Catatan KH Athian Ali M Da’i, Lc, MA*
SALAM-ONLINE.COM: Pemilik alam semesta berikut segala isinya hanyalah Allah Subhanahu wa Ta’ala (QS Al-Baqarah: 284, Ali-Imraan: 109, 129, An-Nisaa’: 126,131-132, An Najm: 31, Yunus: 55, An-Nuur: 64, Luqman: 26).
Sebelum manusia diciptakan, Allah Subhanahu wa Ta’ala sudah menciptakan alam semesta berikut segala isinya untuk melayani manusia sebagai khalifah/wakil Allah di bumi (QS Al Baqarah: 30). Kepemilikan pada manusia hanyalah sebatas amanah yang hanya bisa dimanfaatkan sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala pemilik yang sesungguhnya.
Aturan pertama yang ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala di antaranya dinyatakan lewat sabda Rasul-Nya: Orang Muslim berserikat dalam tiga hal yaitu air (yang mengalir), rumput (pohon/ hutan), api (bahan bakar) (HR Ibnu Majah dari Ibnu Abbas Radhiyallaahu ‘Anhu). Hadits inilah yang telah mengilhami lahirnya UUD RI 1945, pasal 33 ayat 3 bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Dimaksudkan dengan “dikuasai” oleh Negara, hanyalah sebatas kekuasaan dalam mengelola untuk kemaslahatan dan kemakmuran rakyat.
Kenyataannya? Selama 78 tahun merdeka, negeri yang sangat kaya dengan Sumber Daya Alam (SDA) ini, ternyata sekitar 10% rakyatnya hidup dalam kefakiran, antara 40-50% hidup dalam kemiskinan. Penyebab utamanya di antaranya, SDA lebih banyak dinikmati Asing, oligarki dan oknum penguasa, lewat hubungan fenomenal yang dikenal dengan korporatokrasi. Yaitu sistem kekuasaan yang dikontrol oleh korporasi-korporasi besar yang dalam kenyataannya dapat mendikte, bahkan terkadang membeli kebijakan dari pemerintah untuk mewujudkan ambisi bisnis mereka.
Selain ketiga hal tersebut, menurut Islam seseorang dapat memiliki tanah lewat enam cara: 1. Jual beli, 2. Waris, 3. Hibah, 4. Ihya`ul mawat, 5.Tahjir, 6. Iqtha` (Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mustla, hal. 51).
Yang dimaksud dengan Ihya ‘ul mawat, “menghidupkan tanah mati”, adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seorang pun, lalu dimanfaatkan oleh seseorang misalnya dengan membangun tempat hunian, bercocok tanam dan sebagainya. Sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: ” Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya,” (HR Bukhari).
Sementara yang dimaksud dengan Tahjir, yaitu membuat batas pada suatu tanah mati. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: ”Barangsiapa membuat suatu batas pada suatu tanah (mati), maka tanah itu menjadi miliknya,” (HR Ahmad). Sedangkan yang dimaksud dengan iqtha’, pemberian tanah dari pemerintah kepada rakyat.
Penduduk Rempang telah memenuhi poin keempat dan kelima sejak tahun 1860, jauh sebelum negeri ini merdeka, karenanya merekalah pemilik yang sah. Kendati secara administrasi, mereka masing-masing belum memegang sertifikat yang seharusnya dibuat oleh pemerintah, sebagaimana yang pernah dijanjikan Pak Jokowi pada masa kampanye menjelang pilpres 2019.
Andaikata kini pemerintah memiliki rencana mempergunakan lahan tersebut untuk pembangunan industri, maka selayaknya hal ini dibicarakan dengan warga Rempang sebagai pemilik yang sah untuk dimintakan persetujuannya, apakah mereka rela atau tidak menyerahkan hak miliknya untuk kemudian direlokasi.
Upaya ini tentu saja harus ditempuh dengan jalan musyawarah (QS Asy Syuro: 38, Ali Imraan: 159) dan dengan cara yang manusiawi, tidak dengan cara penggusuran secara paksa.
Pemerintah dan aparat, seharusnya tidak mempergunakan jalan kekerasan dan intimidasi seperti mengancam akan membuldoser dan atau bahkan akan memiting para pengunjuk rasa.
Pernyataan bernada intimidasi seperti ini sangat tidak layak diucapkan oleh seorang pejabat dan aparat, karena hanya akan semakin membakar emosi dan suasana batin rakyat, sekaligus membuyarkan motto yang selama ini diyakini rakyat “TNI manunggal bersama rakyat”.
Sebelum pernyataan tersebut dilontarkan saja, tindakan aparat di lapangan sangat jauh dari mengayomi dan melindungi rakyat. Sikap yang dipertontonkan tidak seperti menghadapi rakyat sebagai pemilik tanah, tapi lebih terkesan seperti sedang menghadapi para penjahat yang ngotot mempertahankan tanah yang bukan milik mereka, yang karenanya harus segera dienyahkan.
Nalar orang sehat pasti akan menyatakan, tidak mungkin rakyat Rempang menolak dan melawan, kecuali karena mereka merasa dizalimi dengan dipaksa menyerahkan hak milik mereka.
Sangat disayangkan tentunya, jika untuk kesekian kalinya aparat dan rakyat kembali berbenturan atau dibenturkan? Sehingga menelan banyak korban entah untuk apa dan atau untuk kepentingan siapa?
Segala bentuk kezaliman di mana pun, termasuk di negeri ini harus dihentikan. Jika Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai Pencipta dan Pemilik yang sesungguhnya bersumpah mengharamkan diri-Nya untuk berbuat zalim, maka betapa sangat murkanya Allah Subhanahu wa Ta’ala bila kemudian ada manusia yang berbuat zalim kepada sesama manusia dan makhluk-makhluk Alloh Subhanahu wa Ta’ala Iainnya. Terbukti dengan seorang wanita yang akhirnya ditetapkan Allah Subhanahu wa Ta’ala Iewat Rasul-Nya sebagai calon neraka jahannam, hanya karena menzalimi seekor kucing.
Jika menzalimi seekor kucing saja sudah dapat mengantarkan seseorang menjadi penghuni neraka, maka wajarlah jika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyatakan dengan tegas, bahwa penguasa yang zalim kelak berada di urutan pertama dari enam kelompok yang akan masuk neraka jahannam tanpa hisab.
*Ketum Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI)/Ketum ANNAS Pusat