JAKARTA (salam-online.com): Sudah lebih sepekan PKS-SBY berada dalam pusaran politik “saling menunggu”. Siapakah yang tetap bertahan atau menyerah? Seperti diketahui, setelah PKS menolak penaikan harga BBM, berbeda dengan anggota koalisi lainnya (Demokrat, Golkar, PAN, PPP dan PKB), rapat Setgab Koalisi di rumah kediaman SBY di Puri Cikeas menghasilkan keputusan bahwa PKS dengan sendirinya keluar dari koalisi.
Akhirnya, sampai sekarang, yang terjadi adalah saling menunggu antara PKS dan SBY. Kendati antara SBY dengan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq dan Menkominfo Tifatul Sembiring (mantan Presiden PKS) sempat bertemu dan bersalaman di sebuah acara di Solo, Senin malam (9/4/12) lalu, toh tak membuat kedua pihak jadi melunak.
Siapa yang lebih dulu menyatakan talak, PKS atawa SBY? Ataukah kedua pihak tak saling menyatakan, sehingga cerita ini hilang begitu saja ditelan waktu? Lalu, kenapa ada perbedaan suara antara Jubir Kepresidenan Julian Aldrin Pasha dengan Staf Khusus Bidang Politik Presiden Daniel Sparringga? Daniel bilang, SBY sendiri yang akan mengumumkan keluarnya PKS dari koalisi, termasuk mengumumkan reshuffle dalam waktu dekat. Tapi, belakangan Julian menyatakan bahwa Presiden SBY tak akan menyatakan perihal keluarnya PKS dari koalisi, karena dalam Code of Conduct sudah jelas, bahwa anggota koalisi yang melanggar kesepakatan dengan sendirinya keluar alias bukan lagi anggota koalisi
Terkait pengumuman posisi PKS dalam koalisi, kata Julian, Presiden SBY tak akan mengumumkannya. “Tidak ada keharusan presiden menyampaikan hal itu. Hak konstitusionalnya memberhentikan dan mengangkat (menteri) di kabinet,” ujar Julian.
Menurut Julian, presiden akan menyampaikan ke publik terkait dengan posisi menteri di kabinet. Hanya saja, soal kepastian perombakan kabinet merupakan otoritas presiden sebagai pemilik hak prerogratif. Tidak ada yang mengetahui apakah ada reshuffle atau tidak, karena itu merupakan hak konstitusi presiden,” imbuhnya.
Sebelumnya terbetik kabar, dalam pertemuan Setgab Koalisi pasca paripurna DPR yang menyetujui penaikan harga BBM dengan syarat harga minyak dunia naik 15% dari harga yang dipatok 105 dolar perbarel, SBY menugaskan Ketua harian Setgab Aburizal Bakri untuk mengumumkan secara resmi keluarnya PKS dari barisan koalisi. Ternyata Ical tak jua “melaksanakan tugas” itu. Belakangan dia menyatakan, bahwa masalah PKS merupakan urusan parpol itu dengan presiden.
Analis politik dari Charta Politika, Arya Fernandes, menyatakan bahwa penugasan yang diberikan kepada Ketum Golkar Aburizal Bakrie untuk mengumumkan nasib PKS dalam koalisi merupakan bentuk jebakan SBY kepada Ical, khususnya Golkar (inilah.com, 8/4/12). “Saya kira ini ‘jebakan’ politik bagi Ical dan Golkar. Karena bila tidak hati-hati, Golkar akan mendapatkan reaksi negatif dari publik, seolah-olah yang berhasrat mendepak PKS adalah Golkar,” ungkap Arya Fernandes.
Ditegaskan Arya, dengan ditunjuknya Ical untuk mengumumkan nasib PKS di Setgab, membuktikan bahwa SBY benar-benar ragu mengambil sikap soal PKS. Untuk itu SBY tak mau menanggung sendiri risiko tersebut. “Penunjukkan Ical menunjukkan kekhawatiran SBY terhadap efek dari mengeluarkan PKS dari koalisi. SBY khawatir akan mendapatkan sentimen negatif dari pemilih-pemilih PKS,” jelasnya.
Terkait tudingan pelanggaran atas kode etik yang dilakukan oleh PKS itu, Sekjen DPP PKS Anis Matta mengatakan, itu dapat diperdebatkan. Anis beralasan, soal rencana penaikan harga BBM baru dibicarakan di internal koalisi pada akhir menjelang sidang paripurna DPR. “Soal BBM dibahas di akhir (jelang paripurna). Seharusnya masalah sebesar ini lama dibahas,” tutur Anis (9/4/2012).
PKS, menurut Anis, tidak akan mendengar pernyataan dari orang per-orang terkait posisi PKS di dalam koalisi. PKS hanya berpegang kepada pernyataan resmi dari Presiden SBY. “Kita menunggu pernyataan formil dari Pak SBY,” tandas Wakil Ketua DPR ini.
Karena itulah, Pengamat Politik Yudi Latif menilai, saat ini posisi Presiden SBY dalam keadaan dilematis. Menurutnya, belum juga diumumkannya nasib PKS di koalisi menunjukkan SBY tidak memiliki keberanian politik. “SBY akan mencari solusi paling aman,” kata Yudi. Dia berpendapat, jika PKS tidak ditendang dari koalisi, justru SBY akan kehilangan muka karena dianggap sebagai peragu dan tidak memiliki keberanian. Karenanya, Yudi menduga, bisa saja kemungkinan SBY akan mencopot satu pos menteri dari PKS. “Langkah ini dilakukan agar SBY tidak kehilangan muka,” lanjut Yudi.
Dia menambahkan, jika PKS benar-benar ditendang dari koalisi justru akan mensolidkan oposisi parlemen jalanan. Terlebih, ujar Yudi, dukungan kader PKS di akar rumput, termasuk organ kemahasiswaan yang cukup solid justru akan merepotkan pemerintahan SBY. “Apalagi posisi Partai Golkar yang rentan berubah-ubah,” kata Yudi.
Senada dengan Yudi, Konsultan Politik Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhanudin Muhtadi menilai, Presiden SBY tak akan berani mengeluarkan PKS dari koalisi. Banyak hal menjadi pertimbangan, salah satunya kemungkinan keputusan itu justru malah akan membesarkan PKS.
“SBY itu punya kalkulasi poltik yang terkait PKS. Kenapa SBY bingung? Karena SBY tahu kalau PKS ditendang akan membesarkan PKS. Kalau PKS dikeluarkan, justru makin mensolidkan PKS di luar,” ujar Burhanudin, Selasa (detikcom, 10/4/2012). Bukan hanya itu, PKS memiliki massa yang solid. PKS juga akan rajin unjuk rasa kalau mereka menjadi oposisi. Ini tentu akan merepotkan.
“Belum lagi stabiltas politik baru yang dimunculkan akibat PKS dikeluarkan dari koalisi. PKS ini kan partai yang rajin demo, kalau mereka menggelar aksi-aksi yang menantang pemerintahan, justru mensolidkan basis dukungan PKS dan itu bisa membesarkan PKS,” jelasnya.
Namun menurut Muhtadi, dengan sikap SBY yang mengambangkan PKS ini pun berimbas kepada internal partai itu. PKS mengalami disorientasi, massa partai itu akan melihat dan bertanya kenapa elit mereka tetap mendukung pemerintahan.
“Di saat yang sama orang di luar partai akan menganggap PKS sebagai partai yang plin plan, meskipun dalam mobilisasi finansial lebih mudah,” ungkapnya.
Hal lain, bisa juga karena faktor Golkar. “SBY juga mencoba melihat politik equilibrium yang ada, kalau PKS dikeluarkan, posisi tawar Golkar akan meningkat tajam, padahal Golkar memiliki rekam perlawanan pembangkangan yang tidak kalah banyak dengan PKS,” tuturnya.
Apapun ceritanya, yang terang hingga saat ini, PKS-SBY saling menunggu. Dan, sepertinya, PKS tanpa beban menunggu. Bahkan Anis Matta menyatakan Majelis Syuro tak akan bersidang untuk soal ini, sebab posisinya menunggu. Nah, dalam hal ini SBY benar-benar dalam posisi sulit, bahkan beberapa pengamat mengatakan Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat ini pada posisi terjebak dalam hiruk pikuk permainan yang justru dikreasikan oleh lingkar elit dalamnya sendiri—baik Partai demokrat maupun partai anggota koalisi lainnya.
Akhirnya, publik bisanya juga menunggu, sama dengan PKS dan SBY—atau jangan-jangan publik EGP—lantaran muak dengan ‘game’ yang sesungguhnya amat sangat tidak penting dibanding dengan urusan hajat hidup rakyat, yang di antaranya tak menghendaki naiknya harga BBM, karena efek dominonya ke mana-mana, termasuk menambah deret orang miskin dan melarat.
Soal keinginan pendepakan PKS dari koalisi yang berlarut-larut, justru tak mendapat simpati rakyat, sebab rakyat tak ingin disuguhi rebut-merebut ‘kue kekuasaan’ yang bernama Menteri. Persoalannya kemudian, sampai kapan drama ini berakhir, tentu sangat bergantung “adu tahan dan adu kuat” antara PKS dengan SBY.
Bisa jadi pula, dalam rangka tidak kehilangan muka, SBY merombak kabinet—tanpa menyatakan PKS keluar dari koalisi. Ataukah situasi seperti ini, saling menunggu, terus bertahan sampai akhirnya dilupakan dan ditelan waktu?
Tapi jika situasi seperti ini terus bertahan dan menteri-menteri PKS tetap dalam posisinya—tanpa disentuh—bukan berarti kedua pihak “sama-sama kuat”. Justru dengan kondisi ini, SBY semakin memantapkan citranya yang selama ini dicap sebagai peragu dan penakut. Dan, PKS keluar sebagai pemenang.
Tentu situasi seperti digambarkan di atas tak kan dikehendaki, dan Demokrat tak tinggal diam untuk ‘mendesak’ SBY mereshuffle kabinet dan mengganti menteri-menteri PKS. Tetapi, ini serba salah dan dilemanya SBY, jika dia merombak kabinet dan memberhentikan menteri-menteri PKS, maka publik memahaminya PKS ditendang lantaran membela aspirasi rakyat yang tak menghendaki naiknya harga BBM. Dan, PKS akan memanfaatkan situasi ini untuk menjelaskan kepada rakyat bahwa mereka dikeluarkan dari koalisi dan menteri-menteri mereka ditendang, karena menolak naiknya harga BBM.
Toh seperti dikatakan Daniel Sparringga, bagi SBY, saat ini PKS bukan lagi bagian dari koalisi. Status tersebut, menurut SBY, tak perlu diumumkan ke publik. Sebab, itu merupakan urusan internal antara SBY dengan PKS yang tak perlu diketahui masyarakat luas. Karenanya, kata Daniel, presiden tak akan memenuhi permintaan PKS untuk mengumumkan status dalam koalisi.
“Untuk saat ini kita hanya bisa menunggu dan membiarkan prosesnya berjalan dengan iramanya sendiri,” kata Daniel, Selasa (10/4/2012).
Benarkah ini hanya persoalan internal antara SBY dengan PKS, sehingga SBY merasa tak perlu mengumumkannya ke publik? Bukankah masalah yang menyebabkan perseteruan PKS-SBY menyangkut publik? Bukankah yang namanya partai itu mempuyai konstituen dan massa pendukung? Artinya, ini bukan lagi sekadar masalah PKS di satu sisi dengan anggota partai koalisi lainnya dan SBY di sisi lain.
Apalagi, PKS tetap bergeming untuk tidak menerima selama pernyataan tentang ‘konflik’ ini bukan keluar dari mulut SBY. “Saya tidak ingin komentar kalau belum ada yang formal. Saya tidak menunggu dan tidak ada yang harus ditunggu bicara tentang koalisi,” kata Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq.
Tak ada titik temu. Itukah yang membuat SBY berpikir lama? Di samping tak yakin dengan Golkar akan kesetiaannya, apalagi pemilu makin mendekat—tentu semua partai punya agenda masing-masing dalam rangka 2014? Kebersamaan dalam koalisi menjadi tak penting! Jadi?
Kita tak usah ikut menunggu ‘game’ ini. Biarkan saja PKS dan SBY yang memainkan ‘politik saling menunggu’ itu—meskipun Luthfi Hasan menyatakan tidak menunggu dan tidak ada yang harus ditunggu. Kiranya, terlebih lagi publik, mungkin akan bilang EGP! Sebab, yang rakyat tunggu adalah kepastian bahwa harga BBM tak naik—bukan ditunda—sebagaimana yang disuarakan PKS bersama tiga partai lainnya, karena imbas negatifnya ke banyak arah. Dan juga rakyat menunggu tingkat perbaikan kehidupan mereka.
Jadi, buat apa menunggu sesuatu yang tak jelas? Apalagi bagi banyak orang, ‘menunggu’ termasuk pekerjaan yang paling tak disukai! Tapi harus diakui, jika situasi antara PKS-SBY ini berlarut-larut, publik bisa menilai, lantaran ketidaktegasan SBY. Ini dua keuntungan yang diperoleh PKS sekaligus.
Pertama, akan muncul opini publik bahwa sikap PKS menolak naiknya harga BBM adalah benar, sesuai aspirasi rakyat. Kedua, sikap dan tindakan ‘diam’ SBY membuat posisi menteri-menteri PKS lepas dari sentuhan reshuffle. Dengan demikian, dari sejumlah analisa para pengamat hingga dua keuntungan PKS yang barusan disebut, PKS berada di atas angin–sementara SBY menjadi tersandera.
Jadi tak salah jika ada yang berpendapat bahwa SBY terperangkap dengan permainannya sendiri–bersama lima anggota koalisi yang dituding turut mengkreasi kegaduhan politik ini.