Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Diproses seriuskah Abu Janda setelah ber haha hehe minta maaf? Cukup sampai di sini hukum berbicara? Wah terlalu. Ini bukan negara minta maaf, apalagi minta wakaf.
Ini negara hukum yang menempatkan semua berkedudukan sama di depan hukum. Pejabat dengan rakyat kebanyakan itu sejajar, guru besar dengan badut juga sama. Kecuali gila yang tak bisa dipidana. Tetapi gila-gilaan harus menjadi alasan untuk memperberat hukuman.
Hari Senin katanya Abu Janda diperiksa Bareskrim. Berita yang muncul menyatakan tak jelas kapan datang, ujug-ujug sudah ada di dalam “sedang diperiksa”, katanya. Laporan perbuatan pidana atas dirinya adalah “rasis” dan “penistaan agama”, dua delik berat yang mesti dipertanggungjawabkan secara hukum. Abu Janda boleh pulang setelah dicecar 50 pertanyaan. Entah akan ada pemanggilan lanjutan atau tidak. Ditangkapkah?
Banyak pihak berkeyakinan AbuJanda akan kena batunya. Tetapi tidak sedikit juga yang skeptis pada keseriusan pemeriksaan. Seorang jurnalis senior meragukan Polisi akan menahan Abu Janda. “Anda pasti sedang mimpi atau berkhayal,” sergahnya. Tentu merujuk pada beberapa laporan terdahulu yang telah menguap begitu saja.
Dari sudut mana pun mengaitkan Natalius Pigai dengan “evolusi” adalah penghinaan dan rasis. Soal penghinaan dapat dimasukkan klacht delict (delik aduan), tetapi soal rasisme tentu tidak. Demikian juga dengan “Islam arogan”, mudah untuk dikualifikasikan sebagai penodaan agama. Ahok saja soal tafsir ayat dikenakan hukuman.
Jika terbukti dan terpenuhi rumusan delik serta dukungan publik kuat atas perilaku kriminal Abu Janda, lalu tidak diproses sebagaimana mestinya, sementara Abu Janda adalah bagian dari Istana atau “influencer bayaran”, kemudian istana membiarkan, maka istana tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab politiknya. Proteksi otoritatif yang layak ikut menanggung dosa.
UU No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis khususnya pada Pasal 7 mengingatkan bahwa Pemerintah wajib memberi perlindungan efektif kepada warga negara yang mengalami tindakan diskriminasi ras dan etnis dengan penegakan hukum melalui proses peradilan.
Kepolisian itu di bawah Presiden. Presiden memiliki kewenangan memantau dan memerintahkan. Jika tugas yang di bawah kewenangan itu bekerja lambat atau menyimpang, dapat dan harus ditegur. Tak bisa dengan enteng berkilah, “Bukan urusan saya.” Ada tanggung jawab moral, politik dan hukum sebagai konsekuensi dari statusnya sebagai Kepala Pemerintahan.
Tanggung jawab ini berkaitan dengan sikap pembiaran negara “by omission”, yakni negara yang tidak melakukan sesuatu tindakan lebih lanjut untuk melaksanakan apa yang menjadi kewajiban hukumnya. Rasisme seorang Abu Janda atas Natalius Pigai tidak bisa dibiarkan oleh negara. Pemerintah harus memproteksi. Pembiaran menjadi kejahatan yang berkualifikasi sama bagi pemegang otoritas.
Abu Janda yang tidak diproses tuntas dalam kasus rasisme akan membawa konsekuensi kepada predikat bahwa Presiden sebagai Kepala Pemerintahan adalah seorang rasis.
*) Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan