Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Makin ruwet saja cara mengelola negara. Tidak Presiden tak juga Menteri. Cara menangani pandemi misalnya, semrawut, baik pengaturan maupun praktik.
Praktik Presiden yang berada dalam kerumunan membagi-bagi kaus saat berkunjung ke Sumatera Utara adalah perilaku mengerikan di tengah Menko Luhut yang merencanakan pembatasan usia 60 tahun ke atas untuk berada di “penjara” rumah. Omicron yang katanya mengganas ditepis dengan kerumunan oleh Presiden Joko Widodo.
Kini muncul lagi Surat Edaran Menteri Agama yang kontroversial. Menteri Yaqut merambah ke masjid-masjid, mungkin dalam rangka “menyambut” Ramadhan. Dari ibadah (shalat) berjarak satu meter, ceramah yang hanya 15 menit, khatib atau penceramah bermasker dan mengenakan faceshield (pelindung wajah), hingga larangan mengedarkan kotak amal. Ditambah lagi imbauan bahwa jamaah usia 60 tahun ke atas untuk beribadah di rumah.
Surat Edaran Menag No 04 tahun 2022 ini ditanggapi pro-kontra. Masalah utamanya adalah sikap inkonsistensi dan ambivalensi. Baru saja perayaan Natal, Tahun Baru dan Imlek yang boleh diadakan secara “meriah” tanpa pembatasan yang ketat. Justru pada saat mendekati bulan Ramadhan pengaturan diperketat. Sementara sang Kepala Negara sedang berbahagia berkeliaran dan ber-euforia bersama kerumunannya.
Umat Islam ini rasanya terus diacak-acak perasaan ke-Islamannya. Termasuk oleh Menteri Agama yang katanya Muslim. Masjid dianggap sebagai tempat horor penyebar penyakit dan perenggut nyawa. Mendekat kepada Tuhan harus berjarak dengan menjauhkan kotak amal.
Berbeda dengan pasar, mall dan tempat wisata. Masjid adalah tempat paling menakutkan dimana ibadah sepertinya dianggap sebagai jalan menuju penularan dan malapetaka.
Menag Yaqut selalu buat masalah pada umat. Sejak afirmasi Syi’ah dan Ahmadiyah, kurikulum moderasi, hari Nawruz 178 EB, Kemenag untuk NU, hingga kini soal jarak satu meter dan mengharamkan kotak amal.
Kewaspadaan pada pandemi Covid-19 tentu hal penting, akan tetapi kebijakan pengetatan ibadah dan longgar di ruang yang lain adalah sikap diskriminatif.
Luhut buat aturan, Yaqut buat juga aturan yang semuanya merasa paling tahu dan benar dalam mengendalikan pandemi. Sementara rakyat dianggap tidak tahu apa-apa, menerima saja aturan yang dibuat bapak-bapak Menteri itu.
Dengan berbekal Surat Edaran sudah dapat mengatur urusan penting umat dan rakyat. Apakah Surat Edaran memiliki kekuatan hukum mengikat layaknya sebuah Undang-Undang?
Tidak penting, yang penting urusan Covid jika menyangkut rakyat tergantung maunya Luhut, dan jika urusan umat beragama bagaimana maunya Yaqut. Rasanya negara ini dikuasai oleh “Luhut wa Yaqut” semata.
Nah, selamat semau-maunya Pak. Kami hanya rakyat, kok.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan