Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Nikita Mirzani ramai dibicarakan gara-gara melecehkan HRS yang pulang dari Saudi. Abu Janda berakting jingkrak-jingkrak menggendangi. Mirzani dilindungi Polisi karena reaksi Ustadz At Thuwailibi. Nikita pernah diciduk polisi di Hotel Kempinski, kawasan Bundaran HI, Jakarta Pusat, pada 10 Desember 2015 dalam kasus prostitusi. Publik pun ikut mengamati.
Berbagai video kini beredar membuka data melengkapi perilaku pelecehan yang dilakukan Mirzani. Ada tampilan saat berfoto sexy hingga memberi uang pada tukang parkir yang berujung pada fose tak senonoh. Sepertinya telah hilang rasa malu pada dirinya. Berucap dan berbuat semaunya.
“Negeri Mirzani” hanya sebutan saja, untuk menggambarkan situasi negeri yang juga telah hilang rasa malu. Uang telah mampu membeli kehormatan. State dignity yang tergadaikan karena kebutuhan pembiayaan. Siapa pun boleh memakai asal bawa uang. Soal kooptasi atau aneksasi itu hanya konsekuensi.
Ada tiga indikator karakter dari kondisi ini, yaitu:
Pertama, terjebak pada kesenangan duniawi semata. Sukses ditentukan materi. Nilai-nilai spiritual, ruhani dan agama terpinggirkan. Anggapannya hal itu urusan nanti, sukses saat ini yang lebih penting. Time is money, time for an infrastructure ‘boost’.
Kedua, negeri kekuasaan berbagi. Bagi-bagi kekuasaan atas dasar balas jasa. Cukong mendapat bagian proyek, relawan dapat Komisaris dan lain jabatan berduit, partai mendapat Menteri, rangkulan koalisi juga dapat bancakan. Kekuasaan bersama ‘gotong royong’. Satu lubang rame-rame.
Ketiga, aparat berebut foto selfie dengan Mirzani cukup ironis. Aparat yang bernyanyi “habibana” dianggap melanggar disiplin dan diborgol Polisi Militer. Tetapi sejumlah aparat polisi yang berfoto dengan ceria bersama Nikita saat mereka mengawal demo tolak Omnibus Law, Selasa, 13 Oktober 2020, tanpa protokol kesehatan, malah dibiarkan. Mestinya sama terkena sanksi. Artinya Negeri Mirzani adalah negeri ketidakadilan.
Revolusi mental gagal, revolusi moral dan akhlak adalah pilihan. Meski butuh penjabaran dan konsistensi.
Nikita Mirzani bebas berbuat semaunya dan dilindungi. Menunjukkan cara penyelesaian masalah dengan masalah. Terus bertumpuk tanpa solusi. Pemerintah bikin pusing sendiri dan rakyat pun semakin jengkel.
Badut dan pelacur politik bahagia berjoget-joget. Bu Mega, benar kata banyak orang bahwa bukan Jakarta yang amburadul tetapi Negeri Mirzani pimpinan Pak Joko Widodo yang harus segera dibenahi. Disikat dan dicuci.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 29 Rabi’ul Awwal 1442 H/15 November 2020 M