Catatan Farid Gaban*
SALAM-ONLINE.COM: Presiden Joko Widodo menerbitkan peraturan pemerintah pengganti UU (Perppu) untuk membuat Omnibus Law yang inskonstitusional jadi konstitusional.
Pada dasarnya, presiden sedang melecehkan konstitusi dan menunjukkan sikap arogan mau menangnya sendiri.
- Omnibus Law itu legislasi yang sangat kontroversial dan ambyar. Dia punya cacat formil maupun materil. Prosesnya yang tidak terbuka dan tidak partisipatif, termasuk memaksakan goal di kala pandemi ketika perhatian warga negara pada survival hidup-mati. Ada pasal yg ditambahkan dan dikurangi setelah disahkan DPR dan banyak kesalahan penulisan elementer (typo) yang menunjukkan UU ini dibuat “maksa banget”.
- Ketika muncul demonstrasi besar menentang Omnibus Law (demonstrasi terbesar pasca-Reformasi), Presiden Jokowi meminta pemrotes mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menggugat ke MK, katanya, lebih bermartabat ketimbang turun ke jalan.
- Orang menggugat ke MK. Pada 2021, Keputusan MK menyatakan UU itu melanggar konstitusi, artinya inkonstitusional, dan meminta pemerintah memperbaikinya dalam dua tahun.
- Kini, menolak memperbaiki, presiden mengeluarkan Perppu yang membuat UU inkonstitusional jadi konstitusional, dengan alasan kegentingan yang tak berdasar.
Well, itu preseden buruk dalam bernegara. Arogan dan ingin menangnya sendiri.
Presiden memang punya hak konstitusional bikin Perppu. Tapi, harus ditimbang apa konteks dan alasan dasarnya.
Dalam kasus Omnibus Law, presiden nampak jelas menjadikan konstitusi barang mainan. Di samping melecehkan MK, kesan yang menonjol kini: melanggar konstitusi itu no big deal, cuma receh. Konstitusi memang bukan suatu yang sakral, tapi dia sumber dari semua sumber hukum negeri ini.
Kalau konstitusi sudah tidak ada harganya lagi, apakah masih layak republik ini berdiri?
- Jurnalis Senior