Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Sebulan sebelum Joko Widodo dilantik menjadi Presiden untuk periode kedua atas hasil Pilpres yang kontroversial, maka dengan “tangan” DPR Pemerintahan Joko Widodo melakukan perubahan UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
UU Revisi KPK disahkan. Kini kekuasaan ada di tangan Dewan Pengawas (Dewas) KPK yang Ketua dan anggotanya ditetapkan oleh Presiden. Pelumpuhan dan pengendalian KPK pun dimulai.
Komjen Firli Bahuri diangkat sebagai Ketua KPK untuk menjalankan “democratic policing”-nya Tito Karnavian. Firli bergaya hidup mewah dan sebagai Ketua KPK terkena sanksi teguran tertulis kedua karena melanggar kode etik.
Sebelumnya berbagai pelanggaran juga telah dilakukannya, termasuk dugaan gratifikasi. Independensi Firli diragukan publik. Uang dan kepentingan kekuasaan sering mempengaruhi independensi.
Saat ini Firli Bahuri terkesan mengemban misi “pesanan” untuk menjerat Anies Baswedan dalam kasus Formula E. Para penyidik tidak menemukan bukti pelanggaran pidana dalam kasus itu. Tetapi Firli ngotot untuk menjalankan misi. Akibatnya Brigjen Endar Priantoro dipecat oleh Firli karena beda pendapat. Muncullah solidaritas anggota KPK menentang kebijakan Firli Bahuri. Mereka memilih “walk out” dalam rapat pengarahan.
KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri amburadul dan kehilangan nilai-nilai profesionalisme. KPK menjadi kepanjangan tangan kekuasaan untuk memilih dan memilah kasus yang diperiksa. Terakhir, mahasiswa IMM dan mahasiswa lainnya melakukan unjuk rasa di depan gedung KPK meminta bertemu dengan Ketua KPK. Aksi yang berujung rusuh tersebut mendesak mundur Firli Bahuri karena bertindak sewenang-wenang dalam memecat Brigjen Endar Priantoro.
Kondisi tidak sehat KPK menyebabkan publik ragu akan kinerjanya. Semestinya dalam kasus dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di Kemenkeu sebesar 349 trilyun cepat disidik oleh KPK. Ada gratifikasi disana. Semua data terang benderang sebagaimana laporan PPATK. Akhirnya kasus ini hanya menjadi polemik antara Menkopolhukam Mahfud MD dengan Menkeu Sri Mulyani. Jokowi sendiri menjadi penonton atau mungkin ikut mengatur ritme.
Menghadapi kondisi ini maka pilihan hanya dua, yaitu pecat Firli Bahuri yang tidak pantas menjabat sebagai Ketua KPK atau KPK dibubarkan saja karena bukan hanya tidak berguna, tetapi telah menjadi alat dari kepentingan kekuasaan. Betapa bahayanya KPK jika tetap seperti ini keadaannya. Apalagi nyatanya dipimpin oleh seorang Komjen Pol yang tidak berintegritas.
Saat uji kelayakan calon pimpinan KPK Firli Bahuri mendapat penolakan, baik dari kalangan internal KPK maupun masyarakat sipil. Segera setelah terpilih pegiat anti korupsi menolaknya karena dengan tidak bersih dan tidak berintegritasnya diri Firli maka pemberantasan korupsi akan suram di tangannya. Fakta telah terbukti.
Sanksi teguran telah diberikan berulang-ulang dan Firli Bahuri tidak pernah kapok untuk melanggarnya. Apa yang dikhawatirkan sejak awal memang terbukti pada akhirnya. Pelanggaran adalah habitat atau karakternya.
Untung Firli Bahuri bukan dari entitas yang sering dituduh sebagai kadrun. Sebab, jika demikian mungkin Firli Bahuri akan digelari sebagai Firli Bahluli. Bahlul ente Firli!
Demi tetap terjaga upaya pemberantasan korupsi, dari dua pilihan yang ada antara pecat Firli Bahuri atau bubarkan KPK, maka pilihan rasional tetapi absolut adalah: PECAT FIRLI BAHURI…!
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan