Catatan M Rizal Fadillah
SALAM-ONLINE.COM: Sedih melihat beberapa foto dan video yang menggambarkan betapa ketat aparat keamanan menjaga batas pintu masuk kota/kabupaten. Media melansir berita bahwa “Satuan Tempur TNI Dikerahkan untuk penyekatan Pemudik di Jawa Tengah”.
Ada tiga hal yang memprihatinkan rakyat, bangsa dan negara dengan fenomena ini.
Pertama, keterlibatan militer untuk penyekatan “menghadapi” rakyat pemudik adalah berlebihan. Sama berlebihannya dengan pasukan Kodam Jaya menurunkan Baliho HRS yang menjadi tugas dan kewenangan Satpol PP.
Kedua, Efek Psikologis menurunkan “Satuan Tempur TNI” adalah teror psikologis bagi rakyat yang sudah direnggut kebahagiaannya. Larangan mudik itu mengecewakan dan menyedihkan. Terkesan betapa bahayanya rakyat di depan aparat sehingga perlu diteror dengan pasukan. Rakyat bukan teroris.
Ketiga, rakyat atau masyarakat pulang kampung atau mudik bukan berarti memiliki uang berlimpah. Mereka sekadar ingin bertemu dengan sanak keluarga, orang tua dan kerabat. Dengan pengerahan pasukan dan aparat maksimal, maka penyekatan dapat dikesankan menjadi “proyek lebaran” bagi petugas. Pasukan TNI yang dikerahkan mencitrakan selama ini bahwa pasukan itu memang “menganggur”.
Bahwa kondisi pandemi semua sudah tahu, rambu-rambu sudah dibuat yang disebut prokes. Kebijakan ketat mudik tak sebanding dengan longgarnya pariwisata. Mall tetap dibuka, pariwisata tetap digalakkan. Bahkan pulang pergi penerbangan ke negeri Cina dibuka lebar. Ketidakadilan terus menampar wajah kekecewaan dan kepedihan rakyat Indonesia.
Jika ingin ketat urusan pergerakan masyarakat antar daerah, sejak dulu telah disarankan berlakukan saja sekaligus kebijakan “lockdown”. Tapi kan Pemerintah memang “bokek” sehingga tak mampu membiayai. Akhirnya kebijakan inkonsisten terpaksa diambil. Kebijakan plintat-plintut.
Pejabat, pengusaha, atau orang kaya dan mampu berputar-putar menikmati wisata belanja di mana-mana. Sementara rakyat yang hidup pas-pasan atau bernafas kembang kempis, untuk dapat bertemu bapak dan ibunya saja tidak bisa.
Kebahagiaan yang terenggut di negeri banjir air mata.
*) Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan