Catatan KH Athian Ali M Da’i, Lc, MA*
SALAM-ONLINE.COM: Kantor berita Reuters melansir sebuah dokumen resmi Pemerintah Indonesia dengan judul “Exclusive: After Bruising Election, Indonesia to Vet Public Servants to Identify Islamists”.
Jika diterjemahkan secara bebas judul berita ini adalah “Setelah babak belur dalam Pilpres, pemerintah akan melakukan litsus terhadap pegawai pemerintah yang terindikasi Islam radikal”.
Berita yang oleh Reuters dimasukkan ke dalam kategori eksklusif dan Top News ini dipublish pertama kali pada Jumat (21 /6/2019). Reuters mengaku mendapatkan dokumen dari seorang pejabat senior Pemerintah Indonesia. Pejabat tersebut merupakan salah satu dari 12 orang tim resmi yang merumuskan kebijakan skrining baru terhadap para calon pejabat sampai level eselon dua.
Presiden, menurut pejabat itu, ingin sebelum Pilpres 2024, elemen garis keras dan radikal sudah berhasil disingkirkan untuk mencapai “demokrasi yang lebih sehat”.
Salah satu yang menjadi misi pemerintahan Joko Widodo jilid dua sebagaimana diberitakan Reuters di atas, kini sudah sangat dirasakan, khususnya dari berbagai pernyataan beberapa menteri kabinet Joko Widodo. Terutama sekali Menteri Agama Fachrul Razi (FR) yang pada hari pertama menjabat langsung menyatakan keinginan kerasnya untuk mengatasi radikalisme yang ia sebut dapat maşuk ke masjid melalui orang-orang yang berpenampilan menarik atau good Iooking dan hafiz Al-Qur’an.
Lucunya, menurut yang bersangkutan, beberapa ciri dari mereka terpapar radikalisme, prianya berjanggut panjang dan memakai celana cingkrang, sementara wanitanya bercadar.
Definisi radikalisme yang konyol dan menggelikan ini langsung saja menciptakan kegaduhan dan mengundang reaksi keras para Ulama.
Bukan hanya para Ulama, bahkan Deputi I Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi BNPT, Mayjen TNI Hendri P Lubis, ikut juga meluruskan definisi ngawur ini. Mayjen Hendri P Lubis di antaranya mengatakan, menilai seseorang sebagai teroris dan radikal hanya dari jenggot, cadar maupun celana cingkrang adalah pemikiran yang sederhana serta keliru.
“Kita menilai seseorang bukan dari penampilan fisiknya. Yang paling bahaya adalah pemikirannya. Radikal dalam pemikiran, radikal dalam sikap dan radikal dalam tindakan,” katanya seperti dilansir Antara, Jumat (8/11/2019).
Dalam merespons tindakan Detasemen Khusus (Densus ) 88 Antiteror Mabes Polri yang menggeledah ruangan Pondok Pesantren (Ponpes) Ibnul Qoyyim Dusun Gabung, Sendangtirto, Berbah, SIeman, yang terjadi belum lama ini,
Sekretaris Jenderal (Sekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dr Amirsyah Tambunan, mengatakan, terorisme tak ada hubungannya dengan agama.
“Jangan menyederhanakan masalah penanganan terorisme di Indonesia hanya dengan menuduh pakai cadar, celana cingkrang, jenggot. Ini justru memperkeruh masalah. Lagi-lagi ini tuduhan yang tak berdasar. Oleh sebab itu semua pihak di masyarakat jangan terkecoh melihat masalah terorisme di permukaan saja,” kata Amirsyah.
Alhamdulillah, masyarakat, khususnya umat Islam, Iuar biasa sangat lega dan berbahagia, ketika jabatan FR yang banyak mengundang kegaduhan karena pernyataan-pernyataannya yang sangat kontroversial itu hanya berusia sekitar satu tahun.
Namun kebahagiaan tersebut ternyata hanya sekejap saja dapat dinikmati oleh umat, karena penggantinya Yaqut Cholil Qoumas (YCQ) pada pekan pertama menjabat dengan sangat dzahar (terang) menyatakan, pemerintah akan mengafirmasi hak beragama warga Ahmadiyah dan Syiah di Indonesia.
“Mereka warga negara yang harus dilindungi,” kata Yaqut yang dikutip Antara, Kamis (24/12/2020).
Jika yang dimaksudkan oleh YCQ dengan “Dilindungi” adalah melindungi hak-hak mereka sebagai warga negara, tentu saja kita semua sangat sepakat.
Namun, jika yang dimaksudkan adalah melindungi hak mereka untuk menyebarkan ajaran-ajaran yang sudah difatwakan sesat oleh Majelis Ulama Indonesia, tentu hal ini sangat berbahaya.
Beberapa ajaran Syiah misalnya, sangat melecehkan dan menghina akidah İslam, sebagaimana pernah dinyatakan oleh tokoh Syiah di Sampang, Tajul Muluk bahwa “Al-Qur’an bukan kitab suci”. Selanjutnya yang bersangkutan melaknat beberapa sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Penistaan dan pelecehan terhadap Al-Qur’an dan para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ini berujung dengan vonis pidana 4 tahun penjara terhadap Tajul Muluk oleh Pengadilan Tinggi Jawa Timur yang dikukuhkan kemudian oleh Mahkamah Agung.
Di samping sesat dan menyesatkan bagi akidah Islam yang dianut mayoritas penduduk negeri ini, Syiah dengan konsep wilayah dan imamahnya juga sangat berbahaya dan mengancam keutuhan NKRI.
Kegaduhan dan kebingungan umat yang awam semakin memuncak, ketika Ketua Umum PBNU Said Aqil Sirodj (SAS) menyatakan, “Jika kita betul-betul serius memberangus Terorisme, maka biang atau pangkalnya yang harus dicerabut, yakni Wahabi dan Salafi.”
Untungnya, jangankan para Ulama dan umat Islam di luar Nahdliyyin (NU), bahkan di lingkungan para Ulama Nahdliyyin garis lurus sekali pun terkesan memilih sikap yang sama, bahwa cara yang paling tepat dan paling bijak dalam merespons pernyataan-pernyataan SAS adalah dengan tidak menanggapi dan tidak menghiraukannya.
Kita berharap, demi untuk terciptanya suasana yang tenteram di negeri ini, seharusnya pemerintah menghentikan setiap bentuk langkah dan upaya yang hanya menimbulkan keresahan dan kegaduhan di masyarakat. Rakyat sudah cukup menderita dengan kondisi ekonomi yang semakin mencekik banyak warga masyarakat. Belum Iagi ancaman Covid-19 yang belum tertangani dan telah banyak menelan korban di negeri ini.
Pemerintah seharusnya menetapkan definisi “Radikalisme” yang dimaksud, agar sosoknya tidak lagi hadir bak hantu yang mencekam dan menakutkan tanpa jelas bentuk wujudnya.
Agar masyarakat tidak memiliki alasan untuk menduga-duga dan curiga, jangan-jangan hantu radikalisme sengaja diciptakan hanya sebagai alat politik, dalam rangka membungkam bahkan menghabisi pihak oposisi atau lawan-lawan politik yang berseberangan dengan pemerintah?
* Penulis adalah Ketua Umum Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) dan Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI)