Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Telah tiga bulan aksi unjuk rasa di Thailand berlangsung tanpa ada tanda-tanda mereda. Aspirasi yang dituntut adalah reformasi monarkhi dan desakan mundur terhadap Perdana Menteri Prayuth Chan-O-Cha. Meski korban berjatuhan dan banyak aktivis yang ditangkap, tetapi pengunjuk rasa tetap gigih memperjuangkan tuntutannya. Unjuk rasa dipicu oleh pembubaran partai oposisi Partai Maju Masa Depan.
Sementara itu demonstrasi besar-besaran terjadi juga di Myanmar. Rakyat pro demokrasi memprotes kudeta militer pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing dan penahanan pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi beserta petinggi pemerintahan lainnya. Partai Liga Nasional pimpinan Aung Suu Kyi baru saja memenangkan Pemilu. Tercatat 149 pengunjuk rasa tewas.
Tiga catatan penting atas aksi unjuk rasa di kedua negara tersebut, yaitu:
Pertama, protes rakyat ditujukan kepada penguasa yang potensial otoriter. Di Thailand ditandai dengan sewenang-wenang membubarkan partai oposisi. Monarkhi semakin tidak disukai, Prayuth Cha O Cha berlindung dan memperalat Raja. Di Myanmar dipastikan Pemerintahan junta militer Aung Hlaing bertindak otoriter untuk mengamankan kudeta. Menghadapi pengunjuk rasa dengan tindakan yang represif.
Kedua, kedaulatan rakyat sebagai substansi atau prinsip utama demokrasi yang terus menerus mengalami penggerusan senantiasa menemukan momentum penggalangan dan perlawanan. Gerakan pro demokrasi selalu menarik dukungan dunia. Sikap otoritarian domestik akan goyah oleh kekuatan mondial yang pro demokrasi. Kejatuhan hanya masalah waktu.
Ketiga, pengunjuk rasa di Bangkok (Thailand) maupun Yangoon (Myanmar) dan kota lain tidak peduli dengan pandemi Covid-19 yang biasa menghalangi kerumunan. Melawan kezaliman dan menegakkan keadilan menjadi prioritas dengan menembus risiko pandemi. Faktanya juga ternyata kelompok aksi itu tidak terdengar menjadi klaster penyebaran Covid-19.
Apa yang dilakukan rakyat di Thailand dan Myanmar mengingatkan para penguasa oligarkhis dan otoriter di mana pun untuk menyadari bahwa rakyat tidak selamanya bisa diiming-imingi, ditakut-takuti atau ditekan dengan alat kekuasaan apapun. Melawan kezaliman dan menegakkan keadilan membangun keberanian untuk mengambil risiko.
Penguasa otoriter yang sering memperalat pandemi Covid-19 untuk menipu atau menindas rakyat, akan mengalami serangan balik dari rakyatnya sendiri. Tidak peduli dengan pandemi jika aksi turun ke jalan menjadi pilihan. Mungkin rakyat memahami bahwa saat ada virus Corona pun jengkel dengan perilaku para penguasa yang korup dan zalim itu. Lalu virus itu pun sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa akan ikut bersama rakyat berunjuk rasa menumbangkan kebodohan dan keangkuhan kekuasaan.
Unjuk rasa Thailand dan Myanmar memberi pelajaran. Meskipun lucunya, KBRI kita di Ibu Kota Myanmar turut didemo oleh para pengunjuk rasa gara-gara sikap Indonesia yang seolah-olah pro kepada kudeta militer pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing.
Memborgol demokrasi dengan menahan dan mengadili aktivis KAMI, membubarkan organisasi HTI dan FPI, membunuh enam laskar, serta memaksakan dengan segala cara untuk membungkam dan menghukum HRS, merupakan wujud dari perilaku “abuse of power” yang dinilai sangat menjengkelkan rakyat.
Remember Thailand and Myanmar!
*) Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan