Catatan Denny Indrayana*
SALAM-ONLINE.COM: Ini adalah kisah tentang kerja politik Presiden Jokowi untuk ikut memenangkan pemilihan presiden 2024. Pastinya bukan sebagai pasangan calon peserta pilpres, tetapi memastikan paslon yang beliau dukung tampil sebagai juara dalam kompetisi Pilpres 2024.
Maaf jika tulisannya akan panjang, karena banyak hal yang perlu saya sampaikan, agar lumayan lengkap dan utuh, meskipun tidak bisa seluruhnya diceritakan. Beberapa nama dan peristiwa terpaksa tidak diungkap jelas, agar lebih aman dan tidak justru menimbulkan persoalan. Supaya tidak gagal paham, mohon membaca tulisan ini sampai tuntas.
Tulisan ini saya buat sebagai ikhtiar, untuk menjaga agar Pilpres 2024 tetap berjalan Jujur dan Adil. Saya sadar betul apa yang saya tulis ini akan membuat tidak nyaman beberapa kalangan, khususnya Presiden Jokowi dan para pendukungnya. Namun, karena didasari niat tulus untuk menjaga kehormatan demokrasi kita, biarlah saya menyediakan diri untuk menjadi pengingat, tentu dengan risiko disalahartikan, serta tidak disukai beberapa kalangan tersebut.
Sebab, keterlibatan aktif Presiden Jokowi yang ikut cawe-cawe dalam Pilpres 2024 demikian adalah salah satu ancaman nyata bagi demokrasi kita. Sebagai orang yang mengangkat salam dua jari dan ikut memilih Jokowi di Pilpres 2014, saya merasa bertanggung jawab untuk tidak membiarkan beliau melakukan kesalahan konstitusional yang sangat fatal dan membahayakan kehidupan berbangsa.
Setiap orang—tidak terkecuali seorang presiden sekalipun—tentu berhak punya pilihan dan preferensi calon presiden. Tetapi ketika sang presiden yang sedang menjabat menyalahgunakan kewenangan dan pengaruh yang dimilikinya untuk memenangkan paslon yang didukungnya, maka sang presiden jelas-jelas telah melanggar konstitusi.
Karena salah satu tugas utama presiden adalah memastikan setiap pemilu berjalan free and fair. Sebab, dengan kekuatan dan jaringan yang dimilikinya, sang presiden punya peluang besar untuk mempengaruhi hasil pemilu. Akibatnya, arena pertandingan tidak lagi adil bagi semua paslon, utamanya yang tidak mendapat dukungan sang presiden.
Agaknya, tidak ingin lagi mengalami kekalahan sebagaimana kisah Pemilihan Gubernur Jakarta 2017, ketika jagoan yang beliau dukung Ahok alias BTP kalah dari Anies Baswedan, maka untuk Pilpres 2024, Presiden Jokowi betul-betul mengambil peran sebagai the real king maker, sayangnya dalam bentuk yang salah.
Sampai tulisan ini dibuat, tanpa menafikan adanya kemungkinan dinamika dan perubahan, Presiden Jokowi terbaca mendukung paslon Ganjar Pranowo-Sandiaga Uno, lalu juga mencadangkan sokongan kepada Prabowo Subianto-Airlangga Hartarto, sambil tetap berusaha menggagalkan pencapresan Anies Baswedan, yang kemungkinan berpasangan dengan Agus Harimurti Yudhoyono, sepanjang partainya tidak berhasil “dicopet” Moeldoko, tentu dengan persetujuan Presiden Jokowi.
Di panggung depan, alias di hadapan publik, keterlibatan Jokowi ini beliau bantah. Namun dalam realitas panggung belakang, ketika melakukan lobi di ruang-ruang tertutup, langkah dan kerja politik itu nyata dan serius beliau kerjakan.
Target Presiden Jokowi, siapapun presiden penggantinya adalah orang yang bisa mengamankan dan melanjutkan program kerjanya. Kepada seorang petinggi negara salah seorang lingkar utama Istana mengatakan paling tidak ada dua hal yang diinginkan Jokowi pasca beliau lengser.
Satu, proyek Ibu Kota Negara (IKN) berlanjut, serta dua, tidak ada masalah ataupun kasus hukum yang menjerat Jokowi ataupun keluarganya.
Dalam pandangan Eros Djarot di talkshow Satu Meja Kompas TV, Jokowi mendukung beberapa capres tertentu dan tidak ikut memilih Anies, karena ingin memastikan bahwa beliau akan mendarat secara aman dan nyaman.
Karena itu, target utama Jokowi adalah sebisa mungkin hanya ada dua pasangan calon dalam Pilpres 2024. Keduanya adalah all the president’s Men. Calon yang diidentifikasi berseberangan dan mungkin tidak melanjutkan legacy kepresidenannya, sebisa mungkin dieliminasi, sedari awal.
Ibarat rumus makanan 4 sehat 5 sempurna, maka ada 9 strategi 10 sempurna langkah pemenangan yang terbaca dijalankan Presiden Jokowi.
Pertama, di tahap awal, Presiden Jokowi dan lingkaran dalamnya mempertimbangkan opsi untuk menunda pemilu, sekaligus memperpanjang masa jabatan Presiden. Alasan pandemi COVID-19 dijadikan pintu masuk. Seiring berjalannya waktu, opsi ini makin tidak relevan dan kehilangan logika pembenarnya.
Kedua, masih di tahap awal, segaris dengan strategi penundaan pemilu, sempat muncul ide untuk mengubah konstitusi guna memungkinkan Presiden Jokowi menjabat lebih dari dua periode. Opsi ini cepat tenggelam karena tidak mendapat dukungan dari parpol yang sudah bersiap maju dalam pilpres 2024. Apalagi Ketum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menegaskan, sesuai konstitusi, presiden hanya menjabat maksimal dua periode.
Ketiga, menguasai dan menggunakan KPK untuk merangkul kawan dan memukul lawan politik. Strategi mengerdilkan KPK tersebut berjalan beriringan dengan strategi keempat, menggunakan dan memanfaatkan kasus hukum sebagai political bargaining yang memaksa arah parpol dalam pembentukan koalisi pilpres.
Strategi ketiga dan keempat inilah yang dalam banyak kesempatan saya sebut: memperalat hukum sebagai instrumen dalam strategi pemenangan Pilpres 2024.
Kebetulan beberapa petinggi parpol mempunyai borok dugaan kasus korupsi. Ada yang terjerat pengadaan minyak goreng, izin lahan hutan, kardus duren, dan lain-lain. Ada juga tokoh yang telah disiapkan dugaan korupsi pembelian Bank Banten. Bank itu infonya hanya dibeli dengan harga di bawah 500 miliar, padahal harga seharusnya lebih dari 900 miliar.
Strategi kelima, jika ada petinggi parpol yang keluar dari strategi pemenangan, maka dia berisiko dicopot dari posisinya. Sudah menjadi fakta, seorang pimpinan parpol digeser, salah satu alasannya karena diketahui beberapa kali bertemu dengan bakal calon presiden yang tidak disenangi Jokowi.
Ketika saya menawarkan mitigasi hukum kepada suatu parpol dalam rangka pemilu 2024, sang pimpinan Parpol mengatakan, kita bisa bekerja sama, syaratnya hanya satu, “Anda tidak boleh mendukung Anies sebagai capres”.
Ketika saya tanya mengapa demikian, sang Ketum menjawab, “Saya harus memikirkan dan menyelamatkan partai,” sambil tersenyum penuh arti.
Saat diingatkan konstituennya mayoritas adalah pendukung Anies Baswedan, dan jika tidak memilih Anies maka ada risiko parpol tersebut kehilangan pemilihnya sehingga tidak lagi mempunyai kursi di DPR, kader utama partai itu menjawab dengan tersenyum kecut:
“Jika kami tidak memilih Anies, kami mungkin akan hilang setelah pemilu 2024, tapi kalau ikut memilih Anies, kami akan hilang sejak sekarang.”
Strategi keenam, menyiapkan komposisi hakim Mahkamah Konstitusi untuk antisipasi dan memenangkan sengketa hasil Pilpres 2024. Sebagai bagian dari memanfaatkan hukum dalam pemenangan pilpres, maka Jokowi paham benar peran strategis MK sebagai pengadil dan pemutus akhir pemenang Pilpres 2024. Maka komposisi hakim konstitusi pun sudah disiapkan untuk bisa mengamankan dan memuluskan jalan pemenangan.
Ditariknya Hakim Aswanto, dengan cara yang melanggar prinsip independence of the judiciary, karena berani-beraninya mbalelo dan menyeberang ke kelompok hakim yang membatalkan bersyarat UU Ciptaker, adalah salah satu indikator pengkondisian hakim MK yang pro-strategi Presiden Jokowi.
Setali tiga uang, hukuman ringan kepada Hakim Guntur padahal jelas-jelas melakukan skandal pengubahan putusan MK. Tidak aneh, hukuman minimalis demikian akan berbalik jasa dalam bentuk putusan yang menguntungkan kubu status quo. Terakhir, terpilihnya kembali Anwar Usman, sang adik ipar Presiden Jokowi, sebagai Ketua MK, menguatkan indikasi bahwa MK sudah siap menyambut strategi pemenangan pilpres ala Jokowi.
Sebagaimana KPK yang sudah dikuasai dan disalahgunakan dalam penanganan beberapa kasus korupsi, MK pun sudah pula dikondisikan, dan karenanya menambah panjang ancaman pelaksanaan Pilpres 2024 yang seharusnya Jujur dan Adil.
Strategi Jokowi yang ketujuh adalah tidak cukup hanya mendukung pencapresan Ganjar Pranowo, Jokowi juga memberikan dukungan kepada Prabowo Subianto. Mengapa demikian?
Sedari awal preferensi Jokowi sebenarnya kepada Ganjar Pranowo. Ketika menghubungi para Ketum Partai salah satu poros koalisi bentukannya, Jokowi menginstruksikan tiga hal. Satu, segera bentuk koalisi tiga parpol. Dua, deklarasikan pencapresan Ganjar. Tiga, jangan sampai ada Anies Baswedan di Pilpres 2024.
Ketika ketiga Ketum Parpol menghubungi Ganjar, kala itu, sang Gubernur Jawa Tengah mengatakan tidak akan maju kalau tidak didukung PDI Perjuangan dan mendapat restu Ketum Megawati Soekarnoputri. Ketika dilaporkan kepada Presiden Jokowi, beliau menjawab, “Baiklah, biar nanti saya yang akan berbicara dengan Ibu Mega.”
Sejarah kemudian mencatat, Megawati Soekarnoputri akhirnya memilih Ganjar ketimbang Puan Maharani, pilihan awal beliau. Jokowi berhasil melaksanakan misinya.
Penantian Ganjar bukanlah sebentar. Seorang pejabat negara bertanya ke Ganjar,
“Jadi bagaimana ini Pak Ganjar soal Pilpres 2024.”
“Begini Pak. Saya dengan Ibu Megawati itu punya nomor khusus untuk kami berkomunikasi. Nah, sudah setahun ini nomor telepon itu tidak berbunyi. Saya juga masih menunggu kabar dari beliau. Hanya melalui orang di sekitar saya, Ibu Mega menitip pesan: Tolong Jaga Mas Ganjar ya.”
Penantian panjang Ganjar Pranowo—senior saya di Fakultas Hukum UGM tersebut, akhirnya terjawab pada hari Kartini 21 April lalu. Lalu, besoknya di hari lebaran, Presiden Jokowi di rumah Solo hanya menerima Prabowo Subianto.
Dalam harapan Jokowi yang ideal menjadi presiden adalah Ganjar Pranowo. Tetapi kalau langkah Anies Baswedan tidak terbendung untuk menjadi capres, maka harus ada capres ketiga, dan pilihan Jokowi jatuh kepada Prabowo Subianto.
Presiden Jokowi membaca survei politik. Salah satunya dari CSIS. Pada rilisnya di 26 September 2022, survei CSIS menyimpulkan meskipun Ganjar dominan, tetapi akan kalah jika dihadapkan head to head dengan Anies Baswedan. Anies bahkan juga dinyatakan menang jika melawan Prabowo Subianto.
Maka untuk memecah suara pendukung Anies yang kebanyakan dari kalangan Islam (hijau), maka dimunculkan Prabowo Subianto yang mengidentifikasikan diri sebagai capres dari kelompok hijau pada Pilpres 2019. Singkatnya, pemilih Prabowo dan Anies beririsan. Dengan memajukan Prabowo, kemungkinan Ganjar untuk menang semakin besar, ketimbang risiko hanya menghadapkannya langsung dengan Anies. Survei CSIS tadi, mengonfirmasi itu.
Bukan hanya memecah suara Anies dengan mendukung pencapresan Prabowo. Jokowi juga menyiapkan Sandiaga Uno sebagai Cawapres Ganjar, lagi-lagi untuk memecah suara kelompok Islam pendukung Anies.
Maka, jika di Pilgub Jakarta 2017, koalisi Prabowo mendukung Anies-Sandi melawan Ahok yang didukung Jokowi. Lalu di Pilpres 2019, Prabowo-Sandi adalah pilihan bagi aliran politik hijau-islam, melawan Jokowi-Ma’ruf Amin dari kelompok merah-nasionalis. Maka, untuk Pilpres 2024, Jokowi sengaja memasang strategi memecah suara hijau tersebut, dengan target memenangkan politik aliran merah.
Di Pilpres 2024, strategi Jokowi, jika Anies tidak berhasil dijegal sebagai capres, maka dia akan berbagi suara kelompok Islam dengan capres Prabowo, maupun Sandiaga yang akan menjadi cawapres Ganjar. Dengan harapan suara merah akan bulat ke Ganjar, dan karenanya lebih mungkin masuk putaran final, dan menang.
Mengapa saya yakin Sandiaga Uno akan menjadi cawapres Ganjar? Tentu saja politik selalu dinamis. Tetapi informasi dan tanda-tanda ke arah pasangan Ganjar-Sandi itu sudah mulai menguat. Di samping strategi Presiden Jokowi untuk memecah suara pemilih Islam tadi, Sandi juga sudah berpamitan dari Partai Gerindra, untuk bergabung dengan PPP. Katanya, karena ada penugasan di tempat lain.
Penugasan itu datang dari Jokowi, bagi Sandiaga—dan sebenarnya juga Erick Tohir—untuk mendekati partai-partai Islam. Sandi ditugaskan masuk ke PPP, lalu membawanya berkoalisi dengan PDI Perjuangan dan menjadi Cawapres Ganjar. Banyak survei menguatkan, pasangan calon Ganjar-Sandi akan sulit untuk ditandingi.
Memang ada juga informasi lain, bahwa saat pilpres 2019, Ibu Mega meminta Cawapres Jokowi adalah dari NU yang sepuh. Rupanya beliau nyaman dengan sosok KH Ma’ruf Amin, yang tidak mengganggu dan menjadi kompetitor partai banteng moncong putih. Kita lihat saja dalam waktu dekat, apakah Sandiaga yang mendampingi Ganjar, atau tokoh lain yang lebih NU, Mahfud MD, misalnya.
Persoalan dengan Prof Mahfud adalah, beliau mendapat dukungan luas dan populer di kalangan masyarakat bawah, tetapi ditakuti dan tidak menjadi pilihan di kalangan atas petinggi parpol. Itu pula yang menyebabkan Prof Mahfud gagal menjadi cawapres, meskipun sudah berbaju putih, di detik-detik akhir pengumuman pendamping Jokowi dalam Pilpres 2019.
Strategi kedelapan Jokowi adalah membuka opsi mentersangkakan Anies Baswedan di KPK. Ini sudah menjadi rahasia umum, terkait dugaan korupsi Formula E. Meskipun opsi ini semakin kehilangan momentum, namun belum juga menghilang dari opsi Jokowi.
Ketika mendadak dideklarasikan sebagai capres oleh Partai Nasdem, salah satu pemicu utamanya adalah ada informasi, bahwa Anies akan segera ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.
Partai Nasdem sendiri bukan tanpa ancaman ketika nekat mendeklarasikan Anies. Dalam pertemuan terbatas elite partainya, Surya Paloh dikabarkan berkata, “Abang ini meskipun dibunuh ataupun dipenjarakan tetap akan mendukung Anies, tidak akan berubah.”
Hasil pertemuan Jokowi-Surya Paloh sendiri menghasilkan kesepakatan “status quo”. Artinya, Partai Nasdem akan tetap mendukung Anies, dan menterinya di kabinet tetap tidak direshuffle. Tetapi bukan berarti posisi Nasdem aman. Dugaan korupsi BTS menyebabkan kader utama Nasdem Menkominfo Johnny Plate diperiksa Kejaksaan Agung. Dapat dipastikan, pemeriksaan selevel menteri demikian tentunya atas sepengetahuan dan persetujuan Presiden Jokowi.
Soal info Anies menjadi tersangka sempat muncul dalam pembicaraan Presiden Jokowi dengan salah satu tokoh bangsa utama. Dalam obrolan tersebut sang tokoh terkejut, ketika disebutkan hanya akan ada dua paslon capres 2024.
“Bukankah banyak kandidat yang bermunculan, Bapak Presiden, misalnya ada juga Anies Baswedan.”
“Anies tidak bisa maju karena ada kasusnya di KPK,” jawab Jokowi.
Risau dengan berita pentersangkaan Anies tersebut, pembicaraan itu diceritakan sang tokoh ke Presiden Keenam SBY ketika berkunjung ke Cikeas. Maka muncullah statemen politik SBY di Jakarta Convention Centre pada Kamis 15 September 2021 yang intinya beliau risau dengan adanya skenario dari kelompok tertentu yang mengatur Pilpres 2024 hanya diikuti dua pasangan calon, dan karenanya menjadi tidak jujur dan tidak adil.
Strategi kesembilan adalah mengambil alih Partai Demokrat melalui langkah politik yang dilakukan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko. Kita sama-sama paham bahwa Moeldoko telah dan terus berusaha mengambil alih Partai Demokrat. Terakhir diajukan upaya Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. Jika dimenangkan, maka Demokrat akan dikuasai Jokowi, dan dapat dipastikan, Anies akan kehilangan dukungan partai mercy dan terancam tidak mendapat tiket pencapresan.
Saya ingin kita jujur dan tegas mengatakan yang mengambil alih Demokrat adalah Presiden Jokowi, bukan Moeldoko. Sudah jelas Moeldoko adalah KSP Presiden Jokowi, orang lingkar satu istana. Maka setiap langkahnya kalau dibiarkan, berarti mendapat persetujuan sang Presiden.
Ketika Moeldoko dibiarkan mengambil alih Partai Demokrat, tidak direshuffle, dan sekarang mengajukan PK ke MA, harus dikatakan ini adalah strategi Jokowi untuk mencaplok Demokrat, sekaligus menggagalkan pencapresan Anies Baswedan.
Seorang Advokat memberi info, bahwa PK Moeldoko tidak bisa dianggap ancaman yang enteng-enteng saja. Teman advokat ini menyampaikan dihubungi beberapa hakim agung yang terjerat kasus korupsi mafia perkara di MA. Mereka meminta sahabat advokat tersebut menjadi pengacaranya. Karena pernah di KPK, dan aktivis antikorupsi, sang sahabat menolaknya.
Tapi dari pertemuan itu, ada kisah sangat menarik yang kemudian muncul, dan minta saya menyampaikan kepada petinggi Demokrat. Bahwa para hakim agung yang bermasalah itu dijanjikan dibantu kasusnya, bahkan hakim agung lain yang mestinya juga diciduk kasus yang sama tidak akan disentuh, dengan kesepakatan tukar guling perkara. Yaitu, para hakim agung itu membantu memenangkan PK yang diajukan Moeldoko Cs atas Partai Demokrat AHY.
Pencaplokan partai oleh seorang Presiden adalah persoalan serius. Apalagi partai yang dicaplok adalah partai seorang mantan presiden. Bukan saja itu membahayakan demokrasi kepartaian di negara kita, tetapi menunjukkan bagaimana kasarnya politik yang dilakukan. Bayangkan, untuk membatalkan pencapresan Anies, seorang Presiden sampai nekat merestui, paling tidak membiarkan KSP-nya, mengganggu partai resmi yang dilahirkan bukan orang sembarangan, Presiden Keenam RI, Pak SBY.
Strategi penutup kesepuluh yang menyempurnakan adalah dengan berbohong kepada publik, maka genap lengkaplah menjadi 10 sempurna. Presiden Jokowi berulang kali mengatakan urusan capres adalah kerja para Ketum Parpol, bukan urusan Presiden. Maka, beliau protes ketika semua soal capres dikaitkan dengan dirinya.
Tetapi pernyataan itu jelas tidak jujur. Di pertemuan buka puasa yang diadakan PAN saja, setelah melakukan pertemuan tertutup, Presiden Jokowi dengan seluruh partai pendukung pemerintah—kecuali Partai Nasdem yang tidak diundang untuk hadir—di hadapan media menyampaikan ide tentang koalisi besar, antara KIB dengan Gerindra dan PKB. Jelaslah, pembentukan koalisi besar ada urun andil dari Presiden Jokowi.
Ketum PKB Muhaimin Iskandar juga menceritakan ketika bertemu dengan Presiden Jokowi diarahkan segera deklarasi pasangan calon dengan Prabowo.
“Segera saja Cak Imin deklarasi paslon dengan Pak Prabowo. Cak Imin sampaikan ke beliau, nanti saya juga akan bicara dengan Pak Prabowo.”
“Baik Bapak Presiden.”
Tidak berapa lama setelahnya Presiden Jokowi juga bertemu dengan Ketum Gerindra Prabowo. Lalu akhirnya Prabowo bertemu Muhaimin di rumah Kertanegara pada 10 April 2023.
“Pak Prabowo, Presiden Jokowi meminta kita segera deklarasi paslon Prabowo-Muhaimin.”
“Lho, Pak Muhaimin, saya baru bertemu dengan Presiden Jokowi, dan pesannya segera deklarasi Prabowo-Airlangga.”
Terkejut dan kecewa atas pesan yang berbeda tersebut, Muhaimin akhirnya meninggalkan kediaman Prabowo dan menyampaikan pernyataan media: Belum ada kesepakatan capres-cawapres.
Arah Jokowi mendukung Koalisi Besar dengan paslon Prabowo-Airlangga semakin terang ketika di hari lebaran pertama Prabowo bertemu Presiden Jokowi, lalu di hari kedua Prabowo menemui Aburizal Bakrie dan Airlangga Hartarto.
Itulah sekelumit kisah bagaimana Jokowi mendukung pasangan Ganjar Pranowo-Sandiaga Uno, dengan cadangan Prabowo Subianto-Airlangga Hartarto, sambil tetap berusaha menggagalkan Anies Baswedan, yang kemungkinan berpasangan dengan AHY. Kalau, Partai Demokrat AHY berhasil “dicopet” Moeldoko dengan restu Jokowi, nasib pencapresan Anies akan di ujung tanduk. Kecuali ada partai yang bergeser ke Koalisi Perubahan. Misalnya, PKB yang Muhaimin Iskandar terbaca kecewa, berpindah mendukung Anies. Pertanyaannya seberapa kuat tameng perlindungan Cak Imin ketika diserbu dengan berbagai dugaan korupsi yang akan ditembakkan deras ke tubuhnya dan PKB.
Akhirnya, Presiden Jokowi tentu boleh punya preferensi capres jagoannya. Tetapi menggunakan pengaruh dan kekuatan kepresidenannya untuk menjegal bakal capres yang lain, seharusnya tidak dilakukan. Demokrasi dan Pilpres 2024 akan dicatat sebagai pemilu yang penuh rekayasa politik yang kotor, dan itulah legacy Presiden Jokowi yang harus dihentikan, sebelum menjadi kenyataan.
Pekalongan-Jakarta-Melbourne, 24 April 2023
Denny Indrayana, Guru Besar Hukum Tata Negara, Senior Partner INTEGRITY Law Firm, Registered Lawyer di Indonesia dan Australia