Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Berbeda dengan HRS, Gibran “tertolong” soal pandemi dan kerumunan pasca kemenangan di Solo. Tiba-tiba Majalah Tempo mengaitkan Gibran dengan kasus korupsi bansos Pak Mensos. Putra Presiden ini terseret opini yang menunggu bukti. Diberitakan Gibran “menolong” PT Sritex untuk mendapatkan proyek pengadaan tas kantong bansos.
Dalam laporan Tempo itu Gibran diistilahkan sebagai “Anak Pak Lurah”. Pak Lurah yang dimaksud, menurut Tempo mengacu kepada Presiden Joko Widodo. “Anak Pak Lurah” ini sontak menjadi perbincangan hangat di media informasi.
Menteri Sosial Juliari Batubara tersandung korupsi dana bansos sebesar Rp17 Miliar. Ia menarik potongan hingga 100 ribu rupiah per paket. Tentu banyak pejabat Kemensos yang terlibat. Ketua KPK menyebut bahwa Juliari dapat terancam hukuman mati berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Majalah Tempo edisi terbaru memberi judul cover “Korupsi Bansos Kubu Banteng” dengan gambar kantong bansos bertuliskan “Dana bansos yang disunat Menteri Juliari Batubara diduga mengalir sampai ke tim pemenangan kepala daerah PDIP. Elite partai banteng disebut terlibat”.
Entah karena PDIP tersudutkan dalam kasus korupsi ini dengan adanya pernyataan Presiden yang menegaskan tidak akan melindungi pelaku korupsi, maka tiba-tiba Gibran putra Presiden ikut disebut-sebut. Konflik Joko Widodo dengan Mega?
Adalah dua staf Kemensos yang menceritakan bahwa keduanya diperintahkan untuk menghentikan pencarian vendor penyedia tas bansos karena, “Itu bagian anak Pak Lurah,” katanya. Semula pencarian diarahkan pada Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Atas rekomendasi Gibran Rakabuming Raka maka penyedia tas bansos yang berjumlah 10 Juta itu diberikan kepada PT Sritex.
KPK akan memanggil dan memeriksa Direktur PT Sritex dan Gibran untuk membuktikan keterlibatan keduanya dalam kasus korupsi yang menimpa Mensos Juliari dari PDIP dan pejabat lainnya. Hal ini menjadi sangat menarik karena dapat menjadi momen pengujian atas ketegasan Presiden dalam pemberantasan korupsi.
Anak yang disayangi dan awalnya tidak didorong untuk berkiprah dalam bidang politik kini disebut-sebut terlibat. Selama ini majunya Gibran di Pilkada Solo telah disorot habis sebagai bagian dari nepotisme yang dahulu populer dengan sebutan KKN. Kini Gibran terjebak bukan saja dalam pusaran nepotisme, tetapi juga korupsi dan kolusi.
Masyarakat menilai Joko Widodo memaksakan sang putra untuk menempuh karir yang sama, yaitu mulai dari jabatan Wali Kota Solo. Jika sang ayah semula sebagai pengusaha mebel, maka sang anak adalah pengusaha martabak. Dua-duanya sebenarnya diragukan kemampuannya di bidang pengelolaan negara. Ada faktor “keberuntungan” dan kepentingan dukungan.
Joko Widodo dan Gibran seharusnya membaca puisi Kahlil Gibran.
Bagian puisi Kahlil Gibran sang penyair cerdas asal Lebanon yang berjudul: “Anakmu bukan milikmu” cukup menarik.
“Anakmu bukan milikmu
Tetapi anak kehidupan
Yang rindu akan dirinya
Bisa saja mereka mirip dirimu
Tapi jangan menuntut agar menjadi sepertimu
Sebab kehidupan itu bergerak ke depan
Bukan tenggelam di masa lampau.”
Pak Joko Widodo rupanya tidak membaca puisi Gibran ini atau mungkin membaca tetapi tak peduli dengan urusan puisi karena tak berhubungan dengan investasi dan utang luar negeri.
Menjadikan Gibran sang putra sebagai kegiatan investasi justru membawa dirinya akan dekat dengan korupsi.
Kini Gibran “terperosok” ke dalam tas kantong bansos tindak pidana korupsi sang Menteri. Menterinya Pak Joko Widodo.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 7 Jumadil Awwal 1442 H/21 Desember 2020 M