Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Ide atau gagasan Menag Yaqut Cholil Qoumas agar pada setiap acara di lingkup Kementerian Agama (Kemenag) dibacakan doa untuk semua agama dengan alasan lebih cepat doa itu dikabulkan adalah mengada-ada, tidak memiliki landasan syar’i dan membuat makna toleransi jadi kebablasan. Itu namanya sinkretisme (mencampur-adukkan) agama.
Yaqut memahami tidak makna agama bagi pemeluknya? Keyakinan yang tidak boleh dicampur aduk dengan agama lain. Masing-masing saja.
Kondisi toleransi dalam makna campur aduk ini menggambarkan betapa rendah dirinya umat Islam dalam menjalankan keyakinan agamanya. Pak Menteri Agama sungguh tak layak menjadi teladan, baik pikiran maupun sikap ke-Islaman-nya. Meracuni dengan cara pandang yang salah. Tidak ada doa bareng–bareng semua agama.
Jika ada acara di mana umat Islam harus mengikuti doa bersama atau bergantian, maka sebaiknya masing-masing umat dibiarkan berdoa sesuai agamanya. Adapun umat Islam tidak boleh mengikuti (doa keyakinan lain). Artinya keluar ruangan saja.
Presiden Joko Widodo dalam acara LDII, organisasi yang masih pro dan kontra keberadaannya, menyatakan Pemerintah akan menindak tegas masyarakat yang bersikap intoleran. Sebelum bicara atau pidato sebaiknya Presiden memahami dahulu komitmen bersama tentang makna toleransi. Jangan bias. Jika toleransi adalah seperti yang dimaksud Menag Yaqut jelas keliru dan tak bisa diterima oleh umat Islam.
Demikian juga sebelumnya apa yang dikemukakan Said Aqil Siradj soal pelajaran akidah dan syariah yang diminimalkan di kampus umum adalah bagian dari upaya pendangkalan ajaran Islam. Seorang Muslim yang akidah dan syariahnya rusak dipastikan jalan hidupnya akan terseok-seok dan cara pandang ke-Islaman-nya akan menjadi sekuler. Akidah dan syariah adalah pokok ajaran Islam. Tidak ada hubungan dengan sikap intoleran atau radikalisme.
Adalah hak asasi manusia untuk beragama dan berbeda pandangan soal menjalankan agama, sepanjang tidak destruktif dan mengganggu keyakinan agama pihak lain. Toleransi yang dimaknai harus konstruktif. Agama dan umat Islam sudah biasa bersikap toleran dalam beragama. Justru Pemerintahlah yang sering memojokkan dan memanas-manasi umat agar mengevaluasi cara mewujudkan keyakinannya.
Presiden dan para Menteri yang sering membuat pernyataan dan kebijakan yang bernuansa mengadu domba dan mengotak-atik pandangan keagamaan umat yang sudah baik.
Isu radikalisme, ekstremisme, intoleran, maupun terorisme terus ditiup-tiupkan kepada umat Islam seolah-olah menjadi hukum umum. Ini persis dengan gaya kekuasaan komunis yang selalu ingin menghancurkan dan menjauhkan agama dari kehidupan sosial.
Kembali kepada spirit Menag Yaqut yang menghendaki agar pada setiap acara dibacakan doa dari berbagai agama, itu adalah anjuran atau kebijakan batil. Umat Islam tidak boleh ikut.
Nah jika model seperti ini tetap dijalankan, adalah hak umat Islam untuk tidak terlibat. Karenanya pilihan sikap tak lain adalah keluar dari ruangan!
*) Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan