Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Seorang Guru Besar bercerita pengalaman menguji dalam sidang tertutup di kampus sebuah Perguruan Tinggi Negeri. Ketika menyampaikan paparan desertasinya, promovendus memulainya dengan salam lengkap kekinian: “Assalamu’alaikum wr wb, salam sejahtera bagi kita semua, shalom, om swastyastu, namo buddhaya, salam kebajikan.”
Seketika Guru Besar itu minta Sidang ditunda. Ia meminta promovendus mengulang salam, karena tahu bahwa yang bersangkutan, maupun peserta sidang seluruhnya adalah Muslim.
Salam “lintas agama” ini menjadi budaya yang dikembangkan dan disosialisasikan. Kadang tidak sesuai tempat. Bahkan bagi para pejabat seolah wajib untuk bersalam seperti ini. Padahal hal tersebut tidak memiliki landasan aturan yang jelas.
Nampaknya ada ketakutan baru jika tidak bersalam lengkap seperti itu, maka akan dianggap intoleran, fanatik, bahkan radikal.
Salam seperti itu berdampak pada keimanan karena berkaitan dengan keyakinan dan tanggung jawab ketuhanan. Bagi Muslim, ada syariat yang bisa berkategori haram, halal atau syubhat. Memasuki domain keyakinan orang lain, bukan hal ringan. Ada konsekuensi keyakinan pada masing-masingnya.
Toleransi bukanlah mencampuradukkan semua simbol agama. Konsepsi dasarnya adalah masing-masing berjalan pada rel ajarannya. Menghormati akan adanya perbedaan bukan dengan memaksakan persamaan atau menyatukan. Inilah yang salah dalam menerapkan makna toleransi kini di negeri ini.
Dalam kaitan “ikut-ikutan” maka ajaran Islam menggaris bawahi prinsip dalam hadits: “man tasyabbaha biqaumin fahuwa minhum” (barangsiapa ikut-ikutan pada budaya suatu kaum, maka ia adalah bagian dari kaum itu).
Oleh karenanya budaya ikut-ikutan tanpa dalil yang mendasarinya merupakan perilaku buruk dan terlarang.
Tasyabbuh atau budaya ikut-ikutan dapat membahayakan keimanan jika yang diikuti itu adalah ritual atau dogma keyakinan umat lain. Membahayakan pikiran atau mindset ketika yang diikuti dapat membalikkan akal sehat, seperti toleransi yang dimaknai sinkretisme. Dapat juga membahayakan karakter atau kepribadian dimana identitas diri menjadi hilang. Muslim yang menjadi bukan Muslim.
Karenanya salam lintas agama yang dibudayakan massif, baik kepada institusi birokrasi maupun komunitas publik dengan tanpa memperhatikan penghormatan pada perbedaan keyakinan, akan menjadi langkah kontra produktif dan rentan perpecahan. Pemaksaan sistematis adalah upaya yang tidak sehat.
Setop sinkretisme salam dari shalom hingga namo buddhaya. Hindari mencampurkan baurkan salam sejahtera dengan om swastyastu. Demi kebajikan bangsa maka tempatkanlah salam keagamaan pada proporsinya.
Wassalamu ‘alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
*) Pemerhati Politik dan Keumatan