Awas, Perusahaan Berkilah ‘Tak Memaksa’ Karyawan Muslim Pakai Atribut Natal
SALAM-ONLINE: Miris mendengar dan menyaksikan banyaknya perusahaan, pusat perbelanjaan dan tempat-tempat pelayanan publik menggunakan karyawan Muslim untuk mengenakan atribut natal.
Apa urusannya orang yang bukan pemeluk Kristen mengenakan atribut natal seperti topi sinterklas?
Di sebuah mal di bilangan Jakarta Selatan, misalnya, ditemui seorang pegawai Muslim mengenakan atribut natal. Apakah ia dipaksa?
Karyawan Muslim itu menjawab ‘tidak dipaksa’, hanya untuk meramaikan natal saja. Dikatakan, sang manajer pun seorang Muslim. Dan, seluruh karyawan di sini adalah Muslim. Tak ada yang Kristen. Intinya tak ada paksaan, manajer dan seluruh karyawan di sini yang semuanya Muslim hanya meramaikan natal saja, tak lebih.
Di sisi lain, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Fahira Idris meminta mereka yang dipaksa untuk mengenakan atribut natal agar melapor kepadanya.
Masalahnya, bagaimana dengan karyawan Muslim yang dengan suka rela dengan dalih hanya untuk meramaikan, lalu mengenakan atribut natal?
Apakah jika “tidak dipaksa” masalahnya selesai? Apakah jika “tak ada paksaan”, maka tak berlaku ajakan untuk melapor, misalnya, ke Fahira Idris tersebut?
Maka dengan mudahnya, para bos dan pimpinan perusahaan itu memanfaatkan celah “tidak dipaksa” untuk “mengotori” otak para karyawan Muslim tersebut dengan atribut keyakinan yang tidak dipeluk oleh karyawan bersangkutan.
Dengan kalimat perusahaan “tidak melarang” atau perusahaan “mempersilakan” atau perusahaan “menyodorkan” kepada para karyawan terkait atribut natal, ini sesungguhnya merupakan “senjata” yang dimanfaatkan perusahaan untuk “menjebloskan” para karyawannya yang Muslim untuk “mensyi’arkan” perayaan agama lain.
Jadi, sangat lemah imbauan atau ajakan untuk melapor bagi karyawan yang “dipaksa” mengenakan atribut agama lain tersebut. Karena, para bos, pimpinan dan manajer perusahaan—meskipun mereka juga Muslim—dengan entengnya mengatakan bahwa mereka “tidak memaksa”, hanya mempersilakan jika ada karyawan yang mau menggunakan atribut natal, meskipun sang karyawan adalah Muslim.
Jika perusahaan “menyodorkan” itu kepada karyawan Muslim, maka secara psikologis, karena takut dikatakan tidak loyal atau bahkan khawatir dipecat, akan menghantui karyawan tersebut.
Nah, jadi, ini masalahnya bukan soal “dipaksa” atau “tidak dipaksa”. Tetapi ini sudah masuk ranah membawa keyakinan lain masuk kepada karyawan yang berbeda keyakinannya, yakni Islam. Ini yang mestinya dilarang, karena para karyawan tersebut sudah memeluk sebuah keyakinan.
Seorang karyawan Muslim, mengapa “dipersilakan” mengenakan atribut agama yang tidak dipeluknya? Apalagi bos yang “mempersilakan”nya pun seorang Muslim.
Tidak boleh orang yang sudah beragama, “disodorkan” atau “dipersilakan” atau “tidak dilarang” atau “dikondisikan” untuk mengenakan atribut agama lain. Kalimat inilah yang sekarang coba digunakan oleh banyak perusahaan saat ini setelah melihat banyaknya penolakan dari kalangan Islam terkait penggunaan atribut natal oleh karyawan Muslim. Jangan terjebak dengan kata-kata yang seakan “santun” ini, padahal hakikatnya ingin menggerogoti dan membodohi umat Islam yang lemah pemahaman dan pola pikirnya tentang Islam, sehingga mudah dimanfaatkan.
Ada lagi upaya pembodohan yang coba dilakukan, dengan mengatakan bahwa perusahaan tidak akan menggunakan karyawan berjilbab untuk atribut natal. Lha, memangnya karyawan Muslim yang tidak berjilbab itu statusnya bukan Islam? Hati-hati! Jangan mau terperdaya!
Ini tak perlu Fatwa MUI atau imbauan Menteri Agama. Ini sesuatu yang sudah jelas. Al-Qur’an dengan tegas menyatakan demarkasi itu, “Bagimu agamamu, bagiku agamaku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, “Man Tasyabbaha bi Qoumin fa Huwa minhum” (Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk bagian dari mereka).
“Bagimu agamamu, bagiku agamaku” bisa disebut sebagai pernyataan tegas, bahwa pihak lain dilarang mencampuri keyakinan Islam. Sementara hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas lebih ditujukan kepada umat Islam, agar jangan mengikuti (menyerupai) gaya dan penampilan keyakinan lain, karena statusnya menjadi sama dengan mereka, masuk ke dalam kelompok agama lain tersebut.
Bagaimana status orang yang mengajak (bahasa halusnya “mempersilakan” atau “tidak melarang”) karyawan Muslim untuk mengenakan atribut agama lain?
Dalam kasus karyawan Muslim “disodorkan” atau “dipersilakan” (kata lain untuk “tidak dipaksa”), maka penggunaan atribut natal, misalnya, masuk dalam kategori Bab III tentang Tata Cara Pelaksanaan Penyiaran Agama, Pasal 3, pada SKB Tahun 1979, yakni, “Pelaksanaan penyiaran agama dilakukan dengan semangat kerukunan, tenggang rasa, saling menghargai dan saling menghormati antara sesama umat beragama serta dengan dilandaskan pada penghormatan terhadap hak dan kemerdekaan seseorang untuk memeluk/menganut dengan melakukan ibadat menurut agamanya.”
Jika karyawan Muslim “dikondisikan” (kata lain “tidak dipaksa”) untuk mengenakan atribut natal, apakah ini selaras dengan SKB pada Bab 3 Pasal III di atas?
Sesungguhnya, tidak menggunakan SKB itu pun, untuk apa “mempersilakan” (kata lain “tidak memaksa”) karyawan Muslim mengenakan atribut yang bukan keyakinan mereka?
Maka, berhentilah menggunakan kata selama “tidak dipaksa” karyawan Muslim boleh saja menggunakan atribut yang bukan agamanya. Ini jadi bumerang dan dimanfaatkan oleh orang-orang yang sangat menggampangkan, orang-orang yang tidak paham, orang-orang yang gemar mempermainkan keyakinan dan agama dengan dalih untuk “meramaikan” natal, misalnya.
Padahal kata “meramaikan” itu sudah masuk kategori “mensyi’arkan” yang bagi Muslim, “Syi’ar” itu hanya untuk Islam.
Dalam kasus ini setidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan. Pertama, pemerintah (Kementerian Agama, Kementerian Tenaga Kerja) dan MUI mengeluarkan Peraturan Bersama yang tidak membolehkan perusahaan menggunakan karyawan untuk mengenakan atribut agama lain, dipaksa atau tidak, dan perusahaan wajib menyatakan bahwa perayaan agama lain hanya diramaikan oleh si pemeluk agama itu sendiri, dan perusahaan tidak boleh mengondisikan karyawannya untuk “meramaikan” perayaan agama lain.
Kedua, Pemerintah (Kemenag, Kementerian Tenaga Kerja) dan MUI melarang karyawan Muslim yang dengan dalih untuk “meramaikan” (mensyi’arkan) perayaan agama lain, lalu memakai atribut agama lain tersebut, berdasarkan larangan Al-Qur’an, hadits Nabi, dan Peraturan Pemerintah, demi terwujudnya kehidupan sosial yang saling menghormati dan menghargai satu dengan yang lainnya.
Ke depannya, perlu disiapkan “pasukan” yang dikoordinir oleh MUI bersama elemen-elemen Islam untuk memberikan bimbingan kepada para karyawan Muslim khususnya dan para manajer/pimpinan perusahaan yang juga Muslim untuk menjaga akidah mereka agar tidak tercampur baur dan tercemari dengan keyakinan dan syi’ar agama lain, sebagaimana tuntunan Al-Qur’an dan Hadits Nabi.
Dalam hal akidah, umat Islam harus tegas, tidak boleh mencla-mencle, takut atau “tidak enak”, dan sebagainya. Ini menyangkut hal prinsip yang taruhannya bisa membuat murtadnya seseorang tanpa disadari. Kewajiban ulama, da’i dan Muslim lainnya untuk mendakwahi sesamanya agar terhindar dari dahsyatnya siksa neraka kelak.