Catatan KH Athian Ali M Da’i, Lc, MA*
SALAM-ONLINE.COM: Dalam kesaksian yang diungkap dan dipublikasikan Fadli Zon, 28 September 2021, penyair terkemuka Taufiq Ismail mengingatkan akan acara ludruk di masa lalu (1964) yang diselenggarakan di desa Ngronggo, Kediri, Jawa Timur.
Ludruk yang bertema “Matinya Gusti Allah” itu digelar selama kurang lebih dua jam, kemudian ditutup oleh panitia dengan menyatakan: “Malam ini Allah sudah mati, karenanya besok sudah tidak ada lagi Allah.”
Ludruk dengan pesan yang sama terus digelar pada waktu itu, khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur antara tahun 1963 sampai dengan meletusnya peristiwa G30S PKI di tahun 1965.
Kini aroma bangkitnya Kembali mereka yang anti Tuhan dan anti Agama itu sudah semakin terasa.
Ribka Ciptaning penulis buku “Aku Bangga sebagai Anak PKI” pernah menyatakan, paling tidak ada 20 juta anak cucu dan simpatisan PKI yang masih berpegang teguh kepada ideologi komunis di negeri ini.
Mereka memilih tiarap sepenuhnya selama masa Orde Baru dan di era Reformasi. Kalaupun tampil hanya muncul dalam polesan wajah kemunafikan.
Tapi kini mereka mulai berani membuka sedikit demi sedikit baju kemunafikan itu serta menunjukkan jati diri sebagai komunis sejati.
Belakangan ini aroma tersebut semakin terasa menyengat dan menyesakkan dada setiap orang yang masih mendambakan Tuhan senantiasa hadir, khususnya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Kehadiran mereka nampak di antaranya dalam upaya memperjuangkan RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang salah satu sasaran utamanya mengubah Pancasila menjadi TRISILA dengan mengganti Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi Ketuhanan yang Berkebudayaan. Tujuan akhirnya adalah EKASILA dengan menghilangkan “Ketuhanan” dari dasar negara dan menggantinya dengan “Gotong royong” sejalan dengan prinsip komunis “sama rata, sama rasa”.
Namun perlawanan dari berbagai elemen masyarakat membuat RUU HIP sementara ini tiarap dan bermetamorfosa dengan nama RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (RUU BPIP).
Selain itu juga upaya mengadu domba umat Islam dengan mendukung aliran sesat berbaju Islam seperti Ahmadiyah dan Syiah.
Menyebarkan dan manakut-nakuti masyarakat dengan isu “khilafah” yang (padahal) merupakan bagian dari ajaran Islam, dimana hakikatnya manusia diciptakan Allah untuk menjadi khalifah–Nya di muka bumi (QS Al-Baqarah: 30).
Berupaya memecah belah umat Islam yang hakikatnya merupakan “Ummatan waahidah”—Umat yang satu—(QS Al-Anbiyaa’: 92, Ali Imraan: 19) kepada Islam moderat, Islam radikal, Islam fundamentalis, Islam Arab, Islam Nusantara, dan sebagainya.
Seperti halnya juga di era 1960-an menjelang G30S PKI, kini mereka juga melakukan hal yang sama, dengan menggelindingkan kembali predikat KADRUN (Kadal Gurun) kepada setiap Ulama, Kiai, Habaib atau siapa pun yang berusaha keras ingin mengembalikan kemurnian risalah Islam dan melaksanakan syari’atnya secara kaffah (totalitas)—(QS Al-Baqarah: 208)—karena mereka meyakini jika hal tersebut tercapai maka pasti akan menghalangi mereka untuk kembali bangkit di negeri ini.
Sebuah upaya sementara pihak untuk mempertahankan kekuasaan dengan menghalalkan segala macam cara.
Membungkam dan atau menyempitkan ruang gerak bahkan mengkriminalisasikan Ulama dan para aktivis yang bersikap kritis terhadap kekuasaan yang dianggap telah melenceng dari jalurnya.
Berbagai kasus penganiayaan bahkan pembunuhan kepada para Ustadz dan Ulama yang tidak pernah tuntas kasusnya karena pelakunya selalu dianggap orang gila.
Saking seringnya peristiwa tersebut terjadi, membuat Menkopolhukam Mahfud MD belum lama ini memuntahkan kekesalannya dan meminta aparat kepolisian untuk tidak terburu-buru menyatakan pelaku sebagai orang gila. Biar hakim nanti yang memutuskan (Youtube Menkopolhukam, Jakarta, Sabtu 25 September 2021).
Masyarakat seawam apa pun kendati sangat geram hanya bisa berkata di dalam hati: Kok orang-orang gila itu hanya memilih Ustadz dan Ulama yang menjadi sasaran mereka? Mengapa orang-orang gila itu hanya dendam kepada para Ustadz dan Ulama?
Apa gerangan dosa para Ustadz dan para Ulama terhadap mereka?
Mengapa peristiwa tersebut terjadi berturut-turut di bulan September?
Mungkinkah orang yang beragama tiba-tiba membenci sesama orang yang beragama tanpa ada alasan sedikit pun?
Siapa sesungguhnya “orang-orang gila” itu? Siapa yang membuat mereka gila atau dibuat terkesan gila? Atau siapakah orang-orang gila yang berada di balik orang-orang gila yang selalu ingin membunuh para Ustadz dan para Ulama di negeri ini?
Memang benar PKI sudah dibubarkan, tapi apakah komunis sudah benar-benar lenyap dari bumi Indonesia? Ataukah ini semua isyarat yang sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk menyatakan telah bangkitnya kembali PKI di negeri ini?
*) Ketum Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI)/Ketum ANNAS Pusat