Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Masalah dalam negeri penanganannya amburadul. Urusan luar negeri dalam hal diplomasi belepotan. Itulah cara kerja pengelola negara kini.
Menyedihkan, memalukan dan memilukan. Perlu kontemplasi dan koreksi secara fundamental atas ketidakbecusan yang dipertontonkan secara terang benderang di siang bolong.
Di tengah kebrutalan pengeboman zionis penjajah terhadap Palestina yang mengarah pada genosida, pada Sidang Umum PBB tanggal 18 Mei 2021 dalam pemungutan suara soal resolusi Responsibility to Protect (R2P) yang bertujuan mencegah genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan kemanusiaan lainnya, Indonesia memberi suara “No” bersama 14 Negara lainnya termasuk Rusia, Cina, Korea Utara, Kuba, Suriah, Burundi, Zimbabwe dan beberapa negara lain.
Sementara 115 negara mendukung, 2 abstain. Indonesia atas sikapnya ini menjadi bahan perbincangan. Sikap kontroversi Indonesia dianggap aneh. Banyak yang menilai inilah gambaran diplomasi yang belepotan. Kita satu klaster dan ikut dengan sikap negara-negara komunis, junta militer, serta negara yang rentan konflik.
Kekalahan pun telak, 115 berbanding 15. Indonesia mati konyol. Dalih penolakan disampaikan, katanya, pertama tak perlu agenda baru karena masalah ini sudah berjalan pada Sidang Umum PBB. Kedua, pembahasan R2P sudah ada agenda follow up to outcome of millenium summit. Ketiga, konsep R2P sudah jelas tertulis di resolusi 60/1 paragraf 138-139.
Sebenarnya agenda baru yang dibahas pada Sidang Majelis Umum PBB mengenai R2P ini adalah agenda baru tahunan. Indonesia menolak.
Semakin teragendakan reguler sebenarnya semakin baik dan efektif untuk mencegah genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan kemanusiaan lainnya.
Karenanya 115 negara anggota PBB mendukung. Indonesia beralasan semata pada aspek prosedural dan teknis yuridis formal. Padahal Sidang Umum PBB ini berada di ruang moral politik, moral politik hukum Internasional.
Penolakan Indonesia dapat menimbulkan kesan bahwa Indonesia tertekan oleh negara tertentu, dugaan terkuat Cina. Seperti Zimbabwe yang sama-sama menolak, ternyata negara ini terjerat utang dengan Cina dan mata uangnya pun berubah Yuan.
Lalu terkesan Indonesia menjadi negara yang membenarkan komunis dan otoritarian seperti Rusia, Cina, Korea Utara dan Kuba. Atau militeristik seperti Mesir. Dan bersiap masuk ke ruang konflik seperti Suriah dan Burundi.
Yang jelas memilih kekalahan telak demi “sesuatu yang misterius” menyebabkan Indonesia menjadi bahan perbincangan dan mungkin pelecehan. Rakyat Indonesia juga tak suka Indonesia menolak “Vote No” untuk pembahasan agenda terpisah tahunan mencegah genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis dan kejahatan kemanusiaan lainnya.
Secara moral politik sebagai negara Pancasila dan berbasis UUD 1945, Indonesia semestinya mendukung. Ataukah Pemerintah Indonesia ingin bersembunyi dari kejahatan kemanusiaan yang dilakukan selama ini seperti kasus Tragedi Tanjung Priok, penyerbuan Talangsari, Trisakti Semanggi, Wasior Wamena, pembunuhan aktivis Munir, peristiwa pembantaian 21-22 Mei 2019, serta pembunuhan sadis enam anggota laskar FPI, lalu “Vote No” untuk resolusi Responsibility to Protect (R2P)?
Sayang, ternyata Indonesia masuk dalam blok Rusia, Cina, Kuba, Korea Utara, dan Suriah. Indonesia masuk “List of Shame” (Daftar Memalukan) menurut UN Watch. Selamat, Pak Joko Widodo, “You are a loser again.”
*) Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan