–CATATAN ARTAWIJAYA–
SALAM-ONLINE: Suatu hari di awal Juli 1959. Waktu menunjukkan pukul 01.30 dinihari. Telepon di rumah KH Saifuddin Zuhri berdering. Dari ujung telepon, suara KH Dr Idham Chalid, menyampaikan kabar penting. Ia meminta KH Dr Saifuddin Zuhri untuk datang ke rumahnya di Jalan Jogja 51, Jakarta Pusat, dini hari itu juga.
“Ada hal penting terkait rencana kedatangan dua orang pejabat,” ujar KH Idham Chalid, dari ujung telepon. Tak berpikir lama, Kiai Zuhri kemudian bergegas menuju rumah KH Idham Chalid. Pukul 02.00 lebih sedikit, ia sampai di kediaman tokoh senior Nahdhatul Ulama yang pernah menjabat Ketua DPR/MPR dan Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) tersebut.
Tak berapa lama, dua orang pejabat penting, yang ternyata adalah Jenderal Abdul Haris Nasution, Kepala Staf Angkata Darat/Menteri Keamanan dan Pertahanan ditemani oleh komandan Corp Polisi Militer (CPM) Letkol R. Rusli, muncul.
Kedua petinggi militer itu meminta saran kepada dua orang tokoh Nahdhatul Ulama tersebut terkait dengan rencana keberangkatan mereka menemui Presiden Soekarno yang sedang berobat di Jepang.
Dari kalangan militer saat itu mengusulkan kepada Presiden Soekarno agar UUD 1945 diberlakukan kembali lewat Dekrit Presiden. Terkait hal itu, Jenderal Nasution dan Letkol R. Rusli meminta masukan kepada dua tokoh NU tersebut untuk memberikan apa saja yang akan dimasukkan dalam dekrit.
“Isinya terserah pemerintah, tetapi hendaklah memperhatikan suara-suara golongan Islam dalam Konstituante,” ujar KH Idham Chalid, tokoh NU asal Kalsel ini, memberi masukan.
“Apa konkretnya tuntutan golongan Islam itu?” tanya Jenderal Nasution.
“Agar Piagam Jakarta diakui kedudukannya sebagai menjiwai UUD 1945,” jawab KH Saifuddin Zuhri menimpali.
“Bagaimana sikap NU apabila presiden menempuh jalan dekrit?” tanya Jenderal Nasution lagi.
“Kami tidak katakan, itu hak presiden untuk menempuh jalan menyelamatkan negara,” jawab KH Idham Chalid.
Kisah mengenai sikap NU, Jenderal Nasution, dan tentang rencana Dekrit Presiden ini ditulis oleh M. Ali Haidar dalam buku “Nahdlatul Ulama dan Islam Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik”.
Soal keterlibatan Jenderal Nasution dalam menggagas upaya kembali ke UUD 1945 dengan syarat Piagam Jakarta diakui sebagai bagian dan rangkaian kesatuan dari UUD, dan sikap NU yang menerima usulan tersebut dengan syarat Piagam Jakarta diposisikan seperti itu, juga ditulis oleh pengamat NU, Andree Feillard dalam buku ”NU vis-a-vis Negara”.
Andree Feillard menggambarkan sikap NU terhadap Piagam Jakarta ketika itu seperti berikut:
”Pada tahun 1959, NU bersedia kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dengan syarat Piagam Jakarta diakui ‘menjiwai’ dan ‘satu rangkaian’ dengan Undang-Undang Dasar tersebut. Meskipun Pengurus Besar NU merasa puas dengan kompromi ini, namun tidaklah demikian halnya dengan beberapa cabang daerah. PBNU terpaksa menyebarkan edaran yang menjelaskan usaha-usaha mendukung Piagam Jakarta. Dan usaha itu tidak berhenti di situ.
Pada 1962, Nahdlatul Ulama meminta pemerintah supaya mengupayakan seluruh perundang-undangan organik dari UUD secara otomatis dijiwai oleh Piagam Jakarta. Muktamar itu juga mengusulkan pembentukan Mahkamah Agung Islam. Dalam pandangannya, Piagam Jakarta dasar kehidupan hukum positif negara RI.”
Sikap para aktivis NU terhadap Piagam Jakarta, kata Andree Feillard, juga terlihat dalam pawai-pawai di Jakarta ketika memperingati 40 tahun hari lahirnya Nahdlatul Ulama. Dalam pawai-pawai tersebut, tuntutan untuk mengembalikan Piagam Jakarta sebagai bagian dari UUD 1945 bertebaran dalam spanduk yang dibawa di jalan-jalan.
Pada 22 April 1959, Soekarno yang menganggap sidang konstituante terlalu bertele-tele dan alot, kemudian menyampaikan pidato berjudul “Res Publica, Sekali Lagi Res Publica” di Majelis Konstituante yang meminta para anggota majelis untuk segera kembali kepada UUD 1945, seperti yang dirumuskan pada 18 Agustus 1945.
Kemudian pada 2 Juni 1959 majelis mengadakan pemungutan suara dalam rangka kembali ke UUD 45, dengan dua pilihan yang diajukan: Pertama, kembali kepada UUD 1945 seperti dirumuskan pada 18 Agustus 1945. Kedua, kembali pada UUD 1945 dengan memasukkan anak kalimat Piagam Jakarta ke dalamnya.
Voting itu menghasilkan 263 suara setuju kembali ke UUD 1945 seperti dirumuskan tanggal 18 Agustus 1945 dan 203 mendukung UUD 1945 yang di dalamnya berisi tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang mewajibkan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Karena pemungutan suara tidak menghasilkan pemenang mutlak, maka Soekarno melakukan langkah drastis dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi pembubaran konstituante dan menetapkan berlakunya UUD 1945 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta 22 Juni 1945, yang ia sebut sebagai rangkaian kesatuan dengan konstitusi.
Dekrit ini dikeluarkan karena perdebatan di Sidang Majelis Konstiuante yang cukup alot dan memakan waktu cukup lama, dari tahun 1956 sampai 1959. Masing-masing kelompok tanpa tedeng aling-aling mengemukakan gagasan-gagasannya.
Mohammad Natsir menyebut suasana saat itu dengan istilah masa-masa konfrontasi dalam suasana toleransi. Masing-masing menyampaikan aspirasi untuk mengajukan ideologi yang akan dijadikan dasar dalam bernegara.
Kelompok Islam dimotori oleh M Natsir, Hamka, Kasman Singodimejo, dan lain-lain, serta para tokoh NU, sepakat mengajukan Islam sebagai dasar negara. Kelompok Islam mempersilakan kelompok lain untuk menyampaikan gagasannya secara terbuka, jika memang mereka mempunyai konsep yang jelas soal kenegaraan.
Perdebatan itu akhirnya berujung pada Dekrit Presiden Soekarno tanggal 5 Juli 1959. Dekrit dirumuskan di Istana Bogor, 4 Juli 1959, dan dibacakan di Istana Merdeka, Jakarta, pada Ahad 5 Juli 1959, pukul 17.00 WIB dengan isi sebagai berikut:
DEKRIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG TENTANG KEMBALI KEPADA UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI
ANGKATAN PERANG
Dengan ini menyatakan dengan khidmat;
Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945, yang disampaikan kepada segenap rakyat Indonesia dengan Amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Sementara;
Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian besar anggota Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar untuk tidak menghadiri lagi sidang,
Konstituante tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya.
Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa dan bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.
Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan untuk menyelamatkan negara proklamasi.
Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.
Maka atas dasar-dasar tersebut di atas KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMATERTINGGI ANGKATAN PERANG
Menetapkan:
Pembubaran Konstituante;
Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara.
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat dengan utusan-utusan daerah dan golongan-golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung sementara, akan diselenggaerakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 1959
Atas nama rakyat Indonesia
Presiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan Perang
Soekarno
Profesor A Sanusi, seperti dikutip Endang Saifudin Anshari, mengatakan bahwa Piagam Jakarta yang disebut dalam dekrit 5 Juli 1959 adalah kembalinya gentlement agreement dalam rangka persatuan dan perjuangan nasional.
Karena itu posisi Piagam Jakarta senapas dengan konstitusi 1945. Sanusi mengatakan kata “menjiwai” dalam dekrit tersebut berarti memberi jiwa.
Sedang memberi jiwa berarti memberi kekuatan. Kata “menjiwai” yang kemudian dirangkaikan dengan kata-kata “Suatu rangkaian kesatuan” menunjukan bahwa Piagam Jakarta merupakan satu rangkaian yang tak terpisah dengan UUD 1945.
Profesor Notonagoro, seorang ahli yang banyak melakukan penelitian tentang Pancasila mengatakan, pengakuan tentang Piagam Jakarta dalam dekrit itu berarti pengakuan akan pengaruhnya dalam UUD 1945, tidak hanya pengaruh terhadap pasal 29, pasal yang harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum di bidang keagamaan.
Dengan demikian, perkataan “Ketuhanan” dalam pembukaan UUD 1945 bisa berarti “Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan syariatnya”, sehingga atas dasar itu dapat diciptakan perundang-undangan atau peraturan pemerintah lain.
Dengan syariat Islam, ketetapan pasal 29 ayat 1 tetap berlaku bagi agama lain untuk mendasarkan aktivitas keagamaannya.
KH Saifuddin Zuhri, dalam sebuah peringatan 18 tahun Piagam Jakarta, mengatakan:
“Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka hapuslah segala selisih dan sengketa mengenai kedudukan yang legal daripada Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Piagam yang pernah menjadi pengobar dan bebuka Revolusi Nasional kita itu tegas-tegas mempunyai kedudukan dan peranan ketatanegaraan kita sebagai yang menjiwai UUD dan merupakan rangkaian kesatuan dengannya, dengan sendirinya mempunyai pengaruh yang nyata terhadap setiap perundang-undangan negara dan kehidupan ideologi seluruh bangsa.”
Prof Hazairin mengatakan bahwa Piagam Jakarta yang dikatakan dalam Dekrit 5 Juli 1959 sebagai “menjiwai” dan menjadi “rangkaian kesatuan” bagi UUD 1945 adalah maha penting bagi penafsiran pasal 29 ayat 1 UUD 1945, yang tanpa perangkaian tersebut maknanya menjadi kabur dan dapat menimbulkan penafsiran yang beragam dan absurd, karena penjelasan yang resmi mengenai pasal tersebut tidak mencukupi, karena desakan waktu.
Penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta pada 18 Agutus 1945 merupakan toleransi dari umat Islam yang menuntut diberlakukannya syariat Islam bagi pemeluknya.
Dekrit Soekarno jelas menegaskan soal keberadaan Piagam Jakarta, yang “menjiwai” dan menjadi “rangkaian kesatuan” konstitusi bangsa ini.
Siapa yang menggagas ide untuk kembali ke konstitusi 1945 dan menyebut soal Piagam Jakarta dalam dekrit presiden tersebut?
Ide tersebut ternyata datang dari kalangan militer, yaitu Jenderal Abdul Haris Nasution, tokoh yang dikenal dekat dengan kalangan Islam. Keterangan soal ini bisa dilihat dalam wawancara Jenderal AH Nasution dalam buku “Islam di Mata Para Jenderal”. Jenderal Nasution pula, yang pernah mengucapkan secara tegas bahwa, “Dengan hikmah Piagam Jakarta itu pulalah selamat sentosa menghantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.” (salam-online)
-Penulis adalah Editor Pustaka Al-Kautsar dan Dosen STID Mohammad Natsir, Jakarta