Jakarta (salam-online.com): Apel Siaga Umat ‘Indonesia Tanpa Liberal’, digelar Jumat (9/3/12). Ribuan umat Islam menyemut. Ormas Islam, di antaranya, FUI, FPI, MMI, DDII, Garis, dan tentu saja kaum Muslimin umumnya berbaris menyatakan perlawanannya terhadap para pengasong Liberal yang menginginkan kebebasan tanpa nilai Islam.
Dikatakan tanpa nilai Islam, lantaran salah seorang inisiatornya dengan gegabahnya menggugat kenabian Muhammad shalallaahu ‘alaihi wasallam sebagai Rasul dan Nabi terakhir. Disebut tanpa nilai Islam, disebabkan para pengasongnya dengan nekatnya menghalalkan gay, lesbi dan pernikahan sejenis. Dibilang tanpa nilai Islam, karena dengan semberono dan ngawurnya para penjajanya menggugat keabsahan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Dan sederet contoh kebelinger lainnya para pengusung paham ini dalam menafikan nilai-nilai Islam.
Mengapa segelintir dari sekitar 240 juta penduduk negeri ini menolak Islam? Bukankah mereka juga mengaku sebagai Mulim?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, harus ditelusuri cerita awal sampai kondisi terakhir mengapa mereka menjadi pengusung dan pengasong paham Liberal. Jika mau jujur, paham ini erat kaitannya dengan kepentingan Negara-negara Barat seperti AS—dan tentu saja kepentingan Zionis Israel—yang bertujuan melemahkan dan bahkan menghancurkan umat Islam dari dalam. Ini, sungguh, sangat berkaitan erat dengan tujuan Zionis Yahudi yang termaktub dalam salah satu dari 24 programnya. Inilah yang disebut sebagai ghazwul fikri (invasi pemikiran dan budaya) terhadap umat Islam. Dan, yang paling efektif, tentu saja dengan menggunakan ‘tangan’ orang-orang Islam sendiri.
Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasallam dalam riwayat yang popular sudah menyatakan bahwa umat Islam akan jadi santapan musuh-musuhnya. “Apakah kaum Muslimin saat itu berjumlah sedikit?” Tidak! Bahkan kata Nabi, umat Islam saat itu banyak secara kuantitas, tapi sayangnya miskin dalam kualitas. Jumlahnya banyak, tapi mutunya enteng! Mereka, sebagaimana buih di lautan, ditiup angin dengan sekejab sirna. Mengapa?
Itu lantaran mereka dihinggapi suatu penyakit. Penyakit apa? Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wasallam menyebut ‘al-wahn’ sebagai sumber penyakit kaum Muslimin sehingga mereka bertekuk lutut di hadapan musuh-musuh Allah. Apa itu ‘al-wahn’? “Cinta dunia benci mati.” Terlalu gandrung dan silau dengan gemerlap dunia, berakibat mereka menjadi gerah jika bicara kematian, takut meninggalkan kehidupan yang gemerlap penuh kenikmatan, berakibat benci mati.
Lantaran ‘al-wahn’ inilah umat Islam yang dihinggapinya menjadi sangat berkepentingan dengan kenikmatan dunia. Maka, segala cara ditempuh untuk mendapatkan dunia yang murah seraya mencampakkan nilai-nilai hakiki menuju kehidupan akhirat nan kekal.
Untuk kepentingan yang bertujuan melemahkan umat Islam, Negara sponsor seperti AS dan majikannya (Israel), sudah bukan rahasia lagi telah menggelontorkan dollar demi mensupport gerakan yang melemahkan hati dan pemikiran kaum Muslimin. Tak perlu berpindah dari Islam menjadi Kristen, misalnya. Cukup hati, pikiran dan perilaku mereka berubah, sudah sangat bagus. Jadi, tak usah heran, jika ada tokoh atau yang kadung disebut sebagai cendekiawan Muslim, tapi pikiran dan perilakunya nyeleneh!
Belakangan, atau sejak beberapa tahun terakhir, di Indonesia, kiprah dan gerakan kaum Liberal meredup. Itu lantaran sang Negara sponsor mulai luntur kepercayaannya terhadap penjaja paham Liberal di republik ini. Mereka dianggap gagal dalam menyebarkan paham Liberal. Dan, setelah bantuan asing itu distop, praktis aktivitas mereka pun menjadi kendur. Itu diakui sendiri oleh Koordinator Program JIL, Novriantoni, sebagaimana dikutip Voa-Islam.com.
Betul, JIL telah meredup, setelah desas-desus mereka tidak lagi mendapat bantuan asing. Ulil Abshar Abdalla menyebut bahwa dana asing terakhir diterima oleh JIL pada tahun 2004.
Dalam soal dana kegiatan, diakui Novriantoni, dulu JIL memperolehnya dari The Asia Foundation (TAF) mulai tahun 2001-2005. Pertengahan 2005 tidak dapat lagi dari TAF. Jadi sekarang JIL dananya dari voluntary (sumbangan sukarela). Misalnya Goenawan Mohamad menyumbang buat JIL setiap bulan, dan beberapa orang lain simpatisan yang juga saweran.
“Jadi ada beberapa orang yang support JIL terus menerus. Funding asing tidak kita pakai lagi, kecuali ada yang mengajak kerjasama, misalnya kedutaan ajak kerjasama program diskusi kampus, pengadaan buku dan sebagainya. Secara umum bukan funding yang menentukan program kita, mereka mau support oke, tidak mau juga gak apa apa. Kita yang menentukan program, bukan funding,” kata Novri.
Kendati kere, diakui Novriantoni, donatur domestik kecil-kecilan tetap ada. “Untuk kaya, JIL memang tidak bisa, tapi sekadar untuk survive saja. JIL itu NGO yang berdana kecil tapi kerjanya banyak. Hanya dengan 400-jutaan JIL bisa bikin 50-an diskusi dalam setahun,” ungkap Novri.
Koordinator JIL Ulil Abshar Abdalla mengakui, bahwa JIL didanai oleh The Asia Foundation (TAF). Perihal jumlahnya, seperti diakui Ulil, setiap tahun JIL mendapat sekitar Rp. 1,4 milyar. “Selain itu, JIL juga mendapatkan dana dari sumber-sumber domestik, Eropa dan Amerika. Tapi yang paling besar berasal dari TAF,” kata Ulil.
Tak hanya JIL yang menjajakan Sekularis, Pluralis dan Liberalis (Sepilis). Selain Ulil dengan Jaringan Islam Liberal (JIL)-nya, ada Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) yang dimotori oleh Siti Musdah Mulia, Freedom Institute yang dipimpin oleh Luthfi Asy-Syaukanie, dan The Wahid Institute yang digerakkan oleh Yeni Abdurrahman Wahid.
Ada lagi, International Center for Islam and Pluralism (M. Syafi’i Anwar), Komunitas Salihara (Goenawan Mohamad dan Guntur Romli), LibforAll Foundation (C. Holland Taylor—orang yang kerap mengajak tokoh-tokoh sekular Indonesia ke Israel), dan sebagaiya.
Kini, di tengah meredupnya gerakan kaum Liberal, mereka mendapatkan momen saat FPI ditolak oleh segelintir warga yang mengatasnamakan warga Dayak Kalteng. Belakangan tokoh yang memimpin gerakan menolak FPI itu diketahui ternyata adalah terpidana kasus korupsi, dan akhirnya tak berselang lama oleh kejaksaan agung dijebloskan ke dalam sel. FPI menilai aksi penolakan itu erat kaitannya dengan permasalahan agraria (pertanahan) di Kalteng, dimana warga Dayak Kalteng yang merasa hak-haknya diabaikan minta bantuan FPI untuk menyelesaikan kasus mereka. Walhasil, aksi yang mengatasnamakan warga Dayak Kalteng itu bisa dibilang tidak murni. Apalagi kemudian, warga Dayak lainnya menyatakan menerima kehadiran FPI.
Nah, momen itulah yang dimanfaatkan kaum Liberal. Dengan bantuan media, meskipun jumlah mereka saat demo tak lebih dari 60 orang, tapi gaungnya diharapkan bisa jadi pancingan untuk menarik dana yang telah distop sejak 2005.
Tapi dukungan terhadap FPI ternyata melimpah. Pernyataan Sutradara Hanung Bramantyo bahwa pendukung paham Liberal lebih banyak dibanding kelompok Islam dijawab oleh kaum Muslimin pada Jumat (9/3/12) kemarin. Hampir 10.000 massa bergerak dari Bundaran HI longmarch menuju istana. Aksi ini bernama Apel Siaga ‘Indonesia Tanpa Liberal’.
Tak hanya ormas dan tokoh-tokoh Islam yang turut dalam aksi ini. Tapi aktor beken seperti Fauzi Baadilla pun punya nyali untuk tampil melawan gerakan Sepilis. Bersama kawan-kawannya dalam aksi #Indonesia Tanpa Liberal’ Fauzi Baadilla tampil mengenakan kaus putih bertuliskan ‘Indonesia Tanpa JIL’.
Menurut Fauzi, meski dia bukan Muslim yang alim, tapi ketika Islam dihina dan dilecehkan ia merasa terpanggil untuk membela. “Cendekiawan apa yang hina Islam? Gue sih bukan cendekiawan, anggap aja gue orang bego. Cuma gue gak suka sama orang yang ngaku cendekiawan, tapi mengolok-olok Islam. Gue memang belum jadi Muslim yang benar, gue masih ngaco, tapi gue gak sudi agama gue dihina!” seru Fauzi. Fauzi dengan semangat menegaskan, bahwa komunitas #Indonesia Tanpa JIL adalah gerakan yang murni, independen, tidak ditunggangi oleh siapa pun, baik oleh partai politik atau ormas manapun. “Kita bergerak atas nama nurani, menolak dari segala kotoran-kotoran hasil pemikiran orang-orang JIL,” ungkap Oji, panggilan akrabnya.
Diam-diam, Oji mengikuti pemikiran para aktivis JIL di dunia maya selama dua tahun. “Gue ngikutin pemikiran mereka sudah dua tahun. Cuma, kalau di media, gue juga nggak mau terlalu sok pinter, males gue. Yang jelas, gue tahu pemikiran mereka kayak gimana. Jangan dibilang gue nggak ngerti pemikiran mereka. Kantor mereka di depan rumah gue!” ujar Oji.
Salah satu pemikiran JIL yang dia anggap nyeleneh adalah ketika aktivis JIL bilang, Islam agama oplosan. Orang JIL itu juga bilang, finalitas kenabian Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam harus ditinjau ulang. “Itu kan sama saja menggugat syahadat!” tegasnya. Itu cuma sedikit dari sekian banyak yang aneh dan nyeleneh dari pemikiran mereka.
“Temen-temen gue di Komunitas Anti JIl, ada sutradara film, anak band, dan kita bukan anggota ormas, dan memang gak ada urat-urat ormas di muka gue. Gue nggak ada hubungannya dengan politik atau ormas. Lo lihat temen gue rambutnya mohawk, anak punk, dicat merah (sambil menunjuk personil Purgatory).”
Bukankah di kalangan liberal, juga terdapat sutradara yang nyeleneh. Sebut saja Hanung Bramantyo. Anda tidak takut dikucilkan? “Iye, banyak, gue tahu. Bagi gue, itu nggak penting, rezeki dari Allah. Nggak ada urususan, mau sutradara ini itu. Mau dikucilkan kek, nggak ada urusan (disebut 3 kali). Yang jelas, gue nentang JIL, gue menentang pemikiran mereka, gue nggak peduli,” tegas Fauzi dengan mantap.
Oji mengaku, meski dirinya bukan Muslim yang alim alias biasa-biasa saja, tapi kalau Islam dihina dan dijelek-jelekkan, maka sebagai Muslim ia berani tampil di barisan terdepan untuk membela tanpa pernah ada keraguan sedikit pun. “Gue nggak ragu kalau agama gue dihina. Sebagai Muslim kita harus bangkit. Titik.”
Oji mengungkapkan, mereka (aktivis JIL) ngaku-ngaku intelektual, padahal mereka membuang kotoran pemikiran, yang terbungkus intelektual dan cendekiawan. “Nggak ada itu intelektual, cendekiawan, tapi menghina agama.”
Oji menegaskan, dia tidak ada urusan dengan FPI atau partai mana pun. “Nggak ada urusan ame siape-siape.. Gue independen. Nggak usah dikait-kaitkan deh.” Pernah ketemu orang JIL? “Gue sih ketemu nggak pernah, tapi kantornya di depan rumah gue, di Utan Kayu. Jadi jangan dibilang gue kagak tau.”
Dalam pernyataan sikap yang dirilis JIL, masyarakat Utan Kayu dukung JIL. Apa benar? “Gue, anak Utan Kayu, begitu juga temen-temen gue (sambil menunjuk di sebelahnya) juga orang Utan Kayu, dan temen gue ini orang yang pertama ikut demo, saat kantor JIL berdiri.”
Kantor JIL pernah diserbu? “Gue bukan urusan serbu-serbuan, gue cuma nentang pemikiran mereka, gue nggak mau urusan fisik gitu-gitu. Yang jelas, gue nggak perlu mendebat mereka. Nggak perlu didebatin orang kayak geto, iye nggak. Dari omongannnya sendiri, kita sudah tahu, aneh dan nyeleneh. Gila! Mereka bilang, finalitas kenabian Nabi Muhammad perlu dipertanyakan ulang, itu kan sama saja menggugat kalimat syahadat. Iye nggak!”
Kafir dong mereka? “Gue nggak mau bilang mereka kafir, cuma ini sudah offside. Nggak boleh dibiarin, 10-30 tahun ke depan, akidah generasi muda yang nggak ngerti bisa jebol,” kata Oji prihatin.
Apakah JIL harus dibubarkan? “Yang pasti, mau bubar mau kagak, cuma jangan jelek-jelekin agama yang gue yakini. Iye nggak!!” kata Oji dengan mata melotot.
Fenomena Fauzi Baadilla jadi mengingatkan pada kelompok-kelompok ‘bergajulan’ di tahun 1980-an, yang shalatnya pun belang bentong atau bahkan tak shalat. Tapi jangan tanya jika Islam dihina dan dilecehkan. “Jelek-jelek gini, walau gak shalat, kalau Islam gue dihina, mati pun gue ikhlas, gue juga pengen masuk surga. Kan siapa tau, walau gue belumpur dosa, karena membela Islam sampai mati, gue masuk surga,” kata seorang anak muda yang bisa dibilang sebagai premannya Tenabang di era 1980-an.
Kelompok preman lainnya di Tanjungpriok pun saat itu tak jauh beda. Mereka bangkit jika harga diri Islam diinjak-injak. Pendek kata, tak sedikit, dari berbagai kota dan daerah, meski belum ber-Islam secara baik dan benar, anak-anak muda itu justru bangkit membela panji-panji Islam. “Gue kan juga pengen masuk surga!” seru mereka.
Fauzi Baadilla, jelas bukan anak muda ‘bergajulan’ atau preman di era 1980-an seperti disebut di atas. Baadilla adalah seorang aktor. Jarang-jarang ada aktor seperti Fauzi Baadilla mengetahui atau mau peduli tentang Sepilis (Sekularis, Pluralis, liberalis) yang berlawanan dengan Islam. Sulit juga dicari aktor seperti Baadilla yang secara tegas berani menyatakan akan bangkit jika Islam-nya dihina dan dilecehkan. Tahu sendiri, bagaimana kondisi aktor dan aktris di negeri ini.
Meski mengaku belum menjadi Muslim yang benar, tapi satu hal pasti, Fauzi Baadilla boleh dibilang aktor fenomenal yang memiliki kebanggaan ber-Islam di tengah kebanyakan umumnya lingkungan selebritas itu malu, takut atau tak peduli, jika Islam diinjak-injak. Care dengan Islam sepertinya adalah harga yang teramat mahal bagi kebanyakan aktor dan aktris di republik ini. Tapi tidak demikian dengan seorang Fauzi Baadilla!
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa yang tak peduli dengan urusan kaum Muslimin (tak peduli dengan jatuh-bangunnya umat Islam), maka dia bukan umatku!”
Foto-foto: Budi Al Faruq/Suara Islam