Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Kedatangan Presiden Joko Widodo meninjau sirkuit Formula-E Ancol yang telah menyelesaikan 100 % untuk track balapan cukup mengejutkan. Apalagi terlihat sedemikian akrab dengan Anies Baswedan Gubernur DKI.
Sudah menjadi pengetahuan khalayak selama ini bahwa keduanya tidak dalam keadaan akur. Khususnya sikap Joko Widodo dan kubunya kepada Anies.
Kondisi ini tidak bisa dibaca sepintas dan disederhanakan bahwa Presiden memiliki perhatian terhadap pembangunan sirkuit balap Formula-E Ancol. Adanya aksi interpelasi anggota DPRD DKI yang dilakukan oleh kubu Istana adalah bukti perseteruan yang sulit didamaikan.
Jadi peristiwa kunjungan ini memang aneh. Keanehan itu dapat dipahami lebih dalam jika dilihat sebagai manuver yang sarat dengan pesan politik, sekurangnya:
Pertama, Jokowi tidak mau kalah 2-0 oleh Anies. Di sirkuit MotoGP Mandalika NTB Jokowi mengalami kegagalan. Alih-alih mendulang pujian, justru yang ramai adalah soal mistik pawang hujan. Itu pun tidak sukses.
Sebaliknya, Anies yang juga hadir saat itu di sirkuit MotoGP Mandalika, ternyata lebih mendapat sambutan dari masyarakat. Panggung Jokowi diambil Anies.
Kedua, Jokowi sedang galau karena kubunya diobrak-abrik oleh Megawati. Soal mafia minyak goring, diutak-atik oleh Jaksa Agung yang kebetulan adik dari petinggi PDIP.
Luhut kalang kabut atas serangan terhadap teman-temannya itu. Jokowi bermanuver mendekat kepada Anies untuk menggertak Mega dan mengganggu Puan PDIP dalam Pilpres ke depan.
Ketiga, upaya mempertahankan kekuasaan mentok. Awal Ganjar Pranowo menjadi kepanjangan tangan, akan tetapi hasil survei yang mengunggulkannya tercium rekayasa. Kasus E-KTP dapat menghadang Ganjar. Belum lagi PDIP yang marah.
Lalu Jokowi-Prabowo digelindingkan, namun Prabowo bukan jagoan yang dulu. Pasangan ini dipaksakan. Dijamin jeblok. Apalagi untuk hal ini harus melalui amandemen Konstitusi dahulu.
Keempat, Anies menjadi pilihan atas popularitas dan elektabilitas yang ada padanya. Anies perlu didekati dan dilobi agar sekurang-kurangnya mau menjadi protektor pasca lengser. Atau secara spektakuler siap berpasangan dengan Jokowi untuk Pilpres 2024. Jokowi tak punya pilihan selain menempel pada Anies Baswedan.
Kelima, manuver pemulihan citra dunia. Melalui Formula-E dan peresmian JIS yang megah, Jokowi berharap namanya akan ikut naik dan terputihkan. Anies mampu menggendong siapa pun untuk meningkatkan reputasi. Ini yang diinginkan Jokowi. Jokowi harus terlihat “cool” dan harus berhasil merayu Anies untuk mulai “bersahabat”.
Manuver keputusasaan Jokowi ini bukan tidak berisiko. Para buzzer tentu kecewa dan dibuat mati kutu. Mungkin terjadi penurunan loyalitas. Kongsi dengan PDIP akan retak bahkan bisa pecah. Kehilangan dukungan PDIP merontokkan koalisi pendukung. Masing-masing mencari jalan sendiri sendiri. Kelompok oligarki di belakang mulai goyah kepercayaan dan mencari opsi dukungan figur baru. Bandar mulai bergerilya.
Jokowi akan ditinggal sendirian. RRC mulai kebingungan karena Luhut sebagai “duta besar”-nya telah menjadi musuh bersama rakyat Indonesia. Jokowi kehilangan pegangan. Lalu meningkatkan intensitas berpose sendirian sebagaimana yang menjadi kegemarannya. Berdiri di hutan, di sawah, di perahu nelayan, atau di pinggir rel berjongkok mengukur panjang jalan. Masuk got sendirian pula.
Dua tahun ke depan adalah masa-masa berat pemimpin yang dimenangkan melalui kardus yang digembok. Gelisah bersemayam di Istana kardus yang lemah dan mudah ditembus. Oleh kepentingan para taipan yang rakus dan pejabat yang berubah menjadi tikus-tikus.
Krisis kepercayaan membawa dua pilihan, yaitu digoreng atau direbus. Bukan begitu, Bu Mega?
Tapi tenang, Pak Jokowi jangan khawatir, karena masih ada fatwa yang menenangkan jiwa dari Pak Kiai Wapres: Dua pisang!
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan