat Partai Demokrat di negara-negara bagian utama, termasuk Michigan.
Pendukung komunitas (Muslim) telah menyerukan agar memilih Biden untuk mengalahkan Trump, kemudian meminta pertanggungjawaban presiden baru.
Di Dearborn, Michigan, pinggiran Detroit yang dikenal sebagai ibu kota Amerika-Arab, jumlah pemilih meningkat. Para pemilih itu sangat menyukai Biden. Di Dearborn—kota yang banyak dihuni orang-orang Arab ini—Biden mendapatkan sekitar 30.000 suara, dibandingkan dengan Trump yang hanya mendapatkan 13.000 vote.
Konsultan politik Dearborn, Hussein Dabajeh, mengatakan kepada MEE bahwa masyarakat bersemangat untuk mengakhiri kepresidenan Trump.
“Anda tahu, Biden mungkin bukan kandidat yang sempurna, tapi kita harus mengeluarkan Trump (dari jabatannya sebagai presiden),” kata komunitas Arab di Dearborn yang dikutip Dabajeh.
Dia mengatakan aktivitas komunitas Arab-Amerika tidak berakhir dengan terpilihnya Biden. Dabajeh menekankan bahwa komunitas Arab-Amerika akan meminta pertanggungjawaban presiden baru atas janji yang dia buat kepada mereka.
Sirene Abou-Chakra, seorang organizer (pengurus/penyelenggara) Komunitas Arab-Amerika untuk Biden—sebuah kelompok yang mendorong perolehan suara bagi kandidat Demokrat—mengatakan para pendukung komunitas akan melanjutkan aktivitas mereka untuk memastikan bahwa pemerintahan baru memenuhi “akhir dari kesepakatan (hasil tawar menawar)”.
Abou-Chakra mengatakan pemungutan suara untuk komunitas Arab di seluruh negeri, dan di Michigan khususnya, menunjukkan pentingnya kampanye apa pun bagi warga Arab-Amerika tersebut.
Untuk saat ini, bagaimanapun, ujar Abou-Chakra, berita tentang kemenangan Biden telah menghilangkan kecemasan yang muncul sejak kemenangan Trump pada tahun 2016.
“Saya merasa seperti bisa menghembuskan nafas untuk pertama kalinya dalam empat tahun,” ungkapnya. (mus)
Sumber: MEE, AP