Catatan M Rizal Fadillah*
SALAM-ONLINE.COM: Gibran “Nepo of the Year” melengkapi gelar dari media asing, Al Jazeera, yaitu “Nepo Baby”. Nepotisme merupakan tragedi sejarah bangsa Indonesia. Gibran menjadi ocehan masyarakat, bukan karena konten prestasi atau harapan melainkan lecehan dan keprihatinan. Sulit berharap dari figur Gibran bagi kemajuan bangsa ke depan, apalagi untuk canangan 2045.
Gibran adalah anak muda. Tetapi lebih tepat jika disebut anak Presiden. Sungguh tidak punya malu Jokowi memaksakan anak “bergelar” banyak itu sebagai cawapres. “Gelar” yang disematkan kepadanya ada Samsul, Belimbing Sayur, Bocil, Anak Haram Konstitusi dan kini Nepo Baby. “Nepo of the Year” juga dapat disematkan padanya untuk wujud bangunan rezim keluarga yang gencar dan vulgar diperjuangkan selama tahun 2023.
Tidak ada benci pada pribadi, akan tetapi sebagai pejabat publik wajar mendapat penilaian kritis. Pada jabatan tingkat lokal, wali kota misalnya, sentilan atau kritikan halus sudahlah cukup. Tetapi untuk jabatan wapres maka selayaknya mendapat sorotan yang lebih tajam. Sungguh negara Indonesia dipertaruhkan. Gibran belum cukup matang dan pantas menjadi Wakil Presiden. Ketimbang jadi tuntunan akan lebih berpeluang jadi tontonan.
Gibran dan pasangannya bisa saja menang dengan bermodal kekuasaan ayahnya. Kelicikan dapat dilakukan. Ini yang dikhawatirkan pada pilpres saat ayah berkepentingan untuk suksesnya sang anak. Kasus MK yang meloloskan Gibran menjadi bukti kuat bahwa kelicikan berhasil dan telah dimulai. Belum lagi Gibran yang baru 2 tahun lebih menjabat wali kota, kemudian maju menjadi cawapres, tanpa melepaskan jabatan wali kota.
Tidak menyelesaikan jabatan lima tahun wali kota adalah lompat kodok (leapfrog). Cara kerja yang tidak bertanggung jawab, bahkan tamak atau haus kekuasaan. Tidak ada kebaikan dari ketamakan. Bahkan Islam menggambarkan bahaya tamak pada kekuasaan. Dalam QS Muhammad 22-23 ditegaskan bahwa orang tamak pada kekuasaan itu akan melakukan kerusakan di muka bumi, hilang rasa kasih sayang dan buta tuli pada kebenaran. Mereka dilaknat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kita tidak bicara Prabowo-Gibran yang bisa dikalahkan, melainkan anggapan bahwa kecurangan atau menghalalkan segala cara berhasil memenangkan pasangan rentan itu. Apakah rakyat akan bisa menerima begitu saja? Belum tentu. Perlawanan hukum skeptis karena akan diganjal sahabat dan keluarga MK. Perlawanan politik lebih memungkinkan. Bukan hanya pendukung Anies-Muhaimin yang mungkin bakal ngamuk, tetapi juga pendukung Ganjar-Mahfud. Slogan curang perang berkumandang.
Bisa saja bukan Prabowo magnet kecurangan itu, akan tetapi Gibran. Meskipun demikian sebagai objek kepentingan besar Jokowi, Prabowo tetap ikut andil atas peracunan demokrasi tersebut. Prabowo adalah katalisator.
Gibran disebut “Nepo Baby” oleh Al Jazeera dengan makna bersayap, tetapi tetap negatif. Nepo Baby memang lucu atau imut-imut, tetapi ketika berada dalam asuhan “elder or eldest family” yang buas, maka ia bisa berubah menjadi Baby Shark, Baby Snake atau Baby Wolf. Dan ketika dewasa maka hewan itu pasti menjadi predator pemangsa sesama. Gibran senang berada di kebun binatang sebagaimana saat debat. Berburu pajak.
Ketika orang tua senang pada kodok (frog) maka sang anak suka pula pada anak kodok (baby frog). Es itu sedang menetes ke bawah. Indonesia dalam bahaya. Kebodohan politik ada di depan mata.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan