Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Pembunuhan, bahkan banyak yang menyebut pembantaian, 6 anggota laskar FPI oleh aparat kepolisian masih diselidiki Komnas HAM. Masyarakat khususnya umat Islam sangat berharap kerja Komnas HAM dapat maksimal.
Kondisi jenazah yang kini beredar luas sangat mengenaskan. Komentar terhadap keadaan ini menyebut “biadab”, “bengis” dan lainnya. Tentu melihat pada kesan bekas penembakan dan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat yang katanya bermoral “Pancasila”.
Lokasi KM 50 Jalan Tol Jakarta-Cikampek disebut-sebut sebagai Tempat Kejadian Perkara. Meskipun kabarnya 4 syuhada dibawa ke tempat lain. Namun KM 50 ini menjadi tempat terpenting sebagai saksi bisu kejadian. Saksi hidup juga ada di area ini. Banyak pedagang berjualan di rest area KM 50.
Kini Jasa Marga berencana menutup area ini. Para pedagang yang berjualan di tempat tersebut merasa keberatan dan memprotesnya. Alasan penutupan adalah renovasi. Meski agak aneh, lokasi penting yang menjadi bukti suatu peristiwa tragedi yang menjadi perhatian bangsa, bahkan bangsa-bangsa, begitu saja akan ditutup dan dibongkar, sementara penyelidikan kasus pun belum selesai.
Jika hasil penyelidikan ternyata terbukti telah terjadi pelanggaran HAM berat di tempat ini, maka semestinya semua pihak mengingat peristiwa tersebut. Menjadi pelajaran baik bagi masyarakat, aparat maupun pemerintah. Kejadian keji yang tidak boleh terulang di masa mendatang. Oleh karena itu sepatutnya harus ada monumen pengingat.
“Monumen HAM Km 50” layak untuk dipertimbangkan pembuatannya. Apalagi rest area ini akan ditutup dan dibongkar. Aparat, jika benar bersalah, tak usah risih dengan keberadaan monumen. Begitu juga jika pihak lain yang bersalah. Justru bangsa ini yang harus merasa malu atas terjadinya pelanggaran HAM yang memilukan. Simbol untuk membuktikan bahwa kita adalah bangsa yang menjunjung nilai-nilai ideologi Pancasila.
Jika di Lubang Buaya terdapat monumen “Pancasila Sakti”, maka di KM 50 ini layak untuk menjadi monumen “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” dengan “Rantai Emas” sebagai simbol ikatan kemanusiaan atau persaudaraan manusiawi.
Meskipun demikian, sebagai bangsa yang menghormati hukum, maka realisasi dari gagasan ini sangat tergantung pada hasil akhir penyelidikan Komnas HAM atau lembaga pencari fakta independen yang mungkin dibentuk esok.
Yang jelas, di waktu kapan dan di bawah kepemimpinan siapa pun, bangsa dan rakyat Indonesia harus menjadi garda terdepan dalam menegakkan Hak Asasi Manusia. Tidak toleran terhadap segala bentuk pelanggaran yang dilakukan oleh siapa pun atau rezim mana pun.
“Monumen HAM KM 50” patut untuk dibangun. Sejarah tidak boleh dilupakan.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 10 Jumadil Awwal 1442 H/23 Desember 2020 M