Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Rajapaksa dipaksa melepas status sebagai Raja. Istananya diserbu rakyat untuk mengakhiri masa jabatannya sebagai Presiden Sri Lanka. Sebelumnya kediaman Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe dibakar massa.
Gotabaya Rajapaksa kabur dan dipastikan mengundurkan diri. Rakyat bersiap untuk melakukan peralihan rezim.
Rakyat Sri Lanka cukup gigih berjuang dengan melakukan aksi unjuk rasa lebih dari sebulan untuk akhirnya sukses menggulingkan Rajapaksa. Krisis ekonomi menjadi momentum demonstrasi sekaligus mempersulit Rajapaksa untuk mampu bertahan.
Awalnya Rajapaksa mendalihkan bahwa krisis negaranya disebabkan oleh kondisi global, baik pandemi maupun perang Rusia-Ukraina. Tapi sebenarnya pengelolaan ekonomi negeri-lah yang berantakan. Janji perbaikan politik dan ekonomi pada kampanye Pilpres 2019 gagal untuk dipenuhi. Masalah valuta asing, kesulitan makanan dan obat-obatan, harga-harga naik, serta pemadaman listrik berkepanjangan terjadi akibat krisis energi.
Nepotisme dan korupsi menjadi tuduhan peserta aksi. Keluarga Rajapaksa yang awalnya sulit tergoyahkan akhirnya runtuh. Perdana Menteri Mahinda Rajapaksa, yang pernah jadi Presiden, adalah kakak dari Gotabaya Rajapaksa yang juga dipaksa mundur. Mahinda digantikan Ranil Wickremesinghe.
Dominasi keluarga Rajapaksa di kementerian baik saudara-saudara maupun anaknya disorot keras oleh rakyat. Nepotisme.
Indonesia boleh dikatakan mendekati kondisi politik dan ekonomi yang hampir sama dengan Sri Lanka. Sebagaimana Rajapaksa, Jokowi yang menjabat periode 2019-2022 juga mengalami masalah ekonomi dan keuangan. Rupiah yang melemah, utang yang menjerat, harga-harga meningkat, penanganan BBM yang semrawut, hukum diskriminatif, agama yang dipinggirkan, dan tentu saja KKN yang semakin merajalela.
Rakyat gerah dengan semangat Presiden yang ingin memperpanjang jabatan. Persis seperti Rajapaksa yang juga awalnya bertekad untuk mempertahankan kekuasaan. Meski Kepolisian dan tentara berhasil dikendalikan, namun “people power” berhasil menumbangkan. Gelombang perlawanan rakyat tidak dapat dibendung.
Pemerintahan Joko Widodo mesti belajar dan waspada. Rakyat kecewa pada cara-cara mengelola negara yang semakin tidak terarah. Saluran politik tersumbat, partai politik yang tidak dapat diandalkan, parlemen pun sibuk dengan dirinya sendiri. Ada kriminalisasi, ada pula sekularisasi melalui program moderasi.
Sri Lanka “saudara” Indonesia yang sama-sama tertekan Cina. Terjebak oleh utang dan investasi Cina. Perdana Menteri Wickremesinghe berteriak kepada IMF untuk bantuan “bailout” dana di samping memohon pasokan bahan bakar dari Rusia. Sri Lanka bangkrut disebabkan salah urus dalam mengelola negara. Kepentingan oligarki yang dominan. Bukan kepentingan rakyat.
Penyebab lahirnya gerakan people power di berbagai belahan dunia biasanya disebabkan oleh krisis ekonomi, pelanggaran hak-hak asasi manusia, KKN, diskriminasi hukum, menambah masa jabatan, tindakan represif, penangkapan dan penahanan, serta otoritarianisme.
Netizen ada yang ngoceh lucu. Katanya, kalau Rajapaksa dapat dipaksa turun dan kabur, kapan ya Rajadusta? Entah siapa yang dimaksud Rajadusta itu.
Tapi jika pemimpin sudah tidak amanah dan berlaku adil, mau Rajapaksa, Rajadusta, Rajautang, Rajadukun, Rajatega, Rajacitra atau pun Rajakatak, maka ia harus tumbang oleh teriakan dan perlawanan rakyat yang tertindas dan teraniaya.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan