JAKARTA (SALAM-ONLINE): Di dalam berbagai kesempatan, capres Jokowi selalu mengumbar jargon tentang perlunya Revolusi Mental. Istilah Revolusi Mental sesungguhnya sudah banyak digunakan dalam berbagai sejarah pemikiran, sejarah politik, manajemen dan bahkan sejarah musik.
Penggunaan istilah Revolusi Mental itu terjadi di mana-mana, baik di dunia Barat maupun Timur yang komunis, baik oleh pemikir Islam, Kristiani, Hinduisme maupun Buddhisme. Bahkan Presiden Pertama RI, Bung Karno pernah menggunakan istilah itu dalam pidato 17 Agustus 1956.
Jadi sesungguhnya Revolusi Mental adalah sesuatu yang sudah biasa kita dengar dan bukanlah sesuatu yang baru dan istimewa. Namun media pendukung capres Jokowi-lah yang telah membuatnya seolah-olah gagasan Jokowi itu sesuatu yang baru dan istimewa. Padahal bila seorang mahasiswa semester pertama diminta untuk mendefinisikan soal Revolusi Mental dalam kerangka budaya politik, dan komitmen pemimpin pasti mampu membuatnya.
Dalam menerapkan Revolusi Mental, seolah-olah Jokowi ingin merubah mental warga Negara. Padahal sebelum Jokowi mengubah mental warga satu negara, dia terlebih dahulu harus mengubah mentalnya sendiri, baru dia mengubah mental keluarganya, kemudian mengubah mental lingkungannya, dan seterusnya, hingga mengubah mental seluruh warga negara Indonesia.
Seperti apakah mental Jokowi itu sendiri?
Bila melihat berbagai sikap dan tindakan dari Jokowi selama ini, masih banyak hal yang harus diubah dari seorang Jokowi yang mengaku pemimpin yang merakyat ini.
Sikap seorang satria yang mutlak harus dimiliki seorang pemimpin tidak terlihat dari sosok Jokowi. Bila kita menuliskan kalimat “Jokowi Salahkan” di Google, maka kita akan menjumpai banyak sekali berita yang berisi tentang Jokowi selalu menimpakan kesalahan pada orang lain atau situasi di luar dirinya, dan cenderung tidak mau bertanggung jawab, misalnya masalah banjir Jakarta, target pileg yang tidak tercapai, kasus Transjakarta, dan lain-lain.
Ketika kasus korupsi Tranjakarta pertama kali terkuak, Jokowi menyatakan bahwa dia tidak mengetahui proyek itu dan mengaku tidak kenal dengan Bimo sang makelar bus dan cenderung menyalahkan Kadis Perhubungan yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Padahal seorang pemimpin itu harus memiliki mental yang jujur dan berani jujur sekalipun kejujuran itu akan menyakitkan dirinya sendiri. Tidak etis bila seorang capres berbohong dan menutup-nutupi kasus Tranjakarta.
Selama hampir dua tahun menjabat sebagai Gubernur DKI, Jokowi belum berhasil melakukan reformasi birokrasi dan mengubah mental aparat di bawahnya. Mental korupsi aparatur di Pemrov DKI belum terlihat nyata perubahannya. Pelayanan publik pun belum berjalan sebagaimana mestinya. Etos kerja yang seharusnya berubah semasa kepemimpinan Jokowi hanyalah dipermukaan atau di awal-awalnya saja. Bahkan seorang pejabat di lingkungan Pemprov DKI mengatakan bahwa Pemrov DKI saat ini sudah berada di dalam keadaan darurat.
Bila melihat beberapa hal tersebut di atas, masih pantaskah Jokowi berbicara Revolusi Mental, sementara dia belum mampu melakukan Revolusi Mental pada dirinya, keluarga dan lingkungannya? (rmol.co, senin/30/6/2014)