–CATATAN MUHAMMAD PIZARO–
SALAM-ONLINE: Akhir-akhir ini Turki mendapat tekanan luar biasa oleh Barat agar mau mempersenjatai pemberontak Kurdi untuk melawan ISIS. Berkali-kali media-media Barat menulis berita provokasi agar Erdogan mau menurunkan militernya melawan ISIS. Bahkan tidak sedikit media-media di tanah air kadung menulis bahwa Turki menyerang ISIS.
Gempuran media Barat yang berkali-kali memprovokasi Erdogan tampaknya tidak membuat Turki mau mengikuti kehendak Amerika untuk terlibat dalam perang Suriah. Sekalipun militer Turki berjaga-jaga di perbatasan, mereka tetap menahan diri untuk menyerang ISIS.
Menurut penuturan para wartawan yang berada di perbatasan Kobane, tank-tank Turki berada di garis perbatasan untuk mengatur lalu lintas para pengungsi.
Untuk memastikan akurasi laporan, Bugun TV dan At-turkiye termasuk dua media di Turki yang aktif memberikan laporan langsung dari perbatasan. Dengan pelindung kepala dan rompi pers, beberapa kali wartawan dari kedua media tersebut mendokumentasikan tank-tank Turki yang hilir mudik di perbatasan. Hingga kini terdapat sedikitnya 180.000 warga Suriah di Kobane yang menyeberang ke Turki.
Sejak awal Turki memang mendukung perjuangan rakyat Suriah. Negara yang menjadi jejak kejayaan Khilafah Utsmani ini mengaku tidak bisa membenarkan tindakan Basyar Asad dalam melakukan genosida terhadap rakyatnya.
Erdogan telah menjadi salah satu kritikus paling keras bagi Basyar Asad, dengan menyebutnya sebagai presiden yang telah menciptakan sebuah “negara teroris”. Turki bahkan mendorong pembentukan zona asing yang aman di dalam wilayah Suriah.
Erdogan juga mengritik keterlibatan Rusia, Cina dan Iran dalam penggunaan senjata kimia oleh Asad. Dukungan mereka, kata Erdogan, hanya akan melanjutkan pembunuhan terhadap rakyat Suriah.
“Jangankan memberikan suara soal Suriah, dia (Rusia) bahkan mendukung pembantaian,” kata Erdogan.
Erdogan juga dikenal sebagai pemimpin yang aktif membangunkan kesadaran dunia untuk “berbuat” nyata di Suriah. Pada tahun 2013, Erdogan bahkan mengontak Soesilo Bambang Yudhoyono agar Indonesia berperan aktif menyelesaikan tragedi kemanusiaan di Suriah.
Pertanyaannya adalah meski tidak sepakat dengan langkah ISIS, mengapa Erdogan tidak mau mengikuti ritme Amerika untuk masuk dalam koalisi melawan kelompok daulah itu?
Kejanggalan Serangan Amerika ke Suriah
Erdogan tampaknya sadar niat AS dan sekutunya ke Suriah, bukan semata-mata memerangi ISIS. Tapi memerangi perjuangan rakyat Suriah itu sendiri. ISIS hanya dijadikan dalih AS untuk bisa masuk ke Suriah dan mempertahankan rezim Syiah Nushairi yang hampir jatuh.
Tentu hal ini bukan hal yang baru dilakukan Amerika. Masih ingat serangan AS ke Irak tahun 2003? Kala itu, Bush berdalih tujuan AS menyerang Irak hanya untuk menghancurkan senjata pemusnah massal milik Sadam Hussein.
Ironisnya, meski Saddam akhirnya harus digantung mati, senjata pemusnah massal itu tidak pernah benar-benar ditemukan. Atas kejadian ini, banyak pihak balik menyerang AS karena isu senjata pemusnah massal hanyalah hasil rekayasa negara itu.
Ini pula yang ditangkap oleh Erdogan dalam membaca serangan AS. Berbicara di Latvia, Kamis (23/10), Erdogan secara berani mengatakan serangan AS ke Irak dan Suriah dimotivasi oleh urusan minyak.
”Ketika ISIL (ISIS) mulai menguasai ladang-ladang minyak, barulah pertempuran terjadi. Semua orang tentu sadar bahwa perhatian (Barat) sebenarnya adalah minyak, bukan (keselamatan) warga (Irak ataupun Suriah).”
Kejanggalan serangan Amerika ke Suriah semakin diperkuat dengan pengakuan Menteri Pertahanan AS, Chuck Hagel, bahwa serangan pada 23 September 2014 dilakukan tanpa melakukan koordinasi dengan rezim.
Namun menariknya, satu pekan sebelum serangan, para warga sudah mengetahui rencana Amerika. Di tengah warga sudah bukan rahasia lagi akan adanya intervensi militer Amerika di tanggal-tanggal tersebut.
Kejanggalan berikutnya adalah pernyataan AS bahwa serangan mereka hanya ditujukan kepada ISIS di wilayah Raqqah dan juga Irak. Namun kenyataannya di lapangan, rudal-rudal tomahawk AS melesat jauh sampai wilayah Idlib. Padahal kedua kota terpisah cukup jauh.
AS memang tidak mengakui telah menyerang Idlib, tetapi Wall Street Journal menyebut selain ditujukan terhadap ISIS, serangan udara Amerika Serikat juga menghantam perkemahan-perkemahan dan bangunan-bangunan yang dipergunakan oleh kelompok Khorasan dan kelompok-kelompok perlawannya di Suriah.
Sky News Arabiyah melaporkan serangan pesawat tempur Amerika dan negara-negara Arab menghantam markas Jabhah Nushrah dan markas Jaisyul Muhajirin di wilayah Muhandisin, pinggiran Aleppo.
Syaikh Abu Hasan Al-Kuwaiti, salah seorang anggota Dewan Syariat Jabhah Nushrah, melalui akun twitternya melaporkan sedikitnya 10 orang mujahidin Jabhah Nushrah gugur oleh serangan pesawat tempur Amerika dan sekutunya (lima negara Arab) di Idlib dan Aleppo.
Kini, setelah lebih satu bulan serangan AS ke Suriah, Obrsevatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia di Suriah melansir data para korban. Dari sekian ratus korban, setidaknya 32 orang adalah merupakan warga sipil. Bahkan, enam di antaranya adalah anak-anak. Yang paling kecil berumur tiga bulan. Bocah tak berdosa ini terbunuh bersama ibunya dalam serangan Amerika di Idlib.
Muhammad Pizaro, Wartawan dan Sekjen Jurnalis Islam Bersatu (JITU) yang pernah meliput konflik Suriah