Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Pidato kebangsaan Prof Dr KH Haedar Nashir, M.Si, Senin, 30 Agustus 2021, sangat menarik. Terutama saat menyoroti rencana MPR untuk melakukan amendemen kelima yang berkaitan dengan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Haedar mencium adanya kepentingan pragmatis yang melatar belakangi agenda amandemen tersebut.
Ketua Umum PP Muhammadiyah ini menyatakan bahwa ketika kini tumbuh kembali gagasan amendemen UUD 1945, seyogianya dipikirkan dengan hikmah kebijaksanaan yang berjiwa kenegarawanan otentik. Dua hal penekanan dari narasi ini, yaitu hikmah kebijaksanaan dan kenegarawanan otentik.
Hikmah kebijaksanaan berhubungan dengan kerakyatan. Artinya, orientasi pengambil keputusan politik harus pada kepentingan rakyat, bukan kepentingan Presiden, Partai Politik atau Wakil Rakyat. Apapun agenda politiknya inilah yang harus menjadi basis. Tanpa orientasi pada kepentingan rakyat maka semuanya menjadi sewenang-wenang. Demokrasi yang dicuri atau dikhianati.
Kenegarawanan otentik merujuk pada sejarah, saat para pendiri negara dahulu menyusun aturan dasar itu berdasarkan pandangan yang jauh ke depan. Memberi panduan bernegara dari generasi ke generasi, tidak berdasar kepentingan pendek untuk diri, kelompok atau partainya. Sinergi dibangun atas dasar kompromi-kompromi. Demi berbangsa dan bernegara yang baik sesuai dengan filsafat dan otentisitas bangsa Indonesia sendiri. Musyawarah untuk mufakat.
“Belajarlah dari empat kali amendemen di awal reformasi yang mengandung sejumlah kebaikan dan kemajuan, tetapi menyisakan masalah lain yang membuat Indonesia kehilangan jati dirinya yang asli,” demikian Haedar memandang perjalanan politik pragmatis. Kehilangan keaslian jati diri. UUD 1945 dan implementasinya telah terkoyak-koyak, tak berwibawa dan melenceng jauh.
“Apalagi jika wacana amendemen UUD 1945 berorientasi kepentingan pragmatis jangka pendek. Sebab, itu jelas bertentangan dengan spirit reformasi, Pancasila dan UUD 1945 yang telah dibangun 76 tahun lalu.”
Apa yang diagendakan hanya nafsu untuk memperbesar kekuasaan oligarki, bukan demi rakyat. Karenanya, hal ini bertentangan dengan spirit reformasi yang menginginkan demokratisasi berkeadaban. Bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 produk 76 tahun lalu. Artinya, Pancasila yang semestinya dimaknai luhur serta UUD 1945 yang asli.
Membangun kenegarawan yang otentik bukan seenaknya mengamendemen UUD 1945. Tetapi mengembalikan pada semangat “the founding fathers” saat menyusun UUD 1945. MPR yang berdaulat sebagai lembaga negara tertinggi, Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang diamanatkan untuk dijalankan oleh Mandataris MPR, keterwakilan golongan, Presiden orang Indonesia asli, serta DPR yang kuat dan tidak terkooptasi oleh permainan Presiden. Inilah otentisitas itu.
Ketua Umum PP Muhammadiyah ini tidak ekstrem atau radikal dalam mengajak kembali ke UUD 1945 asli. Akan tetapi bahwa adanya keharusan untuk kembali kepada jiwa kenegarawanan yang otentik adalah absolut.
Kiranya para pengambil keputusan politik diharapkan lebih arif dan bijaksana dalam berkhidmat pada kepentingan rakyat untuk dimensi yang panjang. Mengokohkan fondasi aturan dan panduan demi generasi yang akan datang. Negarawan selalu bekerja keras untuk kehidupan bangsa yang lebih baik. Bukan menggemukkan diri dan membagi-bagi kekuasaan kepada para pengekor dan penjilat.
Rakyat sebenarnya sudah ingin berteriak keras meski yang diteriaki itu orang-orang tuli dan buta.
“Stop amendemen UUD 1945 dan kembali ke UUD 1945 asli!”
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan