Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Ini bukan kisah “tenda biru” lagu Dessy Ratnasari, melainkan soal pernikahan putri HRS di Petamburan yang berbuntut panjang.
Peristiwa akad dan walimah berbasis syariah atau perdata ternyata dicoba ditarik sebagai kejahatan. Kerumunan dianggap sebagai unsur delik. Mengundang dianalogikan dengan menghasut atas dasar ketentuan Pasal 160 KUHP. Padahal tidak ada tindak pidana yang menyertai. Luar biasa. Bisa menjadi sebuah tuduhan yang bersejarah.
Covid-19 telah menjadi alat pemukul, bahkan menjadi “hakim” penentu apakah suatu perbuatan dapat ditarik ke ranah administrasi, perdata, pidana atau mungkin juga hukum rimba. Kelicikan kebijakan ada pada tarik menarik “jender” Covid 19 ini.
Pemanggilan Polisi kepada pemilik tenda, pemasang, sopir dan keneknya dalam kasus pernikahan putri HRS cukup mengagetkan. Urusan tenda ternyata ikut terbawa-bawa. Kelucuan hukum terjadi di negeri ini. Lama-lama petugas katering dan tukang cuci piring bisa dipanggil pula.
Mengejar HRS sampai ke penyewaan tenda sangat berlebihan dan tidak profesional. Kasarnya jangan-jangan tenda bisa dinyatakan sebagai tertuduh. Hukum kausalitas seperti ini tentu menggelikan.
Ada cerita almarhum pelawak Sunda, Kang Ibing, yang menertawakan hukum di negeri kita. Ia berkisah ada maling masuk ke dalam rumah melalui atap. Karena kayunya tidak kuat maka jatuhlah sang maling dan tewas. Keluarga si maling tidak terima, lalu memperkarakan si pemilik rumah. Hukum gantung mengancam.
Pemilik rumah menyalahkan tukang pembuat atap atas pengerjaannya. Kini si pembuat atap yang terancam hukuman gantung. Tetapi si tukang kayu ini membela diri. Katanya, dia tidak konsentrasi saat membuat atap karena ada perempuan lewat barpakaian oranye. Lalu tertuduh pun menjadi perempuan berpakaian oranye. Perempuan itu mengelak dengan menyalahkan tukang celup karena tadinya ia ingin pakaiannya berwarna hijau, tetapi tukang celup mencelup dengan warna oranye.
Akhirnya dicarilah tukang celup dan berhasil ditemukan. Lalu ia siap untuk digantung. Saat akan digantung ternyata tubuhnya tinggi dan gantungannya hanya bisa untuk orang yang pendek. Ujungnya, dicarilah siapa tukang celup yang tubuhnya pendek. Ketika berhasil ditemukan, digantunglah tukang celup pendek tersebut. Ketika hendak digantung ia bertanya mengapa ia harus dihukum gantung? Maka jawabannya, “Karena pendek!”
Ruwetnya hukum di Indonesia karena kehilangan otonominya. Dari penyidik hingga hakim selalu ada saja oknum yang gemar bermain-main. Kekuasaan dan uang ikut menentukan. Kasus HRS tidak otonom sehingga penelusurannya ke mana-mana. Akhirnya urusan tenda pun terseret Ikut dalam pemanggilan polisi. Dalam rangka mewujudkan keadilan yang semau-maunya.
Oh, tenda putih yang malang
Engkau peneduh tamu yang diundang
Tapi karena rekayasa perlu pecundang
Maka ke kantor polisi engkau harus datang
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 19 Rabi’ul Akhir 1442 H/5 Desember 2020 M