Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Presiden Joko Widodo bukan saja bersemangat mempertahankan kekuasaan, baik dengan usaha memperpanjang maupun mencari boneka pelanjut kekuasaan, akan tetapi juga mendorong anggota keluarganya untuk menjadi pejabat publik. Tentu dengan bahasa berkelit bahwa itu urusan anak-anaknya yang sudah dewasa. Tanya saja kepadanya soal jabatan-jabatan tersebut.
Sewaktu dahulu Gibran Rakabuming Raka maju menjadi calon Wali Kota Surakarta, sorotan mata terarah pada Joko Widodo yang mulai menjalankan perilaku menyimpang nepotisme. Seperti kebiasaan ia mengeles menyatakan tergantung rakyat memilih atau tidak. Tetapi dengan target suara 80% kemenangan maka sudah diduga “jaringan” dan pengaruh sang ayah digunakan. Gibran menang tanpa perlawanan yang berarti.
Awalnya Gibran menyatakan tidak berminat terjun ke bidang politik. “Nggak, nggak tertarik,” tegasnya, saat ditanya wartawan pada peresmian outlet Sang Pisang dan Markobar di Cikini. Berulang pertanyaan dengan jawaban yang sama. Ia konsisten untuk tetap berada di jalur bisnis. Namun kini Gibran menjadi wali kota di tempat kota kelahiran ayah dan dirinya.
Menantu Joko Widodo, Bobby Afif Nasution berpasangan dengan Aulia Rahman menjadi Wali Kota Medan. Suami dari Kahiyang Ayu ini sukses dalam perebutan suara melawan pasangan Akhyar Nasution-Salman Al Farisi. Program dorong “naik” keluarga juga melalui perkawinan adik Joko Widodo, Idayati, dengan Ketua MK Anwar Usman.
Fenomena terbaru adalah putra bungsu Jokowi yaitu Kaesang Pangarep yang siap maju dalam Pilkada Kota Depok. Sebelumnya seperti kakaknya, Gibran, ia selalu menyatakan tidak mau menjadi pejabat. Hanya ingin menggeluti dunia bisnis.
Namun dalam video kanal YouTube Kaesang Pangarep by GK hebat 11 Juni 2023, Kaesang menyatakan:
“Saya Kaesang Pangarep, saya sudah mendapat izin dan restu dari keluarga saya, insya Allah dengan ini saya siap untuk hadir menjadi Depok pertama.”
Meski belum sukses, namun dengan “izin dan restu keluarga” maka mudah dibaca publik bahwa Jokowi lagi-lagi akan menggunakan pengaruhnya sebagai Presiden dalam menyukseskan niat putranya untuk menjadi Wali Kota Depok. Apa yang dapat dikatakan untuk hal ini selain nepotisme?
Kini penyakit buruk kekuasaan telah melanda Jokowi, bukan saja tidak mau turun dari jabatan tetapi ingin terus “memperpanjang” kekuasaannya. Ditambah dengan mendorong keluarga untuk mendapatkan jabatan politik. Nepotisme yang nyata. 101 persen nepotisme.
Contoh buruk Jokowi diikuti oleh banyak pejabat lain dari rezimnya. Anak, istri dan saudara menjadi pejabat-pejabat publik di negeri ini, termasuk anggota Dewan. Jokowi telah sukses membangun rezim nepotisme, negara keluarga—the family state.
Abai pada Ketetapan MPR No XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Ketetapan ini belum dicabut, karenanya masih memiliki daya laku (validity) dan daya guna (efficacy).
Dari bukti nyata 101 persen nepotisme, maka aspek kolusi dan korupsi menjadi agenda untuk diusut ke depan. Melihat banyaknya Menteri Jokowi yang terlibat korupsi berbasis kolusi, maka mungkinkah Presiden itu 101 persen bersih?
Inilah PR bangsa yang harus mulai dikerjakan dan dituntaskan. Tuntas hingga 101 persen.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan