Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Mulai ramai kemunculan baliho para petinggi partai di berbagai daerah. Sekurangnya ada Puan Maharani (PDIP), Airlangga (Golkar), dan Muhaimin Iskandar (PKB).
Tentu bukan asal pasang jika tidak bertujuan sebagai sosialisasi Pilpres 2024. Bahasa kasarnya kampanye dini. Konten seruan “kamuflase” memang di sekitar pandemi Covid-19. Dinilai kurang etis di masa prihatin menghadapi pandemi ini para selebriti politik sudah mulai “menebar pesona” untuk 2024.
Anggapannya mungkin perlu “jualan diri” harus lebih dini. Tidak mampu dalam bentuk prestasi ya minimal baliho. Tak peduli bahwa hal itu bisa mengotori atau menambah sumpek kota.
Puan Maharani yang terbanyak balihonya. Untuk beberapa daerah mendapat dukungan pemerintah setempat. Wali Kota Solo Gibran mengakui pemasangan baliho di kotanya atas perintah PDIP. Pengamat menduga jebloknya posisi Puan dalam beberapa survei harus di-upgrade dan ditopang oleh sosialisasi baliho.
Masyarakat ada yang mengenal ada yang tidak dengan figur yang ada dalam baliho tersebut. Bahkan di Blitar dan Surabaya beberapa baliho menjadi korban vandalisme, dicoret-coret oleh warga. Polisi terpaksa harus mengusut laporan perusakan baliho. Kepak Sayap Kebinekaan yang tertulis dalam baliho berefek pada kepak sayap kekecewaan.
Ketua Umum DPP Golkar Airlangga Hartarto juga tampil dalam banyak baliho. ketua DPD Golkar Blora mengakui pemasangan baliho itu untuk sosialisasi Airlangga demi Pilpres 2024. Mottonya adalah Kerja Untuk Indonesia. Motto yang jelas bernuansa kampanye. Mungkin selama ini dirasakan tidak bekerja atau kurang kerjaan.
Massa kampanye masih jauh, namun partai-partai besar justru mencuri start dengan memanfaatkan pandemi. Tipis antara sosialisasi dan kampanye sebagaimana sulit untuk membedakan ajakan dengan seruan. Sebenarnya masyarakat awam juga tahu bahwa yang dilakukan oleh Puan dan Airlangga melalui tampilan baliho adalah sebuah kampanye.
Ditambah dengan baliho Cak Imin, panggilan Muhaimin Iskandar, Ketua Umum PKB, maka fenomena baru telah muncul, yaitu kampanye terselubung untuk Pilpres 2024. Perang baliho dimulai.
Ada tiga probabilitas dari fenomena munculnya baliho-baliho petinggi Partai ini, yaitu:
Pertama, memang sosialisasi diri figur yang ingin menjadi kandidat Capres/Cawapres 2024. Start dini untuk mendongkrak kekurangan popularitas sebagaimana ditampilkan dalam sejumlah survei.
Kedua, permainan partai politik untuk menghambat aspirasi liar yang menginginkan Joko Widodo menambah masa jabatan kepresidenannya. Munculnya figur dari partai-partai menutup dukungan atau perlawanan terhadap masa jabatan tiga periode.
Ketiga, munculnya baliho figur untuk 2024 itu diskenariokan oleh Joko Widodo dan oligarkinya sendiri. Dirigen dari baliho ini adalah Joko Widodo. Tujuannya untuk membangun citra bahwa kekuasaan aman hingga 2024. Antisipasi atas desakan yang menguat agar Joko Widodo meletakkan jabatan sebelum 2024.
Perang baliho bisa meningkatkan jumlah figur yang muncul dan hal ini sangat tidak sehat. Di samping tidak empati pada penderitaan rakyat yang sedang sekarat menghadapi pandemi, juga bagian dari kapitalisasi politik. Mereka yang kuat kapital itulah yang terbanyak balihonya. Ketidakadilan ini berbahaya dan merusak.
Nah, sebelum menjamur dan tak terkendali sebaiknya dilarang saja pemasangan baliho bernuansa kampanye tersebut. Jangan bodohi rakyat dengan bahasa sosialisasi.
Ingat, dahulu baliho HRS yang dipasang di sekitar sekretariat saja sudah diobrak-abrik oleh tentara. Pangdam Jaya menjadi komandan operasi. Nah kini sebaiknya baliho politik yang tersebar di mana-mana itu dilarang atau dipaksa untuk diturunkan. Jika bandel, kirim saja pasukan TNI untuk menurunkannya. Jangan hanya berani kepada HRS.
*) Penulis adalah Pemerhati Politik dan Kebangsaan