Catatan KH Athian Ali M Da’i, Lc, MA*
SALAM-ONLINE.COM: Di dalam diri setiap manusia terdapat segumpal darah. Jika ia baik maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Sebaliknya jika ia buruk maka akan buruk pula seluruh tubuhnya. Segumpal darah yang dimaksud itu adalah “qalbu” (Al-Hadist).
“Qalbu” atau juga terkadang disebut dengan “jiwa” atau “ruh”, atau “hati nurani” adalah hakikat jati diri dari manusia. Dialah yang menggerakkan akal, seluruh indera dan anggota tubuh sesuai dengan peran dan fungsi dari masing-masing untuk berbuat “Taqwa” atau “Fujuur”, baik atau tidak baik (QS Asy-Syams: 7-10).
Setiap kali ruh menginstruksikan anggota tubuh berbuat maksiat dan kemungkaran maka akan ada “nuktoh” (titik) hitam di dalam qalbu. Jika nuktoh itu sudah sangat banyak dan meliputi qalbu, maka Al-Qur’an menyebutnya dengan “Ŕoona” (QS Al-Muthaffifiin: 14).
Dalam kondisi seperti itu akan sulit sekali sinar hidayah menembus dan meneranginya. Ia bahkan cenderung akan “keras membatu” (QS Al-Baqarah: 74), membuat hati nurani mati sehingga tidak mampu lagi menerima hidayah untuk menggerakkan kebaikan.
Ketika hati nurani sudah mati, nilai kemanusiaan pun akan merosot ke tingkat “Asfala saafiliin”—serendah-rendahnya (QS At-Tiin: 5). Yang kemudian berkuasa di dalam hati adalah kecenderungan “Fujuur” (QS Asy Sams: 7-8) dalam wujud sifat syaitani atau hewani. Tak ubahnya binatang, bahkan jauh lebih rendah dan hina dari binatang (QS Al-A’raaf: 179).
Di dunia binatang misalnya, kita tidak akan pernah menjumpai sekelompok singa yang menyusun kekuatan angkatan bersenjata untuk menaklukkan dan menjajah kelompok singa yang lain.
Tidak akan pernah kita menemukan seekor anjing yang berupaya memperbudak anjing yang lain. Tidak akan pernah kita menyaksikan seekor katak yang berusaha menutup mulut-mulut katak yang lain dengan tidak memberikan sedikit pun hak untuk bersuara.
Yang pasti, korban manusia oleh binatang buas sejak manusia dan binatang diciptakan, jumlahnya relatif sedikit sekali dibanding korban kebuasan manusia atas manusia.
Matinya hati nurani akan membuat diri seseorang menjadi “tuli, bisu dan buta” (QS Al-Baqarah: 18, 171).
“Tuli” untuk mendengar kebenaran serta tuntutan, jeritan dan pekikan dari orang-orang yang terzalimi. “Bisu” untuk menyatakan mana yang hak dan mana yang batil. “Buta” untuk melihat segala fakta yang diakibatkan oleh kezaliman yang dilakukannya.
Semakin Jauh manusia meninggalkan syariat Allah, maka akan semakin jauh pula manusia kehilangan “kemanusiaan”-nya.
Ketika manusia sudah menjadikan nafsu sebagai Tuhan (QS Al-Furqaan: 43, Al Jaatsiah: 23), maka ia pun siap menghalalkan segala cara dengan memutarbalikkan fakta yang ada. Yang hak dikatakan batil dan yang batil dikatakan hak. Siap mengorbankan hak orang lain, bahkan nyawa manusia!
Sulit terbayangkan, bagaimana akan tercipta suasana yang tenteram dan bahagia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, manakala mereka yang berkuasa adalah manusia-manusia yang sudah mati hati nuraninya!
*Penulis adalah Ketua Umum ANNAS Indonesia