JAKARTA (salam-online.com): Sejumlah media, termasuk media online mewartakan bahwa acara diskusi yang menghadirkan Irshad “lesbi” Manji di markas Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Sabtu (5/5/2012), itu berhasil.
Mungkin, jika yang dimaksud tak terjadi pembubaran paksa dan pengusiran atas Manjiseperti peristiwa malam sebelumnya di Komunitas Salihara, itu bisalah disebut berhasil.
Ya, berhasil tidak dibubarkan secara paksa. Tapi secara halus, sesungguhnya acara diskusi ini berhasil dipercepat oleh aparat. Artinya, Manji tak diperkenankan berlama-lama di tempat acara. Jadi, siapa bilang acara diskusi AJI dengan Manji berhasil? Jika tidak berhasil, berarti gagal? Jika gagal, apa indikasinya?
Pertama, sejak awal ada rasa takut dari pihak penyelenggara bahwa acara ini akan mengalami nasib yang sama seperti malam sebelumnya di Komunitas Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Benar saja, di tengah guyuran hujan deras warga dan massa Islam mendatangi kantor AJI di Kalibata, Jakarta Selatan. Mereka mendesak penghentian acara diskusi buku “Allah, Liberty, and Love”, karya feminis lesbi asal Kanada, Irshad Manji.
Pihak panitia rupanya sudah mengantisipasi kedatangan warga masyarakat tersebut. Pasalnya, 50-an anggota Barisan Anshor Serbaguna (Banser) NU berseragam dan bersenjata sudah disiapkan untuk menjaga, menghadang dan membuat pagar betis. Situasi memanas, lantaran warga tak diperkenankan masuk. Suasana seperti mau bentrok.
Pihak Polres Jakarta Selatan dibantu Polsek Pancoran dan Polsek Pasar Minggu menengahi. Sempat terjadi negosiasi antara kepolisian, warga dan panitia acara. Tak ada titik temu. Sementara acara tengah berlangsung, meski warga protes keras. Selain Manji, diskusi dengan tema ‘seputar profesionalisme jurnalis dalam meliput hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan’ itu juga menghadirkan pembicara lain, Novrianto Kahar dari Universitas Paramadina dan Endi Bayuri, wartawan senior Jakarta Post.
Di tengah desakan agar diskusi dihentikan atau Manji segera angkat kaki, aparat kepolisian kemudian meneruskan permintaan ini ke pihak panitia. Sebab, ada kekhawatiran jika massa tak sabar, suasana akan berubah menjadi lebih tidak kondusif. Itu belum lagi massa dan ormas Islam berdatangan. Tugas aparat adalah menjaga ketertiban agar jangan sampai ada pihak yang bertindak anarkis.
Kedua, karena rasa takut terjadinya sesuatu yang tak diinginkan, pihak panitia menjadi kurang begitu konsen, meskipun sudah menghadirkan pihak Banser untuk mengamankan acara.
Ketiga, atas dasar itu, pihak AJI memaklumi saja ketika pihak keamanan—dalam hal ini aparat kepolisian—meminta untuk mempercepat acara, karena polisi sudah melakukan koordinasi dengan ormas Islam, sebut saja FPI, untuk segera mengevakuasi Manji supaya tidak berlama-lama ngecap di markas AJI.
Keempat, kehadiran salah satu ormas Islam, FPI, untuk memantau, tepatnya adalah lebih memastikan bahwa Manji segera dievakuasi dari tempat acara. Pemantauan yang dilakukan sekitar 50-an anggota FPI adalah untuk memastikan bahwa pihak aparat kepolisian akan melakukan tindakan untuk mempercepat menjemput Manji dan segera keluar dari tempat acara. Jika tidak, FPI, sebagaimana ultimatum yang sudah mereka nyatakan, akan membubarkan acara itu–sesuatu yang tak diinginkan, baik oleh pihak AJI maupun aparat kepolisian.
Kelima, karena itulah, pemunculan Kapolres Jakarta Selatan Kombes Pol Imam Sugianto yang ceritanya menjemput Irshad Manji, dimana keduanya berada dalam satu mobil, justru lebih disebabkan untuk menghindari situasi buruk karena pihak FPI sudah mendekat. Manji mungkin dibawa atau “dipulangkan” ke suatu tempat atau hotel, dimana rekan-rekan panitia yang mengurus sederet acaranya di sini sudah menunggu.
Keenam, skenario penjemputan yang dilakukan oleh pihak aparat kepolisian ini sebenarnya adalah “cara halus”—berbeda saat “pengusiran” malam sebelumnya di Komunitas Salihara. Aparat kepolisian melakukan “cara halus” ini lantaran pihak panitia sudah berkoordinasi sebelumnya, ormas Islam seperti FPI pun melakukan hal serupa.
Ketujuh, pernyataan Umar Idris dari AJI bahwa “Manji tidak dijemput paksa, namun karena memang acaranya sudah selesai”, itu hanya untuk menghibur dan menyenangkan diri saja. Simak saja pernyataan lanjutannya, “Lagipula ada kelompok yang menentang kehadiran Manji semakin dekat.” Ini menunjukkan, memang ada rasa takut akan situasi menjadi buruk. Jadi, pihak penyelenggara lebih ‘aman’ bilang, “… acaranya sudah selesai.” Padahal saat itu waktu baru menunjukkan kurang lebih pukul 20.00. Itu menunjukkan memang ada “penjemputan paksa”, hanya skenario dan suasananya berbeda dengan di Komunitas Salihara.
Skenario seperti ini ditempuh untuk menghindari rasa malu dan takut seperti terjadi di Salihara. Pihak AJI sangat takut kejadian di Salihara terulang di Kalibata. Sebab, jika sampai terjadi kasus seperti di Salihara, selain akan muncul anggapan dari dunia luar (sponsor liberalis) bahwa para pengasong liberal di Indonesia bekerja tidak becus, juga “pihak sponsor” semakin yakin lagi bahwa “proyek liberal” benar-benar gagal di republik ini. Bukankah salah seorang tokoh pengasong liberal sudah mengakui akan kegagalan itu?
Kedelapan, juga pernyataan Ketua AJI Indonesia Eko Maryadi, bahwa dia puas dengan acara diskusi yang berjalan lancar, semua kompak dan Banser sudah mengamankan dengan baik, itu juga untuk menghibur dan menyenangkan diri saja. Kalau memang benar acara berjalan lancar, tak perlu Manji cepat-cepat angkat kaki dan “dievakuasi” (kata halusnya dijemput) oleh Kapolres Jaksel. Sebab, Manji sendiri juga tentu punya rasa was-was, apalagi dikabarkan FPI sudah mendekat. Dengan situasi seperti ini, itu menunjukkan acara tidak berjalan dengan lancar, tapi serba diliputi rasa was-was, terutama saat aparat mendesak untuk segera mempercepat acara. Manji pun tentu khawatir, lebih-lebih lagi pihak panitia (AJI). Ini sebelumnya diakui sendiri oleh panitia: takut kejadian di Salihara berulang di markas AJI.
Di sisi lain, “tekanan” dari pihak aparat—sebab kepolisian pun tidak mau ambil risiko jika terjadi aksi anarkis—untuk tidak lama-lama menghadirkan Manji di tempat acara, cukup dimaklumi. Koordinasi aparat keamanan dengan ormas Islam, sebut saja dengan FPI, menunjukkan percepatan “pengusiran” Manji, dimana skenario ini pun mau tak mau harus diikuti AJI, dengan konsekuensi Manji tidak bisa berlama-lama mengikuti acara.
Dengan pernyataan acara sudah selesai, meskipun waktu baru menunjukkan sekitar pukul 20.00 WIB, setidaknya untuk menutupi keadaan yang sebenarnya. Faktanya, pada sekitar pukul 20.00 itu Irshad Manji sudah siap “dijemput”. Apalagi FPI sudah menyatakan, jika acara diskusi denganManji tak segera distop, FPI-lah yang membubarkan.
Maka, sejumlah wartawan pun tak puas, karena tak kebagian dialog untuk mengkritisi Manji. Pasalnya acara sudah ditutup pada pukul 20.00 WIB. Panitia dengan terburu-buru menutup acara. Tentu saja, sebab jika berlama-lama, dikhawatirkan situasi jadi berubah makin tak kondusif.
Tak ada waktu berleha atau berlama-lama, karena dikhawatirkan massa akan melakukan tindakan. Aparat tak mau mengambil risiko jika situasi tak kondusif. Tugas mereka adalah menjaga ketertiban. Salah satu upaya ke arah itu adalah dengan mempercepat selesainya acara atau “mengevakuasi” Manji segera.
Jadi boleh dibilang, acara AJI – Manji itu tidak konsen karena diliputi ketakutan, sehingga tak banyak pesan dan kesan yang dapat disimpan dalam diskusi yang dihadiri tak banyak peserta ini–AJI beralasan peserta diskusi memang dibatasi.
Ya, bagi AJI, skenario seperti ini jauh lebih baik, ketimbang peristiwa buruk seperti di Salihara terjadi juga di markasnya, meskipun akhirnya tidak memuaskan, untuk tak mengatakan mengecewakan!
FPI, massa dan warga pun membubarkan diri saat mengetahui Irshad Manji sudah “dievakuasi” dan acara dinyatakan selesai. Jadi, jika dikatakan berhasil dan berjalan lancar, itu tidak tepat. Sebab, acara berlangsung di tengah situasi yang tidak kondusif, dan bahkan akhirnya mendapat desakan dari aparat kepolisian untuk segera dipercepat.
Kita tunggu episode Irshad Manji berikutnya, terutama di Solo dan Yogya. Berjalan muluskah? Atau seperti kejadian di Komunitas Salihara?
Keterangan Foto (atas ke bawah): Irshad Manji di Komunitas Salihara (abcidia.com), Manji dievakuasi saat di Salihara (watnyus.com), logo AJI (baltyra.com), Ketum AJI Eko Maryadi (suaraborneo.com), dan Kapolres Jaksel Kombes Pol Imam Sugianto (seruu.com)