Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Demokrasi Terpimpin dikenal sebagai sistem demokrasi di masa pemerintahan Soekarno pasca Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Periode-nya adalah tahun 1959 hingga 1965 saat terjadinya pemberontakan PKI dan kejatuhan Soekarno. Tahun 1966 tamatlah Demokrasi Terpimpin.
Ketika Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dikeluarkan, maka pemaknaan Demokrasi Terpimpin adalah “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan yang berintikan musyawarah untuk mufakat secara gotong royong di atas semua kekuatan nasional yang progresif revolusioner dengan berporoskan Nasakom”.
Demokrasi Terpimpin saat itu secara formal adalah demokratis, akan tetapi de facto-nya adalah otokrasi dimana peran Pemerintah sangat mendominasi. Mengendalikan Pemilu dengan hasil yang tak mampu mengubah kebijakan politik. Kekuasaan terpusat pada Presiden Soekarno.
Pada Demokrasi Terpimpin fungsi Partai Politik menjadi elemen penunjang lembaga kepresidenan, Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong (DPR-GR) menjadi instrumen kebijakan politik Istana. Peran militer kuat, namun di bawah kendali. PKI berpengaruh dan berlindung kepada Presiden, kekuatan politik agama dilumpuhkan, Partai Masyumi dibubarkan, tidak ada kebebasan pers. Harian Abadi (Masyumi) dan Harian Pedoman (PSI) diberangus. Pemerintahan sangat sentralistik dengan pembatasan Otonomi Daerah.
Kondisi politik Indonesia saat ini di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo nampaknya juga mengarah pada pola Demokrasi Terpimpin. Kita dapat menyebutnya sebagai Neo Demokrasi Terpimpin.
Jika dahulu sentral kekuasaan ada pada figur seorang Soekarno, namun kini kekuatan oligarki yang berada di belakang Joko Widodo. Joko Widodo adalah figur lemah yang dikuatkan oleh barisan oligarki dan oligarki itu yang hakikatnya mengatur negara.
Neo Demokrasi Terpimpin memiliki ciri dan karakter yang relatif sama dengan Demokrasi Terpimpin masa Orde Lama (Orla). Jika dulu basisnya Nasakom, kini Nasapan, yaitu Nasionalis, Agama dan Taipan. A-nya adalah elemen Agama yang gampang diatur-atur oleh rezim.
Demokrasi itu formalnya, namun de facto Presiden bersama oligarki yang berkuasa dan memimpin. Partai Politik dengan desain koalisi menjadi terkooptasi oleh Istana. Bagai kerbau yang dicocok hidungnya. Kemauan Raja yang bisa dikondisikan dengan biaya. Partai yang masih berhadapan diobrak abrik. PKS dibelah, Demokrat di goyang. Kudeta Moeldoko adalah permainan kotor dari cermin keserakahan oligarki. Tidak memberi ruang bagi kedaulatan. Semua ingin dikuasai.
DPR dengan kemewahannya telah kehilangan kekuatan dan menjadi lembaga tukang stempel. Neo Demokrasi Terpimpin adalah kejahatan kemanusiaan dimana kekuatan Agama bukan saja dimusuhi, tetapi dilumpuhkan. Terorisme negara dijalankan. HTI dan FPI dibubarkan. HRS, Shobri Lubi, Syahganda, Anton Permana, Jumhur Hidayat, Munarman dan lainnya ditangkap dan diadili. Harga nyawa direndahkan. Ratusan petugas KPPS meninggal, para pendemo tewas di depan Bawaslu, serta pembantaian 6 anggota Laskar FPI adalah contoh pelanggaran HAM berat di era ini.
Neo Demokrasi Terpimpin adalah demokrasi bagi-bagi. Bagi kue Menteri untuk partai terkooptasi, bagi-bagi jabatan BUMN untuk para kroni, bagi kartu dan hadiah, hingga bagi-bagi sembako di jalanan. Menjalankan kebijakan “stick and carrot” dengan baik dan tersistematik.
Tentu sebagaimana Demokrasi Terpimpin di masa Orla, selundupan gagasan yang bernuansa kiri pun terjadi di masa Neo Demokrasi Terpimpin. RUU Haluan Ideolosi Pancasila (RUU-HIP) dan keberadaan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) fenomenal dan kontroversial. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memiliki Ketua Dewan Pengarah yang berkuasa besar. Terakhir adalah Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN) yang juga memunculkan pandangan keinginan untuk menggabungkan GBHN Orba dan PNSB Orla.
Kita harus kembali ke jalan Ideologi dan Konstitusi yang dibangun oleh para “the founding fathers”. Keluar dari jebakan kisaran pragmatisme, sekularisme dan mungkin juga komunisme. Jati diri dan kedaulatan negeri harus segera dipulihkan. Demokrasi harus dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan.
Ayo bermusyawarah untuk membangun Konsensus Nasional baru dalam rangka kembali ke jalur Ideologi dan Konstitusi yang benar. Kita telah menyimpang terlalu jauh. Terlalu jauh.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan