Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Kehadiran 12 organisasi kemahasiswaan yang dikenal sebagai kelompok Cipayung plus ke Istana Negara disesalkan oleh banyak pihak. Publik menilai kooptasi Istana atas gerakan mahasiswa.
Skeptisme peran mahasiswa terhadap perubahan sosial dan politik kini menjadi semakin dalam. Benarkah 12 organisasi yang diwakili pimpinannya itu merepresentasikan gerakan kemahasiswaan secara keseluruhan? Tentu tidak.
Sebagaimana kultur demokrasi yang melekat hampir pada umumnya organisasi, maka kedatangan pimpinan organisasi kemahasiswaan kelompok Cipayung ke Istana tersebut hanya “permainan” pimpinan semata. Pragmatisme sesaat. Diduga ada koordinator proyek audiensi ke Istana tersebut. Sulit diterima akal sehat jika begitu lembek dan membebeknya mahasiswa.
Organisasi kemahasiswaan yang tergabung dalam Kelompok Cipayung plus bukan wajah mahasiswa sesungguhnya, tetapi polesan permain panggung yang sedang membawa gerbong kosong. Penumpang kendaraan tidak di sana tetapi di tempat lain.
Tersenyum atas “bodoran” Rocky Gerung yang menyatakan bahwa yang namanya mahasiswa itu memakai jaket almamater. Jika memakai batik maka itu namanya calo. Mahasiswa yang menghadap Presiden berbaju batik. Mungkin pembagian koryek, koordinator proyek.
Di luar sana idealisme mahasiswa masih tinggi dan tidak dapat terbeli. Mereka dididik untuk selalu menjadi agen dari perubahan. Setiap perubahan sosial ditengarai bukan saja mahasiswa hadir, tetapi juga terdepan. Jika tiarap atau gerak lambat itu hanya sesaat dan tidak untuk selamanya.
Ketika politik membusuk, penguasa semakin sewenang-wenang dan represivitas meningkat, maka itulah momen mahasiswa bergerak cepat. Tanpa perlu rekayasa untuk mengendalikan perjuangannya.
BEM Seluruh Indonesia melakukan aksi pada 28 Maret 2022 di area Patung Kuda untuk menyampaikan aspirasi persoalan sembako hingga perpanjangan jabatan Presiden tiga periode. Barikade kawat berduri menghalangi keinginan mahasiswa untuk mendekati istana.
“Joko Widodo, rakyat memanggilmu!” seru mahasiswa dari mobil komando. Mungkin maksudnya agar Pak Jokowi segera dipanggil menjadi rakyat kembali.
Paling mutakhir adalah aksi mahasiswa1 April 2022. Sebanyak 800-an mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi berunjuk rasa menolak penundaan Pemilu. Meski berusaha bergerak ke depan istana, tetapi aparat menghalangi sehingga hanya berdemonstrasi di area dekat Istana saja.
Dalam salah satu orasi diteriakan, “Jokowi fasis, anti demokrasi.” Rupanya dengan profil lugu, rakyat terkecoh oleh kebijakan semaunya ala fasisme. Dari omnibus law, IKN hingga penundaan Pemilu atau bahkan skenario perpanjangan tiga periode. Ada juga teriakan “revolusi”.
Nafas pergerakan mahasiswa menguat. Terus menggumpal dan dapat meledak pada waktunya. Berpadu dengan elemen perjuangan buruh dan kekuatan umat Islam.
Jika status quo tetap bergaya kepemimpinan seperti ini, maka bukan mustahil dapat didobrak oleh tiga pilar kekuatan itu. Upaya serius untuk memperpanjang masa jabatan Presiden Joko Widodo akan menjadi pemicu dan duet Jokowi-Luhut Binsar Panjaitan pantas mendapat “award” sebagai “trouble maker” bangsa.
Mahasiswa adalah harapan bagi perubahan, petaka bagi keserakahan pemegang kekuasaan. Berisiknya adalah tahap untuk berbicara dan bergerak di waktu yang tepat. Geliatnya adalah sinyal untuk perubahan yang semakin mendekat.
Mereka tahu bahwa negara hancur itu bukan karena orang jahat berkuasa, akan tetapi karena orang baik yang diam. Diam itu “non minus stultum quam impium”—tidak kalah bodohnya dengan jahat!
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan