Catatan Abu Harits*
SALAM-ONLINE.COM: Kemenangan pasukan oposisi yang dikomandoi oleh Abu Muhammad al-Jaulani atas rezim Asad di Suriah menjadi pusat perhatian dunia. Setelah berjuang dalam api revolusi cukup panjang selama 13 tahun lebih akhirnya rakyat Suriah kembali merasakan kemerdekaan yang telah lama terenggut sejak tampuk kekuasaan kekuasaan dipegang rezim Hafez Asad di tahun 1971.
Kejahatan dan pelanggaran hak asasi manusia kerap kali dipertontonkan di hadapan rakyatnya sendiri. Mulai dari pembantaian di Tal al Za’tar tahun 1976, kemudian tragedi Tadmur tahun 1980 hingga penjagalan (pembantaian) para ulama di Hama tahun 1982 menjadi gambaran kebengisan dan kediktatoran kepemimpinannya.
Di masa kepemimpinan Basyar Asad (sang anak), rakyat Suriah mengalami tekanan dan penindasan yang tidak kalah brutalnya seperti pada masa ayahnya. Dari penuturan rakyat dan para aktivis serta laporan jurnalistik di lapangan menyebutkan bahwa di masa Basyar Asad bangunan yang banyak dibangun adalah penjara-penjara bagi rakyatnya. Tidak kurang dari 50 bangunan penjara yang berskala besar menjadi tempat penjagalan para aktivis.
Menurut catatan Syrian Network for Human Rights (SNHR), pasukan rezim menahan setidaknya 1,2 juta warga Suriah selama perang dan menyiksa mereka dengan berbagai metode. Belum lagi “hujan birmil” yang sering dimuntahkan secara sporadis dari atas helikopter tempur menyasar seluruh rakyat yang menentang tangan besi rezim.
Di tahun 2013, rezim Asad menghujani kota Ghouthoh dengan bom kimia (gas sarin) yang menewaskan tidak kurang dari 1.700 korban jiwa, di antaranya anak-anak dan wanita serta lansia dalam satu hari. Diperkirakan mencapai lebih dari dua juta korban jiwa dan luka-luka sejak pecahnya perlawanan rakyat menentang kebengisan tangan besi rezim Asad.
Dalam catatan UNHCR, ada 6,3 juta orang pengungsi Suriah yang tersebar di berbagai negara. Hal ini memberikan gambaran betapa buruknya kepemimpinan rezim Basyar Asad.
Kondisi Suriah pun berubah secara drastis pasca penaklukan kota Damaskus pada Ahad, 8 Desember 2024. Perubahan cepat itu berlangsung secara terorganisir dan rapi setelah pasukan Mujahidin Suriah mampu menguasai kota-kota penting seperti Aleppo, Homs dan Hama.
Semua itu diluar dugaan pihak rezim. Kekuatan tempur dari Mujahidin Suriah yang dikomandoi oleh Abu Muhammad al Jaulani mampu secara rapi mengkoordinir semua faksi-faksi perlawanan Suriah.
Babak baru Suriah pun dimulai. Suriah seakan terlahir kembali. Hampir semua warga mengungkapan kebahagiaan dengan bahasa dan ekspresi masing-masing. Semua itu bermuara pada spirit baru untuk menata kembali Suriah menuju peradaban yang lebih gemilang dan cerahnya masa depan untuk semua.
Dari sinilah semua pihak mengambil pelajaran bahwa kemenangan bukanlah akhir dari perjuangan melainkan sebuah nikmat besar dan sekaligus ujian babak baru. Di masa transisi inilah semua rakyat Suriah berdegub debar seraya penuh harap dan cemas, apakah Suriah akan menapaki babak baru yang penuh keadilan dan kemakmuran ataukan sebaliknya.
Di saat yang bersamaan, masa transisi ini menjadi wahana implementasi bagi Mujahidin dalam menerapkan ilmu dan merealisasikan cita-cita dan idealisme perjuangan. Slogan dan semboyan untuk kembali hidup di bawah keadilan Islam akan diuji di babak penentuan ini. Kegagalan di masa tansisi ini akan mengakibatkan efek trauma yang boleh jadi memperburuk citra Islam dan Mujahidin. Semoga Allah Ta’ala melindungi dan memberikan Taufiq kepada Mujahidin yang saat ini mendapatkan amanah mengelola/menata negara dan pemerintahan.
Di fase transisi ini, pemerintahan baru Suriah yang dipimpin oleh Ahmad al Shara’ (Abu Muhammad al Jaulani) akan menghadapi beberapa tantangan, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal, pemerintahan transisi akan menghadapi ujian persatuan dan kesatuan antar elemen dan faksi pejuang revolusi.
Tentu saja hal ini tidak mudah. Namun dengan pengalaman sebelumnya dalam mengkoordinir operasi pembebasan Suriah, banyak para pengamat menaruh sikap optimis bahwa pemerintahan transisi di bawah Ahmad al Shara’ akan mampu mengondisikan seluruh faksi jihad dan perlawanan pro revolusi dalam membentuk pemerintahan bersama.
Adapun secara eksternal di depan mata nampak kekuatan salibis internasional, zionis dan jaringan syi’ah yang telah mempersiapkan diri terkait perubahan situasi secara lokal, regional dan global. Perhitungan serta pengamatan geopolitik dan geostrategi dimainkan agar Suriah masih bisa “dikendalikan”. Meskipun nampak di awal pembebasan Suriah mereka terkejut dengan kekuatan Mujahidin yang tak terprediksikan sebelumnya. Pada kenyataannya, pasukan penjajah zionis “Israel” telah mendahului menyerang situs-situs militer strategis di wilayah Suriah persis 48 jam pasca tumbangnya rezim Asad.
Ancaman intervensi kekuatan global menjadi ujian dalam babak baru pemerintahan transisi Suriah yang harus dipersiapkan “kuda-kuda”nya demi keberlangsungan perjuangan revolusi. Di masa transisi seperti ini, semua pihak dan elemen rakyat Suriah haruslah memperhatikan Langkah-langkah strategis menuju Suriah baru yang diharapkan bersama.
Di antara Langkah-langkah strategis yang harus dilakukan adalah sebagai berikut:
Penyadaran umat tentang Amanah kemenangan
Kemenangan hakikatnya adalah Amanah yang diembankan pada setiap para pejuang dan seluruh rakyat Suriah. Kemenangan bukanlah akhir dari perjuangan melainkan babak baru dalam mengarungi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kemenangan dan kemerdekaan yang menjadi nikmat terbesar setelah nikmat iman dan islam haruslah dimaknai sebagai tanggung jawab moral untuk membangun dan memberikan yang terbaik dari masa sebelumnya. Semua pihak harus memiliki spirit untuk memberikan dedikasi terbaiknya, bukan sekadar menjadi pihak yang selalu menuntut bagian dari “kue kemenangan”.
Persatuan dan kesatuan menjadi asas dalam setiap kebijakan
Mengingat bahwa Suriah terdiri dari multi etnis, suku dan agama, maka sikap toleran dan kompromistis menjadi hal yang harus ditempuh demi menjaga persatuan dan kesatuan elemen bangsa.
Di masa pendirian Madinah, Nabi Muhammad ﷺ selaku pemimpin tertinggi kaum Muslimin mengadakan perjanjian damai dengan berbagai pihak, tidak terkecuali kaum yahudi. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya membangun persatuan dan menjaga stabilitas teritorial dan diprioritaskan sebelum langkah-langkah lain.
Di masa transisi ini, pemerintahan baru Suriah tampaknya mengambil pelajaran dari siroh nabawiyah dalam menjaga persaudaraan. Di awal masa Pembangunan pemerintahan di Madinah, Nabi ﷺ memfokuskan kerjanya untuk mempersaudarakan antara golongan muhajirin dan anshor. Dari persaudaraan dua golongan inilah menjadi penopang stabilitas negara. Nampak sekali kealiman dari sosok Abu Muhammad al Jaulani dalam mengimplementasikan kajian siroh dalam praktiknya di lapangan. Upaya mempersaudarakan dan mempersatukan seluruh faksi jihad menjadi Langkah prioritas yang dikedepankan olehnya pasca tumbangnya rezim Asad.
Perubahan secara gradual dan tidak tergesa-gesa
Menghadapi masa transisi haruslah menggunakan pendekatan secara gradual dan tersistematis. Sebisa mungkin menghindari terjadinya gejolak sosial yang akan menimbulkan chaos. Ketergesa-gesaan akan bersifat kontraproduktif dengan tujuan perjuangan.
Bercermin pada siroh nabawiyah, Nabi ﷺ dalam situasi transisi melakukan perubahan di segala bidang secara bertahap. Hal itu nampak sekali dalam kodifikasi sejarah legislasi syariat Islam (Tarikh tasyri’). Dalam perjalanannya perumusan dan penegakan peraturan perundangan dilaksanakan secara bertahap sesuai tuntutan zaman. Hal itu berlanjut hingga masa khulafaur rosyidin dan di masa selanjutnya.
Penanaman sikap saling memaafkan dan saling mencintai karena Allah
Di masa transisi dan perpindahan kekuasaan sikap seorang Muslim adalah mudah memaafkan. Keteladanan ini bisa diambil dari pribadi Rasulullah ﷺ saat penaklukan kota Makkah. Beliau menyampaikan jaminan keamanan dan pemberian maaf kepada penduduk Makkah yang dahulu pernah memusuhi dan bersikap jahat kepada beliau dan kaum Muslimin. Keluhuran akhlaq beliau diabadikan dalam tulisan sejarah saat beliau bersabda: “Pergilah kalian semua, hakikatnya kalian adalah bebas merdeka!” Tidak ada dendam dan kemarahan, yang ada adalah rasa rahmat dan perdamaian.
Pembentukan Lembaga-lembaga negara yang independen dan transparan
Sebagai negara yang baru lahir maka tidak mungkin diselenggarakan oleh perorangan atau golongan tertentu saja. Penyelenggaraan negara menghajatkan pembentukan lembaga-lembaga tinggi negara yang kompeten, independen dan didukung dengan manajemen transparan dalam menjalankan pelayanan dan perlindungan terhadap seluruh rakyat dan terrtorialnya.
Permasalahan negara yang meliputi semua sektor kehidupan haruslah diurus secara profesional dan penuh tanggung jawab. Ditambah dengan semangat menegakkan keadilan dan menyebarkan kesejahteraan di antara rakyatnya.
Fokus pada rehabilitasi pendidikan, Kesehatan, pangan dan permukiman rakyat
Perang revolusi yang berlansung selama 13 tahun lebih telah meninggalkan banyak pengorbanan. Semua sektor kehidupan masyarakat hancur selama berlangsungnya perang. Di masa transisi ini, pemerintah baru Suriah harus lebih fokus dalam merehabilitasi semua sektor, terlebih khusus lagi pada sektor pendidikan, Kesehatan, pangan dan juga permukiman rakyat. Mengingat sektor-sektor ini menjadi kebutuhan primer bagi rakyat.
Menjalin hubungan luar negeri yang didasarkan pada sikap merdeka dan menjaga marwah negara
Tidak dipungkiri bahwa Suriah hari ini ibarat bayi yang baru lahir. Hadirnya uluran tangan dari pihak luar menjadi hajat yang tidak bisa dielakkan. Keberadaan negara-negara tetangga yang menjadi penopang stabilitas negara menjadi variabel terpenting untuk kebangkitan Suriah di masa mendatang. Oleh sebab itu, menjalin hubungan luar negeri secara intensif adalah Langkah strategis.
Namun dalam membangun hubungan diplomasi dengan luar negeri haruslah bersikap hati-hati agar tidak terjebak pada kemauan pihak luar. Rambu-rambu yang harus dipegang dalam menjalin hubungan kerja sama, baik secara bilateral maupun multilateral harus didasarkan pada prinsip kemerdekaan dan menjaga marwah negara.
Penguatan aspek ruhiyah dan spiritual
Aspek ruhiyah menjadi hal terpenting dalam Pembangunan manusia seutuhnya pasca tumbangnya rezim Asad. Sebagaimana dilansir oleh beberapa situs berita bahwa Suriah sebelum revolusi menjadi negara pengeskpor narkotika terbesar di dunia. Tentu saja hal ini menunjukkan kerusakan moral dan spiritual yang terjadi.
Berdirinya suatu negara yang berdaulat didasarkan pada sumber daya manusia yang kuat dan tangguh. Kekuatan dan ketangguhan sumber daya manusia bisa tercapai ketika aspek ruhiyah dan spiritualnya terjaga dan terbina.
Program mendesak yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah baru Suriah adalah membangun dan merehabilitasi masjid-masjid yang dahulunya dihancurkan oleh rezim nushoiriyah asad. Dengan mengembalikan fungsi masjid sebagai wahana mengasah kekuatan ruhiyah dan kedekatan hamba dengan Sang Kholiq.
Pembentukan majelis syuro yang terdiri dari para ulama dan cendekiawan
Ilmu menjadi landasan utama dalam semua sektor kehidupan. Dalam penyelenggaraan dan pengaturan negara kebutuhan ilmu adalah mutlak dibutuhkan. Langkah strategis dan urgen dalam masa transisi ini adalah pembentukan majlis syuro yang terdiri dari para ulama dan cendekiawan yang bermental patriot dan siap memberikan dedikasi untuk kemajuan bangsa dan negara.
Dalam perjalanan sejarah islam, kita dapati semua pemimpin memiliki majelis syuro yang terdiri dari para ulama. Karena ulama adalah pewaris nabi. Dari merekalah seorang pemimpin negara akan mendapatkan saran, nasihat dan masukan Solusi demi mengatasi permasalahan-permasalahan berbangsa dan bernegara. Tanpa hadirnya ulama, negara akan mengalami kekacauan, karena tidak terbimbing oleh ilmu.
Dengan memetakan permasalahan dan solusinya, pemerintahan baru Suriah optimis akan mampu menapaki masa transisi yang berat ini. Tidak lupa pula untuk selalu bertawakkal kepada Allah ﷻ selaku Dzat Yang telah memberikan kemenangan kepada rakyat Suriah atas tumbangnya rezim zalim Asad.
Semoga Suriah di masa mendatang menjadi baldatun thoyyibatun wa Robbun Ghofur. Wallohu a’lam bis showab. []
*Pemerhati Perjuangan Rakyat Suriah