Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Dalam Pembukaan Rakornas Pemenangan Pemilu Partai Amanat Nasional (PAN) di Semarang Ketum PAN Zulkifli Hasan (Zulhas) menjelaskan tokoh pewayangan Werkudara atau Bimasena yang diasosiasikan kepada PAN sebagai panglima perang yang siap bertempur pada tahun 2024 dengan tambahan kalimat “keputusan tetap ada pada panglima tertinggi”.
Kalimat tersebut dikaitkan dengan sinyal PAN yang memberi tempat kepada Ganjar Pranowo dan Erick Thohir. Mungkin sebagai Capres dan Cawapres. Secara resmi PAN sendiri saat Rakernas pada Agustus 2022 mengajukan 9 nama untuk Capres, di antaranya Ganjar Pranowo, Erick Thohir, Anies Baswedan, Khofifah Parawansa, Airlangga dan lainnya.
Panglima tertinggi yang disebutkan dan dimaksud Zulhas adalah Presiden sebagaimana ungkapannya, “Bagi kami Presiden adalah segala-galanya. Bagi kami Presiden adalah panglima tertinggi kami. Jadi kami akan mengikuti setiap arahan Presiden.” Saat menyebut panglina tertinggi Zulkifli menatap Jokowi dan Jokowi pun tersenyum.
Ada empat hal yang menjadi problema demokrasi dari fenomena ini.
Pertama, budaya jilat yang merajalela dan menjadi penyakit dari Ketum Partai Politik. Di samping tampilan Ketum PAN Zulkifli Hasan di Rakornas ini, juga Ketum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang rajin berpolitik puja puji. Padahal Presiden Jokowi sendiri adalah “kader” PDIP. Ironis, ada pernyataan, “Bagi kami Presiden adalah segala-galanya.”
Kedua, panglima perang yang menunggu arahan panglima tertinggi dalam pewayangan itu tidak bisa dibawa ke dalam sistem politik berbasis Konstitusi. Ketum Partai bukan bawahan Presiden. Presiden menurut UUD 1945 bukan pula panglima pertinggi angkatan perang. Panglima tertinggi adalah Panglima TNI. Teringat budaya mohon arahan atau petunjuk itu kepada figur Harmoko di masa Orba dulu.
Ketiga, Capres tebak-tebakan atau untung-untungan. Secara resmi PAN menyodorkan 9 nama , tetapi disebut dalam pantun “Indonesia jaya”-nya Zulhas hanya Ganjar Pranowo dan Erick Thohir. Sudah begitu tergantung arahan Jokowi lagi. Beginilah sikap politik yang tidak jelas. Rakyat dipaksa untuk menonton pemimpin yang semakin tidak jelas.
Keempat, kesalahan utama di negeri ini adalah Ketum partai yang merangkap dengan jabatan Menteri. Sementara kedudukan Ketum itu menentukan. Akibatnya partai politik sebagai kekuatan infrastruktur politik terkooptasi oleh Presiden. Sebagai alat perjuangan politik rakyat partai politik telah bergeser menjadi aparat Pemerintah.
Akhirnya demokrasi menjadi slogan semata. Pemilu bukan menjadi ciri dari demokrasi akan tetapi demokrasi ada untuk Pemilu. Diluar itu bisa otokrasi atau monarki. Kalimat “Presiden adalah segala-galanya” menjadi bukti dari sebuah sistem politik otokrasi atau monarki.
Wayang Zulkifli tentang Werkudara sedang bermain atau dimainkan. Dalang semakin bersemangat bertutur tentang perang saudara antara Amarta dan Astina. Ternyata pemenangnya bukan Pandawa atau Kurawa, tetapi sang Dalang itu sendiri. Dalang itu bernama Ki Oligarki.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan