Catatan KH Athian Ali M Da’i, Lc, MA*
SALAM-ONLINE.COM: Sejujurnya, saya semula sangat tidak berminat sama sekali untuk menanggapi pernyataan menteri agama dihari pertama yang bersangkutan memangku jabatan. Terutama pernyataan bersangkutan yang menyatakan, bahwa dirinya akan mengafirmasi Ahmadiyah dan syiah.
Keengganan untuk menanggapi pernyataan tersebut didasari di antaranya oleh ketidakjelasan, apakah pernyataan tersebut murni pernyataan yang bersangkutan sebagai menteri agama tanpa mengikutsertakan pribadinya selaku Muslim? Ataukah dirinya sebagai Muslim juga ikut terlibat dalam pernyataannya tersebut?
Jika diri yang bersangkutan sebagai Muslim ikut terlibat, tentu pernyataan tersebut akan terasa janggal. AwaInya, ketika belum membaca dan mendengar langsung isi pernyataannya, saya sempat ragu, apa benar menteri agama menyatakan hal tersebut? Keraguan yang didasari oleh keyakinan, bahwasanya dalam menilai dan menetapkan benar atau sesatnya suatu ajaran, seorang Muslim pastinya selalu akan merujuk kepada kebenaran mutlak yang telah ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam AI-Qur ‘an dan As-Sunnah.
Sebaliknya, jika pernyataannya tersebut didasari semata-mata yang bersangkutan sebagai menteri agama tanpa melibatkan dirinya sebagai Muslim, maka akan lebih tidak rasional lagi. Bagaimana mungkin seorang Muslim bisa terpisah dengan keyakinannya dalam menetapkan benar atau menyimpangnya suatu ajaran?
Di sisi lain, dengan menyatakan “Saya menteri semua Agama” yang bersangkutan ingin menegaskan bahwa dirinya sebagai menteri agama berkewajiban untuk mengayomi enam agama resmi yang diakui negara: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu.
Terkait dengan pernyataan yang bersangkutan maka pertanyaan yang segera akan muncul kemudian adalah, di mana posisi Ahmadiyah dan Syiah menurut yang bersangkutan? Apakah keduanya tergolong aliran kepercayaan? Ataukah masuk ke dalam Agama yang belum secara resmi diakui negara? Sebagai Muslim rasanya kecil kemungkinan jika yang bersangkutan tidak pernah membaca, minimal mendengar fatwa para Ulama yang menyatakan keduanya bukanlah bagian atau mazhab dalam Islam!
Setiap Muslim, terlebih tokoh Islam, tentunya mafhum, jika Ahmadiyah memiliki kitab suci tersendiri yakni Tadzkirah. Memiliki Rasul tersendiri pula yakni Mirza Ghulam Ahmad.
Demikian juga Syiah, mereka memiliki kitab suci tersendiri yakni mushaf Fathimi yang terdiri dari 17.000 ayat, hampir tiga kali lebih banyak dari jumlah ayat Al-Qur’an, yang menurut Khomeini, ayat-ayat yang ada dalam kitab suci mereka itu tidak ada satu pun yang serupa dengan Al-Qur’an. Rukun Iman dan Islamnya juga berbeda. Bentuk syahadat, praktik ibadah dan tanah sucinya pun tidak sama.
Bahkan menurut salah seorang istri tokoh syiah, Tuhan mereka pun berbeda dengan Tuhannya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Menteri Agama seharusnya berupaya untuk melindungi kesakralan keenam agama dari upaya penodaan dan penistaan. Termasuk melindungi kesucian ajaran Islam dari penodaan, seperti yang pernah dilakukan tokoh syiah Tajulmuluk. Dia pernah menyatakan, bahwa Al-Qur’an bukanlah kitab suci, seraya melaknat Abu Bakr Ash Shiddiq dan Umar bin Khaththab Radhiyallahu ‘anhuma, dua di antara sepuluh sahabat Rasul yang sudah dijamin Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai ahli surge—karenanya sangat dihormati dan dimuliakan oleh umat Islam.
Penodaan yang kemudian memancing amarah umat Islam dan berujung dengan terjadinya peristiwa berdarah di Sampang, Madura. Peristiwa ini mengantarkan Pengadilan Tinggi Jawa Timur memvonis Tajulmuluk empat tahun penjara karena dinilai melanggar KUHP 156 A soal penodaan Agama.
Menteri Agama selayaknya mengetahui dan menghormati Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pada tahun 1980 telah memfatwakan Ahmadiyah sebagai ajaran sesat, yang kemudian diperkuat lagi dengan fatwa di tahun 2005.
Khusus tentang syiah, Para tokoh Ulama terkemuka di dunia, termasuk tokoh keempat mazhab sejak dulu telah memfatwakan sesatnya ajaran syiah.
Di Indonesia, MUI Pusat sejak dini telah pula mengantisipasi ancaman syiah, di antaranya dengan menerbitkan Fatwa kewaspadaan terhadap syiah pada tahun 1984. MUI Pusat pun menerbitkan buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia”.
MUI Pusat juga menetapkan empat fatwa terkait empat ajaran pokok syiah: 1. Fatwa Majelis Ulama Indonesia bertanggal 25 Okktober 1997, tentang Haramnya nikah mut ‘ah. 2 . Fatwa Majelis Ulama Indonesia, nomor 10 tahun 2017 bertanggal 1 Maret 2017, tentang kafirnya setiap orang yang meragukan kesempurnaan Al-Qur’an. 3. Fatwa Majelis Ulama Indonesia, nomor 23 tahun 201 6, bertanggal 17 Mei 2016, tentang fasik, sesat dan kafirnya setiap orang yang menghina dan mengkafirkan sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. 4. Fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor 11 tahun 2017, bertanggal 1 Maret 2017, tentang sesat dan kafirnya setiap orang yang meyakini adanya kema’shuman imam.
Last but not least, Ulama terkemuka yang boleh jadi merupakan tokoh ulama yang paling pertama menyatakan Syiah sebagai Ahli bid’ah adalah Hadratus Syaikh Hasyim Asy’ari pendiri Nahdatul Ulama (NU), salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia, ormas tempat Pak Menteri Agama bernaung.
Semoga kehadiran Menag yang baru ini tidak menimbulkan kegaduhan baru di negeri ini, seperti yang pernah dilakukan Menag sebelumnya dengan mengangkat isu-isu yang sangat sensitif dan mustahil untuk diterima umat Islam.
*) Penulis Ketua Umum ANNAS Indonesia